Share

NAMANYA MEITA

"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?"

"Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu."

"Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"

Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun.

"Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?"

"Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu."

"Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat."

"Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?"

"Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?"

"Bukan, aku dengar aja Abang pernah bilang gitu soal kamu."

Saat itu usia mereka masih terbilang muda, Pandu juga tak tahu kalau ucapan yang Jay lontarkan bukan kalimat yang baik saat itu. Namun, Meita tak menganggap itu serius, yang dia tahu hanya satu. "Enggak apa-apa, aku bar-bar tapi abangmu tetap ganteng."

Pandu mendelik gusar, sedikit timbul rasa iri karena sejak dia masuk TK belum pernah ada yang memujinya ganteng, pasti selalu abangnya yang dapat pujian, karena memang Jay unggul di bidang akademik, pula pendiam. Sedang dia hanya pintar di bidang olahraga dan seni.

"Tapi, kalau abangmu ganteng berarti kamu lumayan ketularanlah."

Pandu kecil terdiam, perlahan tersenyum seraya melanjutkan perjalanan mereka pulang ke rumah. Meski penilaian orang sering menyatakan berat sebelah, saat ia tiba di rumah, baik mama mau pun papanya akan memandang mereka sama.

"Oalah, jadi kamu pindah ke daerah sini? Ya ampun, udah lama banget kita enggak ketemu, Pan, Kak!" Meita terkekeh seraya menaruh nampan berisi teh hangat dan kudapan kecil di pelataran rumahnya. Suasana pagi masih terasa sejuk di hari Minggu ini, ketiganya masih mengobrol dan sesekali Meita mencuri pandang ke arah Jay. Sedang Pandu yang tak bisa mengerti situasi masih sibuk berceloteh.

"Pan, pulang yuk! Tadi Mama kan minta tolong buat diantar ke pasar."

"Oh iya, lupa. Mei, kami pulang dulu, ya. Nanti sorean aku main lagi deh, aku juga kangen sama Pakdhe Budhe."

"Oke. Oh iya, ini bawa aja, aku mau ke rumah kalian juga kapan-kapan. Boleh, ya?"

Jay mengangguk, menerima bungkusan dari Meita seraya tersenyum. Sekilas ia menepuk kepala Meita layaknya seorang kakak pada sang adik. "Kakak sama Pandu pamit dulu ya, Mei. Assalamualaikum."

"W*-waalaikumussalam, Kak."

Kedua langkah si kembar perlahan mulai menjauh dari rumah Meita. Decakan gusar Pandu seketika menarik perhatian Jay. "Bang, kamu nih enggak peka apa pura-pura bego, sih?"

"Sembarangan kalo ngomong. Siapa yang bego?"

"Ya Allah, Bang. Dari zaman orok aku juga tau, Meita itu suka sama Abang, cuman Abang aja yang sering banget menghindar. Dia kurang apa coba? Cantik, jelas. Hafidz Quran, belum lagi dari dulu dia juga berprestasi."

"Abang enggak mau pacaran sama yang lebih muda. Mau gimanapun perasaan dia, di mata Abang, Meita itu kayak kamu."

"Dih, jahat."

"Lho, kok jahat? Abang enggak bunuh orang, Pan."

"Bukan gituuuu. Ah ya udahlah, aku mau nemuin Mama dulu. Abang bantu Papa deh rapihin tanaman di taman."

Pandu menggaruk gemas rambutnya. Mungkin benar kata papa dan mamanya, urusan cinta itu hanya memperumit pikiran mereka. Tapi daripada cinta, dia sendiri sulit mengerti jalan pikiran abangnya tentang Meita.

+++

Jalanan Kota Yogyakarta lumayan padat namun masih bisa dilalui tatkala mobil yang si kembar tumpangi melaju stabil menuju SMA Lazuardi Bangsa. Pandu mulai menyetel earphone-nya dan memasangnya di telinga kanan, sisanya ia biarkan menjuntai karena mamanya akan mengomel bila ia memakai earphone di kedua telinga dan tidak mendengarkan keadaan sekitar.

Dua puluh menit berselang, mobil mereka akhirnya sampai di pelataran sekolah. Lapangan parkir itu luas, di samping lapangan parkir, ada pagar tanaman pembatas yang menjadi batas antara lapangan parkir dengan lapangan upacara yang merangkap lapangan bola. Tepat di depan lapangan itu ada tiang bendera yang berdiri tegak, dengan patung ukiran logo dan nama sekolah di bawahnya.

"Selamat pagi, oh ini siswa pindahan, ya? Lho? Bu Gandhi? Kok di sini? Ini anaknya?"

