"Garini! Buka pintunya! Garini Sarasidya!"
Gedoran pintu dari luar sempat membuat mataku terbuka. Namun, lelah yang menguasai membuatku abai. Begitu juga dengan Sara. Dia semakin mengeratkan pelukan seolah takut aku bakal pergi seperti terakhir kali. Mungkin, aku juga mulai bosan dengan keadaan diam-diam kami selama ini.
"Garini!"
Sara mendadak terbangun, menarikku untuk mengikuti. Dari membuka pintu lemari sampai menyuruhku tetap diam di kamar mandi. Dia panik.
"Sara takut?" Aku terkikik, menyadari tubuh yang terasa lengket setelah peluh semalaman melekat di bawah pendingin ruangan.
Di luar terlalu bising. Suara bariton tampaknya mendominasi pembicaraan. Setelahnya seperti pintu-pintu yang dibanting dan berakhir pada gedoran pintu kamar mandi.
"Buka! Buka atau perlu saya dobrak?" Gagang pintu bergerak kencang, dipaksa membuka. Teriakan Sara dan suara jatuh membuatku berhenti menganggap remeh. Spontan kutarik handuk di kabinet setelah mencuc
Minggu pertama sekolah tuh apa sih yang dihadapi siswa? Perkenalan siswa baru? Perkenalan wali kelas? Banyak rapat guru?Jarang banget seminggu pertama itu langsung belajar. Kayak deretan orang yang ikut nongkrong bareng aku pada bangku di pinggir lapangan. Kayaknya semenjak punyateman, kebebasanku seketika terpasung.Ada Nabas yang milih jongkok di bangku dengan dalih enggak mau belakang celananya kotor. Tau-tau nanya aja,"Ambil kerjaan enggak entar?""Kagak." Masih aja nawarin padahal udah berkali-kali kutolak.Nabas mengeluarkan permen dari sakunya. "Nemenin doang." Kirain bakal ngasih. Iya, bungkusnya doang dititip ke saku seragam.Aku menggeleng, mengembalikan sampah ke sakunya sebelum merentangkan kedua tangan pada sandaran bangku. "Kerjaan lo .... Gue enggak mau ambil risiko." Tatapanku tertuju pada Sara yang berada di puncak piramida tim pesoraknya. Seminggu terakhir latihan fisik ternyata bisa mengurangi efek penambaha
"Kalian bisa lakuin di rumah kali. Bukan di sekolah." Kea muncul di depan pintu dalam keadaan bersedekap, melirik ujung lorong dan kami bergantian. "Syukur gue yang nemuin." "Lo ngapain muncul di sini?" Aku menengahi keberadaan Sara dan Kea, menggenggam tangan Sara keluar dari ruangan. Kea menyejajari langkahku melintasi lorong yang menghubungkan empat kelas di lantai tiga. Enggak kayak sebulan lalu tanpa dinding, gedung ini sudah siap ditempati kalau aja dibersihin kayak lantai satu. "Jaga-jaga. Kali ada adik kelas yang naik ke atas sini." Kea fokus menekuri lantai yang akan dijejaknya. Sesekali tatapannya terlihat ke arah lapangan tempat dua temanku bicara sama teman Sara tadi. "Bikin jantungan aja lo." Kurasakan genggaman Sara menguat. Saat menoleh, aku tertinggal dari Kea karena menaikkan Sara ke belakang punggung. "Mungkin mereka mau mesum juga," timbangku mengingat lorong ini mema
Di ranjang? Sering banget kayaknya aku mulai nyeritain awal di ranjang atau minimal abis gituan. Mau gimana, dong? Ingatanku dimulai setelah membuka mata. Bedanya kali ini, aku mempersiapkan kue kecil. Hanya berdiameter sepuluh senti dengan banyak lapisan dadar manis berlapis krim ditutup serbuk kemerahan. Di internet sebutannya mille crepes atau thousand layers cake, dengan rasa red velvet. "Selamat mengulang hari lahir," kataku lebih dulu setelah menyalakan lilin mini yang jumlahnya hanya satu di pertengahan kue. Bukan lambang usia, hanya ... aku enggak tahu gimana ngehadapin ulang tahun ketika aku sendiri enggak pernah rayain. Ya, ada beberapa pesta, mungkin, tapi semua itu terlalu mewah. Pukul dua belas malam, lewat sedikit. Ya, balik lagi, setelah permainan panas tentunya. Gejolak muda yang masih penuh tenaga dan euforia ledakan cinta. "Kapan lo nyiapin ginian, Sa?" Sara bergeser maju me
"Kamu benar-benar mencintai anak saya?" Pertanyaan yang kuhadapi di depan mata dari mertua yang dulunya sering marah-marah kalau mampir ke kamar kosku. Pakaian papanya Sara belum berganti saat duduk pada kursi di ruang makan. Dia hanya menyesap kopi yang disediakan sang anak dan berkali-kali melihat tampilanku yang sudah berseragam lengkap putih-abu. "Mungkin belum," ucapku santai seraya meletakkan piring berisi nasi uduk lauk dendeng ke hadapannya. "Kalau begitu, mengapa kalian nekad menikah?" Tatapan tajam itu semakin menambah efek menyeramkan dari kumis yang menghiasi wajah papanya Sara. Cinta? Makanan seperti apa itu? Bercanda. Enggak perlu dianggap serius. Pikiranku hanya menggali-gali definisi apa yang tepat untuk cinta. Selama ini, hubungan kami hanya didasari pada kebutuhan gairah yang meledak. Enggak tahu Sara. Jika saling mengisi dan membutuhkan itu disebut cinta, mungkin aku
Permintaan ulang tahun sang tuan putri yang enggak bisa ditolak hari ini. Kebiasaannya yang tukang pamer kebahagiaan, membuat kami hari ini menjadi tontonan di tengah lapangan sekolah saat jam pulang."Kayaknya gue enggak bilang mau lakuin kayak gini, deh." Aku terus mengulang keluhan yang sama. Enggak suka jadi pusat perhatian, malah harus nemenin megangin kaki dia yang lagi berusaha sit-up dengan lutut ditekuk mencapai keberadaanku buat curi ciuman singkat sesekali.Peganganku menguat di sela lututnya sementara kakiku mengapit sisi luar sepatu putih Sara. Dia ... sekali lagi menggapaiku, tapi enggak kena. Menghindarinya ternyata mengundang decak tawa. Beberapa penonton lagi tampak terkesima."Keren tau, Sa. Lagi musim gitu orang-orang bikin vlog bareng pasangan." Sara menanggapi setelah menyelesaikan sepuluh hitungannya dan memberi isyarat berganti posisi.Kali ini aku yang berbaring pada hangatnya
Dentum musik menggema memenuhi ruangan. Gerak manusia saling merapat di pertengahan, tepat di hadapan dj yang sesekali menyapa. “Ambil aja! Enggak ada alkohol di acara gue!” teriak Sara pada beberapa orang yang menyalaminya dan turut bergoyang mengikuti hentakan musik. Dia menunjuk pada susunan gelas meninggi yang tersusun membentuk piramida kaca dikelilingi gelas-gelas bertangkai tinggi yang diisi buah dan soda. Aku sendiri berada di sisinya. Lebih mirip patung pajangan yang berdiri menjadi pegangan atau bahkan sandaran Sara semenjak pesta dimulai. Tema pakaian yang digunakan lebih pada rebelnya masa peralihan dari remaja ke dewasa. Ini mah aku banget. Atau mungkin Sara emang sengaja? “Kak Aksa keliatan garang, ya?” komentar salah seorang adik kelas yang hadir dan menyerahkan kadonya ke Sara. “Seneng?” Sara justru merengut ke arahku. Dia menguatkan cengk
Seraya berlari menuju parkiran motor, aku menghubungi kedua temanku di dalam ruang pesta. Nihil. Kalaupun tersambung, di dalam sana terlalu bising. Kuketikkan pesan singkat yang meminta bantuan mereka mencari keberadaan nomor plat mobil yang membawa Sara.“Ra ... apa gue bilang? Lo enggak dengerin gue, sih.” Percuma mengeluh. Kusambungkan pelantang tanpa kabel di telinga yang disambungkan pada ponsel dalam saku celana setelah menyalakan motor andalanku.Deru mesin mengadu ketebalan ban pada jalan yang dilalui. Aku enggak peduli dengan kemacetan yang menyambut di luar gedung parkir. Gimana pesta berjalan tanpa bintang utama? Ini namanya penculikan.“Gimana? Ada kabar?” tanyaku begitu panggilan di telinga tersambung. Berbagai panggilan kuterima sepanjang satu jam perjalanan di malam hari yang membekukan pergerakan tangan pada kedua setang masih seputar pergerakan kendaraan yang belum juga tampak di
“Aksa? Kamu di mana, Nak?” Suara dari pelantang yang tersemat di telingaku terdengar cepat. “Abah sudah di belakang mobil yang kamu bilang.” Sayangnya, semua terlambat. Aku terlambat. Seketika aku hancur melihatnya. Apa mungkin ini juga yang Sara rasakan ketika melihatku dulu menyentuh orang lain di depan matanya? “Abah ... Aksa gagal lindungin Sara, Bah ....” Aku berucap lirih tanpa bisa bergerak ketika sadari kedua tanganku telah terikat di belakang punggung. “Anak kecil pake nangis.” Kalimat itu kudengar setelah sekali tendangan menyapa pelipis. Sengat yang menyerang berikutnya enggak seberapa dibanding kekecewaan yang terlihat. “Sara, Bah ....” Menggeleng kuat pun, enggak ada yang bisa kulakukan. Hanya berguling, menutupi wajah dengan menghadap lantai. Ingin sekalian kubenturkan, tetapi cengkeraman di rambutku justru menahan. Temannya G ini sengaja