Telunjuk Zee masih berada di bibir Ale sejak beberapa detik yang lalu, sedangkan lelaki itu menatapnya dengan sorot sedih, kasihan serta rasa sayang yang tidak ada habisnya.“Rasanya deritaku nggak habis-habis. Setelah kamu tinggal nikah, sekarang malah kena tumor. Aku sempet mikir mungkin lebih baik mati aja jadi nggak ada beban apa-apa lagi. Tapi saat ingat kalau kamu pernah bilang yang pergi hanya raga, tapi jiwa, hati dan perasaan kamu hanya untuk aku, akhirnya aku jadi semangat lagi. Soal itu kamu nggak bohong kan, Le?””Nggak, aku nggak bohong,” kata Ale menidakkan. “Udah, Zee. Sekarang kamu jangan bahas soal kematian, kamu nggak akan mati, kamu nggak akan ke mana-mana, kamu akan tetap di sini.” Ale tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya yang tergambar sangat jelas di wajahnya.”Tapi kamu juga bakal sama-sama aku kan? Kamu tuh semangat aku banget, aku nggak akan kuat kalau nggak ada kamu.”“Iya, iya, aku nggak akan pergi, kita akan tetap sama-sama,” kata Ale menjanjkan. Ia t
"Saya lupa, saya belum kasih selamat sama kamu. Selamat ya, Rom, semoga di bawah kepemimpinan kamu Healthy Hospital semakin maju dan jauh lebih baik,” kata Kanayya pada Romy yang sedang menyetir di sebelahnya.”Terima kasih, Tante, saya masih harus lebih banyak belajar lagi dari Tante. Saya juga mohon arahan dan petunjuk dari Tante.” Kanayya tersenyum tipis. Inilah yang disukai Kanayya dari Romy. Lelaki itu sangat rendah hati dan tidak merasa tinggi meskipun posisinya jauh di atas Kanayya.”Tante kok senyum-senyum? Saya serius lho, Tan,” kata Romy melihat respon Kanayya. Ia ikut melengkungkan bibir.“Gimana saya nggak senyum kalau kamu ngomongnya gitu.”“Memangnya kenapa, Tante? Ada yang salah dengan kata-kata saya?””Nggak salah, tapi kebalik. Seharusnya saya yang belajar dari kamu.”Romy tertawa ringan. “Tante jangan terlalu merendah. Tante kan sudah senior. Sudah sewajarnya kalau saya belajar banyak dari Tante.”Sepanjang perjalanan ke rumah Kanayya keduanya mengisi dengan percaka
Zee terus memohon agar Alana mengizinkan Ale mengantarnya. Bahkan di mata Alana Zee terlihat seperti sedang mengemis izin padanya. “Kalau pake taksi gimana?” Alana memberikan alternatif terakhir pada Zee.“Nggak enak, Na, takutnya nanti Zee kenapa-kenapa. Zee kan sendiri.” Ale yang menjawab mewakili sang mantan, memberikan pendapat.Oh, ternyata begitu rupanya.Ya sudahlah. Dari pada nanti sepanjang acara Ale seperti cacing kepanasan kerena memikirkan Zee lebih baik Alana izinkan saja agar lelaki itu puas.”Pergi aja kalau mau pergi,” putus Alana.Ale akhirnya lega karena Alana mengizinkannya. Semestinya tanpa meminta izin pun ia bisa pergi. Ale hanya ingin sedikit menghargai Alana. Lagi pula ini rumah perempuan itu.”Nanti dari rumah Zee aku langsung pulang, aku nggak mampir ke mana-mana,” kata lelaki itu menjanjikan.“Terserah,” jawab Alana. Ia tidak ingin berharap apa-apa karena Ale sudah terlalu sering mengecewakannya.“Thanks, Na, aku balik dulu. Sehat-sehat ya bumil…” Zee memel
Lady kembali masuk ke dalam rumah. Pun dengan Zee. Demi apa coba ia berada di sini?Atau sebaiknya ia pulang saja?“Dy, yang ikut siapa aja?” Zee bertanya kala keraguan kembali melanda.“Kita-kita aja sih, nggak ada orang luar. Aku, Rain, Bunda, Alana sama Ale.”“Aku mending pulang aja ya?””Lho, kenapa gitu?”“Aku nggak enak, soalnya ini kan acara keluarga.”“Santai aja, Zee, kamu kan juga bukan orang lain,” kata Lady agar Zee tetap merasa nyaman.Zee menggigit pipi bagian dalam. Ia berdiri dengan risih dan masih merasa ragu.”Zee, bentar ya, aku tinggal mandi nggak apa-apa kan? Asem nih." Lady mendekatkan hidung ke bajunya.Zee mengiakan dan memilih duduk di beranda sendiri selagi Lady mandi.‘Apa aku pulang sekarang aja ya?’ Pikiran dan keraguan terus berputar-putar di kepala Zee. Namun nyatanya ia tetap bertahan duduk di kursi beranda.Cahaya dari lampu mobil menyorot tepat di wajahnya. Zee terkesiap. Ternyata Ale yang datang.Tanpa melihat apa pun yang berada di depannya, Ale la
Pagi ini Alana sudah bersiap-siap. Ia mematut diri di depan cermin sambil memindai penampilannya dari puncak kepala hingga bawah kaki. Bajunya yang lama kebanyakan masih muat di badannya. Hanya saja bagian perutnya sudah mulai menonjol."Mau ke mana kamu, Na?" Suara Ale terdengar di telinga Alana. Pria itu pun sama rapi dengannya dan sudah siap untuk berangkat ke kantor."Mau ke kantor temennya Romy. Dia tertarik sama portofolio aku, Romy bilang aku diminta ke sana sekarang sekalian interview," terang Alana menjelaskan. Tadi malam tidak lama setelah mengirim portofolionya Romy menelepon memberitahu hal tersebut. Di saat itu Ale sudah tidur."Baru tadi malam dan sudah ada hasilnya?" respon Ale kurang yakin."Yup, Romy bilang mereka butuh cepat.""Jadi kamu perginya sendiri?""Sama Romy. Aku belum tahu tempatnya, jadi Romy yang anter. Mungkin bentar lagi dia nyampe."Ale menghela napas. Tidak mengerti kenapa Romy begitu gencar mendekati istrinya. Ale merasa keberatan. Tapi jujur saja in
Alana berdeham, meneguk air mineral yang tinggal separuh untuk menjernihkan tenggorokannya yang mendadak kering. Ia yakin sebentar lagi Romy akan bertanya padanya.Alana mulai menghitung mundur di dalam hati.Sepuluh, sembilan, delapan, tu–”Lana, yang tadi kalau nggak salah temen kerja kamu kan?”Alana menganggukkan kepala. “Namanya Zee, dia anak owner Jacob Property.”“Dia kenal Ale juga?”“Ya, dia mantannya Ale.” Alana tersenyum menutup kalimatnya. Ia tidak tahu apa hingga saat ini Ale dan Zee sudah menjadi mantan atau masih menyambung hubungan mereka. Yang Alana tahu hanya itu jawaban terbaik yang bisa ia berikan.Romy tidak berkata lagi, akan tetapi di dalam hati bertanya sendiri. Ia merasa ada yang aneh saat melihat Zee menggandeng tangan Ale meskipun Ale melepaskannya.“Lana, maaf, bukan saya mau ikut campur, tapi kalau saya boleh tahu apa hubungan kamu dengan Ale baik-baik saja?”“Tentu,” jawab Alana cepat. Senyum terkembang di bibirnya untuk menguatkan pernyataannya.Romy men