Selama puluhan detik tidak ada yang berbicara di antara mereka. Yang terjadi hanyalah aksi saling pandang satu sama lain. Hingga kemudian Rain memberi Sydney perintah. “Han, pake baju kamu.”Sydney tidak mau dan tetap bertahan di tempatnya berdiri. “Cewek nggak jelas ini katanya nyari kamu, kamu kenal sama dia?” Perempuan itu menatap setiap inci muka Rain penuh selidik.“Nanti aku akan jelasin sama kamu, sekarang pake baju dulu!” perintah Rain dengan lebih tegas.Dengan berat hati Sydney melangkahkan kakinya kembali ke kamar diiringi dengan tatapan mata Rain yang terus mengawasi punggungnya. Setelah yakin perempuan itu benar-benar telah lenyap dari pandangan, tatapan mata Rain pindah ke arah Lady yang sejak tadi berdiri kaku dengan muka pias di hadapannya. Rain tidak tahu lagi bagaimana caranya mengungkapkan betapa geramnya ia pada perempuan itu. “Lo mau apa ke sini?” Suara Rain terdengar bergetar menahan kemarahan yang dengan susah payah ia tahan.“Aku cuma mau bilang kalau nanti so
Gaun itu melekat dengan sangat indah di tubuhnya yang ramping. Warnanya putih dan bersih. Berpotongan lurus dan tertutup. Jauh berbeda dengan kebanyakan gaun pengantin lain yang terbuka dan melebar di bagian bawah.“Cantik banget kamu, Dy.” Tahu-tahu Kanayya sudah berdiri di belakangnya begitu Lady sedang mematut diri di depan cermin besar seukuran orang dewasa.Lady tersenyum canggung. Merasa pangling pada dirinya sendiri. Gaun pengantin mahal ini membuatnya merasa luar biasa. Dari tadi tak habis-habis pujian yang ia lontarkan mengagumi tiap detail yang ditawarkan gaun itu di dalam hatinya.“Dok, gaun ini berapa harganya?” Lady pikir pastilah harganya tidak murah.“Kamu jangan mikirin masalah harga, Dy. Yang penting gaun itu cocok untuk kamu dan kamu pun suka,” kata Kanayya meredam keresahan Lady. “Kamu nggak usah pikirin yang nggak ada gunanya dipikirin. Kamu fokus saja menghadapi hari pernikahan kamu ya,” lembut suara Kanayya menasihati.Lady kembali memandang kaca. Sementara di b
“Apa nggak ada cara lain, Pi? Aku kok ya nggak rela cucuku menikah sama perempuan low quality kayak gitu,” omel Jenny gelisah. Sudah sejak tadi perempuan itu bolak-balik dan berjalan mondar-mandir seperti cacing kepanasan.”Aku juga nggak rela, tapi mau gimana lagi,” ucap Alex pasrah.“Nggak bisa gitu dong, Pi. Rain itu cucu kita satu-satunya dari anak kita yang juga satu-satunya. Kalau Denis bisa dapetin Kanayya yang hiqh quality, kenapa Rain nggak bisa? Aku nggak nyangka ternyata standar Rain bakal anjlok kayak gitu.””Ya mau gimana lagi, itu kan maunya Kanayya.””Ck! Aku nggak ngerti sama menantu kamu itu. Bisa-bisanya melakukan tindakan bodoh kayak gitu. Dia pikir cucu kita udah nggak laku apa?” Suara Jenny meninggi.Alex bangkit dari duduk dan mengusap pundak istrinya. ”Tenang, Mi, sabar dulu. Ingat, Mi, kita ini sudah tua. Papi nggak mau hipertensi Mami kambuh lagi.” “Aku nggak bisa tenang kalau kayak gini. Aku nggak mau generasi penerusku dari perempuan sembarangan. Pokoknya p
Hari yang dinanti-nanti itu akhirnya pun tiba. Hari pernikahan Rain dan Lady. Acara tersebut hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat lantaran dilaksanakan begitu privat. Hanya saja dari keluarga Kanayya tidak dihadiri oleh kakek dan neneknya Rain. Alex dan Jenny enggan hadir karena mereka jelas tidak menyetujui pernikahan tersebut. Sedangkan Rasya dan Kiran yang awalnya ingin pulang, Kanayya larang. Kasihan mereka yang sudah berumur harus bolak-balik. Nanti aku kirimi Mama dan Papa foto dan videonya, janji Kanayya sehari sebelum acara dilangsungkan. Syukurlah Rasya dan Kiran mau mengerti dan tidak memaksa untuk pulang.Lady yang hari itu tampak jelita dalam balutan gaun pengantinnya memandang ke depan. Tepat pada laki-laki yang menjadi wali nikahnya dan saat ini sedang berjabat tangan dengan Rain. Seluruh dari sedikit orang yang hadir di sana menegang ketika pembacaan prosesi pernikahan pun dimulai.”Namaku Rain bin Denis Gentala King, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Lady Qu