"Pak Jordi? Iya, ini dua-duanya anakku. Jangan bilang yang Pak Yutardi bilang keponakan itu si Meita?"

Kedua orang tua itu tertawa ramah, saling berjabat tangan sebelum si kembar pun menjabat tangan ke arah seorang pria yang sudah mereka kenal. Oh, benar. Kemarin saat bertemu dengan Meita mereka belum sempat membahas kalau sekolah yang mereka tuju adalah SMA Lazuardi Bangsa dan kenyataannya memang si kembar mau pun mama papanya juga tak tahu kalau keponakan yang Pak RT bahas itu Meita dan kepseknya adalah ayahnya Meita.

"Kok enggak mampir dulu to? Tadi saya kira siapa, ternyata teman sendiri."

"Soalnya keburu ambil seragam sama beli perlengkapan tulis baru, Pakdhe."

"Ini juga atas usulan RT kami, Pak Yutardi, karena kebetulan agak susah cari sekolah yang mau menerima siswa pindahan untuk angkatan akhir gini. Saya makasih banget, lho, Pak Jordi."

"Pertimbangan kami juga banyak, Bu. Jay nilai akademiknya juga baik, begitu juga prestasi Pandu yang sering menang kejuaraan nasional di bidang sepak bola. Meita pasti bakal senang nih, gebetannya masuk ke sekolah yang sama."

Bu Gandhi tertawa, namun ada tatapan bertanya. Gebetan? Apa anakku mulai kenal pacaran? Kira-kira begitu pemikiran mamanya si kembar.

"Nah, karena hari ini jadwal ngaji pagi bersama. Si kembar bisa keliling sebentar, asal tetap patuhi aturan, ya? Jangan bikin ribut. Kalau di sekolah, kalian panggilnya Pak aja, jangan Pakdhe ya."

"Siap, Pak."

+++

"Ini! Lu enggak liat? Ini jelas-jelas si babi yang salah! Lu mentang-mentang anak kepsek jangan belagu belain yang salah, dong!"

"Kak, dengar, ya. Aku enggak belain dia. Dan tolong Kak, dia punya nama yang bagus, bukan babi. Aku tadi lihat, lho, Kakak ngeludahin mie gelas dia dan ngeledek."

"Lu ngajak berantem, hah?"

"Aku enggak ngajak berantem, Kak. Tapi aku punya ini ... " Gadis itu menunjukkan sebuah rekaman tindak bullying yang dilakukan lawan bicaranya beberapa menit lalu. Ia kemudian menghentikan putaran video pendek itu. "Aku selaku komite keamanan sekolah bisa menuntut Kakak yang harusnya bisa menjaga nama baik Kakak sendiri dan sekolah. Bukannya Kakak lebih tua dari dia? Dari aku? Kenapa? Sementang lebih tua bebas mem-bully? Aku ngomong gini bukan karena ayahku kepsek, aku enggak peduli sama ayah tiriku, aku cuman enggak mau sekolah warisan ayah kandungku ini hancur gara-gara orang kayak kalian."

"Ada apa ini?" Keempatnya terkejut. Gadis itu, Meita dan satu temannya yang merupakan korban bully kakak kelas menoleh, mendapati sosok ayah tirinya serta tiga orang yang tidak asing di matanya. "Meita kamu enggak kenapa-napa, kan?"

"Harusnya kamu tanya sama dia, bukan aku."

"Mei ... "

"Sudah basa-basinya, Om. Itu berandal susah banget dikasih tau. Ini sudah ketiga kalinya."

"Oke, saya tau. Kamu, setelah ini ke ruangan saya. Dan Meita, antar temanmu ini ke klinik sekolah. Papa masih mengurusi ... "

"Papa kamu bilang? Kamu bukan papaku, Om. Papaku cuman satu, beliau sudah meninggal sejak lama." Meita menatap dingin ke arah Jordi, perlahan menggandeng tangan temannya yang jadi korban bully tadi, sekilas menatap ke arah si kembar dan mamanya, tersenyum rikuh. Pandu menatap punggung Meita yang perlahan menghilang dari hadapan mereka, suasana canggung masih menyelimuti.

"Pak Jordi, saya rasa keliling sekolahnya bisa ... "

"Mama lanjut aja sama Abang dan Pak Jordi. Aku susul Meita dulu."

"Eh? Tapi, Nak ... "

"Aku tau gimana Meita, Ma. Dia perlu teman bicara saat ini. Pakdhe tenang ya, Meita akan baik-baik aja. Saya permisi duluan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status