Air kolam berkilau diterpa cahaya mentari yang terasa hangat, menciptakan riak-riak halus seiring angin menuju sore menyapu permukaannya.Adam duduk di pinggir kolam dengan kaki menjuntai, tangannya menggenggam sebuah gelas berisi air putih yang sudah tidak dingin lagi. Diletakkannya gelas itu perlahan di sebelahnya, tak tersentuh.Telinganya masih berdengung oleh suara ayahnya.“Di antara Elena dan Lily, kamu harus memilih salah satunya!”Satu kalimat, namun mengguncang seperti palu godam yang menghantam nalar dan nuraninya sekaligus.Adam menghela napas panjang. Digosoknya wajah dengan kedua tangan, berharap bisa menghapus kerumitan yang bertumpuk di dalam pikirannya. Tapi nyatanya, rasa bingung itu hanya makin menyesakkan.l.ElenaWanita yang dulu tak pernah sekalipun dia lirik, karena perbedaan dunia mereka bak langit dan bumi, tiba-tiba saja muncul, memasuki kehidupan Adam dan Lily yang serba kekurangan, hingga makan sehari dua kali saja bisa dibilang paling mewah.Wanita itu buk
Belum sempat Adam maupun Elena memberi reaksi atas kalimat menyakitkan itu, suara motor berhenti di depan rumah membuat suasana yang sudah tegang terasa makin sesak.Tak lama, bel berbunyi. Elena refleks menoleh ke arah pintu, lalu melangkah cepat membukanya dan terpaku.Kini berdiri di ambang pintu, seorang pria dengan wajah mirip Adam, hanya lebih tua dan berisi. Rambutnya memutih di sisi pelipis, namun sorot matanya tajam seperti baja yang sudah terlalu lama ditempa perang.“Ayah?” gumam Adam, agak terkejut.Ayah Adam; Tuan Malik, melangkah masuk tanpa banyak bicara, namun langkahnya penuh otoritas. Begitu melihat Handoko berdiri di ruang tamu, tubuhnya seketika menegang. Napasnya mengeras, dan pandangannya langsung mengunci pada pria yang jelas-jelas bukan sekadar tamu biasa.Handoko hanya mengangkat satu alis, seolah menyambut konfrontasi.“Putraku tidak serendah itu, Tuan yang terhormat! Tolong jaga bicaramu!"“Kalau anakmu tidak serendah itu, harusnya dia tahu cara menolak tawa
Lily terperanjat mendengar pertanyaan itu.Napasnya tercekat, seolah udara di ruang tamu mendadak menghilang.“Aku nggak... aku nggak sengaja, Adam! Jangan seolah-olah aku penjahatnya di sini!” sergahnya, suara tinggi dan putus asa, "kalau bukan karena dia, semuanya nggak akan serumit ini!”Adam menatapnya tajam. “Kau melemparkan kesalahan ke orang lain lagi?”“Aku cuma ingin keluargaku utuh!” Lily berteriak. “Dia yang datang merusaknya! Dia yang bikin Vino lebih sayang ke dia daripada ke aku sendiri! Kau sendiri juga berubah sejak dia datang, Adam! Kau bukan suami yang dulu!”“Jadi sekarang salahku juga?” suara Adam tetap rendah, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan mana pun.Lily tertawa pendek, getir. “Iya! Karena kamu membiarkan dia masuk ke hatimu padahal awalnya kamu meyakinkan ku jika di antara kalian tidak akan ada cinta! Bahkan kamu membiarkan anak kita dipanggilnya sayang, digendong, dibuai, seolah dia—”“—seolah dia peduli,” potong Adam tajam, "karena dia meman
Suasana rumah masih lengang saat Elena membuka pintu pelan sambil menggendong Vino yang tertidur di pelukannya. Wajahnya lelah, tapi ada kedamaian yang sulit dijelaskan.Hari ini, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, dia merasakan kehangatan dari orangtuanya—meski bukan untuknya sepenuhnya.Namun, begitu langkahnya menginjak ruang tamu, suara dingin penuh tuduhan menyambut tanpa basa-basi.“Puas kamu! Sekarang kamu bukan cuma rebut suamiku tapi juga berani-beraninya rebut anakku!“ marah Lily meledak-ledak, suaranya menggema hampir memenuhi setiap sudut rumah.Elena berhenti seketika. Di ambang tangga, berdiri Lily dengan mata merah dan raut wajah seperti api yang baru disiram bensin. Napasnya memburu, tangannya mengepal di sisi tubuh.Dengan tetap menjaga nada bicara dan posisi tubuh, Elena hanya menghela napas.“Vino lelah. Aku akan bawa dia ke kamar dulu,” ujarnya pelan, mencoba menghindari konfrontasi di depan anak itu.Tapi Lily tak membiarkan langkahnya berlanjut.Dengan gera
Langit mendung ketika Lily menyalakan mesin mobilnya, matanya masih menyimpan jejak kelelahan dan amarah yang belum padam.Sepanjang perjalanan menuju sekolah Vino, pikirannya terus berputar. Wajah Adam yang kini selalu hangat pada Elena, senyuman bocah kecilnya yang tampak lebih lepas di sisi wanita lain, dan tatapan dingin mertuanya kemarin... semua itu menggerogoti harga dirinya.“Aku masih istrinya. Aku masih ibunya,” desisnya pelan, lebih seperti pembelaan untuk dirinya sendiri daripada sebuah pernyataan.Tapi setibanya di sekolah, semuanya justru terasa seperti tamparan telak berikutnya.“Maaf, Bu Lily,” ujar guru kelas dengan senyum sungkan, “Vino sudah dijemput tadi oleh Bu Elena. Kami kira memang sudah dijadwalkan begitu.”Sejenak, Lily hanya berdiri terpaku. Matanya membelalak, tak percaya.“Elena?” ulangnya, nadanya meninggi.“Atas izin siapa dia jemput anak saya!”Guru itu tersentak, buru-buru menjelaskan, “Kami… kami pikir sudah ada koordinasi. Bu Elena bilang dijemput at
Suasana tegang di balik pohon besar itu seketika berubah saat suara langkah kecil mendekat, disertai tawa ceria yang memecah ketegangan seperti sinar mentari menusuk kabut tebal."Papa! Tante El! Mama juga di sini!" seru Vino riang sambil berlari menghampiri mereka, tangan mungilnya menggandeng erat jari-jari Elena.Elena tersenyum lembut, meski matanya sekilas menyorot cemas pada wajah merah padam Lily dan sorot dingin Adam. Tapi di hadapan Vino, dia tetap tenang."Vino ingin kalian semua naik komidi putar bareng," ujarnya pelan, dengan nada suara tetap ceria.Adam segera menyambut putranya, berjongkok dan memeluk bocah itu erat sejenak. "Tentu, Nak. Tapi tanya Mama dulu ya," ucapnya lembut sambil menoleh ke arah Lily.Lily tersenyum kaku. “Mama... mungkin nanti saja ya, Sayang. Mama agak pusing.”“Eh? Ya udah nggak apa-apa!” sahut Vino cepat, polos seperti biasanya.“Kalau gitu Tante El aja temenin aku ya!” katanya sambil menarik tangan Elena lagi dan bersandar manja di lengannya.S