Melangkah dengan teramat pelan, Lady menuju pintu depan. Membukanya kembali dan melongokkan kepala keluar. Rain sudah menghilang dalam sekejap mata, meninggalkan aroma parfumnya yang maskulin. Lady menghela napas panjang. Mencoba membangun kesabaran yang juga panjang, dimulai tepat hari ini. Ralat. Bukan hari ini. Tapi Lady sudah belajar bersabar sejak pertama kali mengenal Rain, jauh sebelum dirinya dan laki-laki itu menikah.Setelah yakin pintu terkunci dengan benar, Lady menarik langkahnya ke arah dalam. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar Rain. Sejena ia ragu tentang apa yang akan dilakukannya. Apa tidak masalah jika ia masuk ke kamar laki-laki itu? Apa lelaki itu akan marah dan ngamuk lagi padanya nanti jika tahu?Pelan-pelan tangan Lady terulur untuk memutar knop. Begitu pintu terbuka Lady dihadapkan pada pemandangan kamar Rain yang berantakan. Ranjang besar yang tidak pernah rapi itu kusut masai. Selimut yang tidak dilipat terjuntai ke lantai. Begitu pun beberepa pak
Oooh I love that dressBut you won't need it anymoreNo you won't need it no moreLet's just kiss 'til we're naked, baby…Lantunan remix suara Bruno Mars mengiringi tarian erotis yang dipertontonkan malam itu di Romantic.Rain adalah satu dari sekian banyak orang yang menikmatinya. Kepalanya ikut bergoyang sedang di tangannya menggenggam gelas minuman yang sejak tadi ditenggaknya.“Gila lo, malam pertama harusnya lo tuh di kamar lagi bikin anak, bukannya di sini,” komentar Gavy, teman minumnya malam itu.”Anak? Apa tuh anak? Hahaha…” Rain tertawa lepas. Aroma alkohol yang kuat menguar dengan jelas dari mulutnya.“Lha, dia mabok,” gumam Gavy menyadari Rain yang sudah hangover. “Rain, lo jangan mabok di sini, jangan nyusahin gue.” Gavy melirik kanan kiri mencari-cari orang yang sekiranya mereka kenal. Tapi tidak ada siapa-siapa. “Sialan, ntar gue lagi yang anter lo balik,” umpatnya jengkel.Rain yang sudah teler menjatuhkan kepalanya ke sandaran tempat duduknya. Pria itu lantas mulai me
"Han… Hany… Hany…” Suara itu terdengar lagi, membuat Lady betul-betul menghentikan langkahnya.Dengan hati-hati perempuan itu berjalan mendekat, kembali menghampiri ranjang. Duduk di pinggirnya, Lady bisa mendengar dengan lebih jelas ucapan Rain yang kini sampai ke gendang telinganya.“Han… Hany… aku kangen, kamu kapan pulang?” Ucapan itu begitu nyata dan kentara yang membuat Lady jadi tahu sekarang betapa Rain betul-betul merindukan kekasihnya.”Kamu kangen dia ya? Emang dia ke mana?” Lady memberanikan diri bertanya.Tidak ada sahutan apa-apa. Lady tidak pernah tahu apa jawabannya karena Rain kembali tertidur.Tangan Lady sudah bergerak untuk membelai kepala Rain. Namun urung terjadi dan hanya menggantung di udara. Ia tarik kembali tangannya, khawatir jika tiba-tiba saja Rain terbangun dan berpikiran macam-macam padanya.Setelah berpikir cukup lama, Lady memutuskan untuk meninggalkan kamar Rain dan membiarkan lelaki itu tidur sendiri. Biarlah. Paling kalau dia bangun dan butuh apa-ap
