"Dad!" ujar Emily dengan sedikit berbisik, kemudian tersenyum malu ketika melihat Daniel yang sedang memperhatikannya.
"Tidak, ada tim lain yang ikut. Tetapi mereka sudah pergi terlebih dahulu," jelas Daniel."Oh begitu, jadi bukan hanya berdua saja kan?" tanya Fred kembali memastikan.Emily memberikan isyarat kepada ayahnya untuk tidak bertanya lebih lanjut."Anda tidak perlu khawatir. Saya menghargai Emily sebagai sekretaris saya dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas," tegas Daniel.Fred melihat Daniel dari atas ke bawah, mencoba menilai karakternya. Daniel merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Fred padanya."Baiklah, bisakah kami pergi sekarang? Kami akan terlambat jika menunda terlalu lama," ucap Daniel."Oh, iya. Silahkan," ucap Fred pada akhirnya sambil tersenyum.Emily mendorong kopernya yang berat dan hendak meletakkannya di bagasi mobil. Sopir pribadi Daniel datang untuk membantunya."Biar saya saja yang menaruhnya ke dalam bagasi," ujar sopir itu dengan nada sopan."Terima kasih, Pak," jawab Emily.Emily naik ke dalam mobil dengan jantung yang berdetak kencang. Setiap kali berhadapan dengan Daniel yang begitu serius dan dingin, membuat bibirnya menjadi keluh dan perasaannya begitu gugup."Kakimu terluka," ujar Daniel saat melihat lutut Emily yang terluka, luka itu terlihat jelas karena Emily mengenakan rok di atas lutut."Tidak apa-apa, Pak. Ini hanya luka kecil," ucap Emily merasa gugup dan sedikit malu."Perhatikan langkahmu saat berjalan, jangan terlalu ceroboh," tegur Daniel dengan suara tegas."Baik, Pak," jawab Emily dengan suara pelan.Daniel melirik sekilas pada mata bengkak Emily tetapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut dan mengacuhkan hal itu.Setelah beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya mobil mereka tiba di bandara. Emily merasa sangat gugup. Ini adalah perjalanan dinas pertama baginya, dan dia berharap semuanya berjalan lancar.Ketika mereka turun dari mobil, perasaan gugup semakin melanda Emily. Bandara penuh dengan keramaian dan kegaduhan, membuatnya semakin gelisah. Daniel melihat kegelisahan Emily dan menghampirinya."Ada apa?" tanya Daniel."Tidak apa-apa, Pak," jawab Emily canggung, tetapi matanya mengungkapkan kecemasan yang tak terucapkan.Mereka berdua berjalan menuju pintu masuk bandara internasional. Petugas bandara menuntun mereka untuk mengikuti jalur first class yang terpisah dari antrian umum. Emily merasa detak jantungnya semakin cepat, dan nafasnya terasa terengah-engah.Emily menggenggam tiketnya dengan erat, berusaha menenangkan dirinya dengan mengingatkan bahwa ini adalah langkah penting dalam perjalanan dinasnya. Namun, saat mereka melangkah ke dalam pesawat, perasaan gugupnya berubah menjadi ketakutan yang semakin menguat.Emily merasa jantungnya berdegup kencang saat dia melihat kursi tempatnya akan duduk. Dia merasa gemetar ketika mengikatkan sabuk pengaman di sekitar tubuhnya.Emily memejamkan matanya erat ketika pesawat mulai bergerak. Tangan dan kakinya bahkan sudah terasa sangat dingin saat ini. Ini adalah kali kedua dia melakukan perjalanan dengan pesawat, apalagi dia sedikit takut dengan ketinggian."Kamu tidak apa-apa?" tanya Daniel ketika melihat wajah Emily yang sedikit pucat."Tidak apa, Pak," jawab Emily, berusaha tersenyum meskipun rasa takut masih menghantuinya."Saya sedikit takut dengan ketinggian, Pak," ucap Emily akhirnya jujur, membiarkan ketakutannya terungkap."Kuatkan dirimu, sebentar lagi pesawat akan lepas landas," ucap Daniel yang hanya dijawab anggukan pelan oleh Emily.Saat pesawat mulai lepas landas, Emily merasakan detak jantungnya semakin kencang. Dia memejamkan matanya dengan begitu erat, mulutnya mulai melantunkan doa agar mereka bisa tiba dengan selamat di perjalanan kali ini."Apakah sudah naik, Pak?" pertanyaan itu terus menerus terlontar dari bibir Emily hingga akhirnya pesawat berhasil lepas landas. Mendengar pertanyaan terus menerus seperti itu dari Emily, membuat Daniel merasa sedikit risih.Meskipun mencoba untuk tetap tenang di dalam pesawat, perasaan cemas Emily masih terasa. Dia memejamkan matanya, mencoba untuk mengalihkan pikirannya ke hal-hal yang lebih positif. Dia menghirup nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Ketika pesawat mencapai ketinggian yang stabil, pramugari mulai melayani penumpang dengan ramah. Emily mengucapkan terima kasih dengan sopan saat menerima makanan dan minuman mereka. "Terima Kasih.""Wah, makanannya enak sekali," gumam Emily, hatinya mulai merasa tenang ketika mereka mencapai ketinggian yang stabil.Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil foto suasana di dalam pesawat. Setiap sudut kabin, setiap senyuman di wajahnya, semuanya ia tangkap dengan ponselnya. Dia merasa takjub karena ini adalah pertama kalinya dia bisa menikmati penerbangan first class seperti ini. Dia beberapa kali terlihat tersenyum sendiri, menikmati fasilitas yang disediakan."Kursi ini begitu nyaman," puji Emily, terkagum-kagum pada kursi yang sedang didudukinya."Di sini juga bisa menonton rupanya," gumam Emily lagi, terpesona dengan hiburan yang tersedia di layar pribadinya.Hal yang dilakukan Emily tidak luput dari perhatian Daniel. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut karena merasa sedikit tidak nyaman dengan reaksi sekretarisnya yang menurutnya terlalu berlebihan.Namun, Emily segera menyadari bahwa Daniel sedang memperhatikan apa yang dilakukannya saat ini. Rasa malu langsung melanda dirinya. "Maaf, Pak."Emily dan Daniel mulai berbincang-bincang tentang rencana mereka selama perjalanan dinas mereka. Topik yang mereka bicarakan hanya seputar pekerjaan saja.Selama perjalanan yang panjang, mata Emily mulai terasa berat dan hampir menutup karena semalaman dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sementara itu, Daniel tengah sibuk membaca buku bisnis yang dibawanya dari rumah. Tanpa sadar, Emily akhirnya tertidur. Karena kelelahan, suara dengkuran Emily mulai terdengar jelas di telinga Daniel. Daniel menatap Emily dengan tidak percaya, karena meskipun dia seorang wanita, dengkuran Emily terdengar cukup keras.Daniel merasa terkejut dan sangat terganggu oleh dengkuran Emily. "Dia sangat menyebalkan," gerutu Daniel.Daniel mencoba untuk melanjutkan membaca bukunya, tetapi dengkuran Emily terus mengalihkan perhatiannya. Setiap kali dia mencoba untuk fokus, suara dengkuran yang terus terdengar membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Akhirnya, Daniel memutuskan untuk menutup bukunya dengan sedikit keras dan mencoba untuk tidur.Namun, meskipun dia berbaring dengan mata tertutup, pikirannya masih tetap terjaga. Sementara itu, Emily telah terlelap dalam alam mimpinya dengan mulut yang sedikit terbuka. Suara dengkuran yang terus terdengar membuat Daniel menjadi sulit untuk menutup matanya. Dia merasa terganggu dan tidak bisa tidur.Daniel mengambil sesuatu dari dalam ranselnya dan menemukan sebuah earphone bluetooth. Tanpa ragu, Daniel memasang earphone tersebut di telinganya, berharap dapat menutup lubang telinganya agar tidak lagi mendengar dengkuran Emily.Daniel akhirnya bisa menutup matanya dan mulai merasakan tidur yang lelap. Sementara itu, Emily membuka matanya perlahan setelah tidur yang memuaskan. Dia terbangun dengan perasaan hangat di dadanya, dan saat melihat ke sebelahnya, dia terpesona oleh wajah tampan seseorang yang sedang tertidur. Wajah pria itu begitu memikat, dengan ekspresi yang tenang dan penuh daya tarik. Hidungnya yang mancung dan garis rahang yang ditumbuhi sedikit bulu halus menambah pesona yang dimilikinya.Emily tidak bisa menahan diri untuk mengungkapkan kekagumannya, meskipun hanya dalam bisikan pelan. "Tampan sekali," gumamnya dengan penuh kagum.Namun, kekagumannya segera berubah menjadi kekhawatiran saat Emily menyadari bahwa pria yang ada di sebelahnya adalah atasannya sendiri, Daniel. Dia merasa sedikit gugup dan takut suaranya akan membangunkan Daniel yang sedang tertidur.Emily berbisik pelan, "Beruntungnya kedua orang tuanya mendapatkan anak yang begitu tampan dan sukses sepertinya. Astaga Tuhan, dia tampan sekali," bisik Emily pelan, takut suaranya membangunkan Daniel yang sedang tertidur lelap."Kalau dia tertidur seperti ini, dia tidak terlihat menakutkan sama sekali," gumam Emily pelan lalu menopang dagunya, mengagumi wajah atasannya.Kelopak mata Daniel bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Dia melihat seorang wanita dengan sepasang kacamata yang menghiasi matanya sedang menatapnya dalam jarak yang lumayan dekat. Tatapan dingin dan tajam Daniel membuat Emily terkejut dan segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, merasa tertangkap basah oleh tatapan itu."Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p