Setelah menyesap tehnya sampai habis, Lady meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya untuk mengambil tas. Kamarnya bersisian dengan kamar Rain. Maka apa pun aktivitas laki-laki itu akan terdengar dari sana.Keluar dari kamar dengan tas tersampir di bahu, Lady melangkah pelan. Merasa penasaran tentang suara benda pecah tadi, ia berbalik memutar tubuhnya dan berhenti tepat di depan kamar Rain.“Rain!” Tangannya mengetuk pintu kamar yang tertutup.Tanpa Lady duga ia tidak perlu memanggil dua kali karena Rain segera membuka pintu.”Rain, tadi aku denger ada suara benda pecah. Ada yang pecah ya?” tanyanya hati-hati, khawatir jika laki-laki itu akan meledak lagi.”Lo beresin itu sekarang,” tunjuk Rain ke arah dalam dengan nada datar.Lady melongokkan kepala dan melihat pecahan kaca di lantai. Begitu tatapan ia alihkan ke nakas Lady tidak melihat piring berisi roti dan gelas air kelapa yang tadi. Fix, pecahan kaca di lantai berasal dari piring serta gelas yang tadi utuh di nakas.”Kok m
Ale dan Zee baru saja meninggalkan Nirwana Mall. Mobil yang Ale kendarai bergerak pelan di jalan raya.“Kita ke rumah Rain dulu ya, Zee?””Nggak jadi ke toko Lady?”“Jadi, tapi Rain juga mau ikut ke sana.”“Boleh, kan kamu yang nyetir.” Zee coba bercanda dan pria kharismatik di sebelahnya langsung menebar senyum maut.”Kamu tadi kenapa bisa ada di Nirwana?” Ale tanya begitu karena haram hukumnya buat keluarga Jacob menginjakkan kaki di area milik keluarga Lee.”Kebetulan lewat dan mau ke ATM, ya udah, aku langsung berhenti.””Alesan.”“Kok alesan?”“Pasti lagi nyariin aku. Sengaja kan biar bisa ketemuan?”Zee tak kuasa menahan tawa menanggapi kenarsisan pria di sebelahnya.Ale memandang pada Zee dan tersenyum penuh makna. “Cantik banget.”“Apanya yang cantik?””Bajunya.”Refleks Zee menurunkan pandangan mengamati busananya sendiri. Saat ini ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan bagian ujung baju diselipkan ke dalam rok span berwarna beige yang panjangnya hanya sebatas lutut. Z
Melihat Rain senang dan sebahagia ini Lady juga ikut semringah. Ini baru rencana tapi Rain sudah sebahagia itu, apalagi jika nanti mereka benar-benar memiliki anak.“Lad, kayak yang Bunda bilang ke kamu kita kudu usaha, kita harus bakar kalori tiap hari, dari sekarang kita harus atur jadwalnya, Lad, kalau perlu tiga kali sehari kayak minum obat,” ucap Rain bersemangat.”Itu sih modus kamu aja kalii…” Lady tertawa sembari mencubit kecil lengan sang suami.“Modus untuk kebaikan apa salahnya?” Rain berkilah dan membalas cubitan Lady di tangannya dengan kecupan di pipi perempuan itu”Dasar kamu tuh ya, paling pinter kalau cari alasan.”Rain menarik Lady ke dekapannya saat istrinya itu berniat untuk pergi. ”Mau ke mana, Lad?”“Ya ke toko dong, mau ke mana lagi memangnya?”“Nggak bisa kamu di rumah aja? Temenin aku, Lad…” Rain memeluk Lady, berbisik di telinganya lalu menggigitnya pelan yang membuat Lady jadi meremang.“Aku kan harus kerja, Rain…,” kata Lady menolak.“Kamu kan owner, ngapai
Surat perjanjian kesepakatan itu akhirnya ditandatangani oleh kedua belah pihak. Keluarga Jacob akhirnya menyetujui meskipun awalnya keberatan dengan beberapa poin perjanjian yang dirasa memberatkan mereka. Namun, Wisnu serta Reno sebagai kuasa hukum berhasil mengatasinya.Rain dan ketiga perempuan tersayangnya pulang setelah semua tuntas. Namun sebelum itu Wisnu sempat berbisik padanya menanyakan Camry yang Rain janjikan. Pria itu sepertinya khawatir jika kliennya sampai ingkar."Pak Wisnu tenang saja, besok Bapak bisa ambil mobilnya. Kalau sekarang saya capek, Pak." Begitu jawaban Rain tadi. Syukurlah sang pengacara mau mengerti dan tidak mendesak.Mereka pulang ke rumah dengan kepala yang jauh lebih ringan. Satu masalah sudah terselesaikan. Rain harap setelah ini tidak ada masalah lain yang memberati kepalanya."Lad, kayaknya aku butuh distraksi." Rain memeluk Lady yang sedang mengganti baju dari belakang. Mereka baru saja tiba di rumah dan sekarang sedang berada di kamar.Lady mem
Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan didampingi kuasa hukum masing-masing.“Maaf, kalau kami terlambat,” kata Wisnu membuka percakapan.“Tidak sama sekali.” Reno yang menjawab. Keduanya sama-sama melempar senyum hangat.Wisnu kemudian menyapa keluarga Jacob satu per satu. “Gimana kabarnya, Pak Jacob? Sehat?”Jacob menganggukkan kepala sambil tersenyum berwibawa.“Bu Jasmine sehat juga kan? Arisan lancar, Bu?”“Lancar, Pak. Bisa kita mulai sekarang?” Perempuan itu sudah kehabisan kesabarannya.“Tentu saja bisa, Bu. Tapi sebelum dimulai dan saya membacakan isi kesepakatan, sebaiknya Sydney juga hadir di sini.”“Sebentar.” Jasmine lalu beranjak dari sana untuk kemudian memanggil anaknya di kamar.Selagi menunggu, Wisnu dan Reno saling mendekat dan berbicara dengan suara separuh berbisik mengenai kesepakatan mereka.Selang beberapa menit kemudian Jasmine kembali muncul beserta Sydney serta perawat pribadi. Sementara yang lain duduk di sofa, Sydney duduk sendiri di ku
Sudah berbatang-batang rokok Rain isap. Puntungnya juga hampir menggunung memenuhi asbak. Sementara Wisnu sedang berbicara dengan Kanayya di dalam rumah.Rain menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris putus asa kala menyadari saat ini sedang berhadapan dengan siapa. Mau tidak mau Rain mulai menyadari kebenaran perkataan Wisnu bahwa untuk menghadapi orang seperti Jacob dibutuhkan intrik yang cerdik.‘Tuhan… bantuin gue dong…’ Ia berteriak di dalam hati. Di saat itu Rain baru menyadari bahwa mungkin seseorang bisa membantunya. Ale. Jika selama ini sahabatnya itu selalu ada untuknya maka kali ini pasti Ale bisa menolong.”Nyet, bantuin gue,” ucap Rain ketika panggilan terhubung dengan Ale melalui saluran telepon.“Gue harus bantu apa? Kalau gue bisa pasti akan gue lakuin.” Ale menjawab dari seberang sana.“Gue udah bikin perjanjian sama bokapnya Sydney, tapi masa iya sih semua poinnya merugikan gue.” Rain kemudian menceritakan secara detail apa saja isi kesepakatan itu termasuk menyebutkan
“Gimana, Mas Rain? Apa sudah cukup jelas? Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” tanya Reno, pengacara keluarga Jacob setelah sekian menit Rain masih termangu.“Saya nggak bisa tandatangani surat ini sekarang, Pak.” Rain menjawab sembari memandang lurus ke arah sang kuasa hukum.Seluruh keluarga Sydney terkejut mendengar penolakan Rain.“Kenapa? Apa ada yang kurang jelas? Saya bisa terangkan kalau Mas Rain masih kurang mengerti.”“Saya mengerti apa maksud dan tujuannya. Tapi saya nggak setuju pada beberapa poin di dalam surat perjanjian ini.” Rain menyatakan keberatan.“Bagian mana yang Mas Rain tidak setuju? Mungkin kita bisa bicarakan sama-sama.” Reno terus berusaha membujuk Rain. Sebagai kuasa hukum tentunya pria itu piawai bersilat lidah dan andal bernegosiasi.”Hampir semua bagian saya tidak setuju, terutama poin nomor dua, lima dan enam. Untuk apa konferensi pers? Apa kalian ingin membuat saya malu? Kalian ingin orang-orang jadi tahu, begitu tujuan kalian?”“Mas Rain, tolong jang
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia