Mata Jihan memincing kala melihat Rindi yang semakin mendekat ke arahnya. Ia yakin jika Rindi memiliki niatan tak baik, Jihan hanya diam memperhatikan gerakan janda muda itu. Bersiap-siap jika Rindi hendak melakukan sesuatu yang buruk padanya. Apalagi saat ini Anjas dan Rizal sama-sama tak memperhatikan mereka karena sibuk menemani anak-anak berenang. Rindi langsung menghenyak di kursi seberang Jihan dengan sorot mata tajam."Heh wanita gatal, benar-benar keterlaluan ya kamu. Belum juga ditalak sama adikku sudah berani menempel dengan pria lain seperti benalu," maki Rindi pada wanita yang masih berstatus sebagai adik iparnya itu.Jihan tak ingin terpancing emosi. Wanita itu malah tersenyum menatap ke arah kakak iparnya, "Apa Mbak Rindi nggak salah bicara dengan menyebutku wanita gatal? Setahuku, Mbak sendiri yang dari tadi terus berusaha menggoda Anjas meski tak ditanggapi. Tapi maklum ya, namanya juga janda," ejek Jihan kemudian menatap kakak iparnya dengan sebuah pandangan remeh.Wa
Dengan terburu-buru, Rizal keluar dari mobil merah yang ia kemudikan. Matanya menatap kagum pada sebuah mobil putih berharga mahal itu. Rindi dan Putri yang baru turun juga segera mendekat ke arah mobil Rizal, bahkan tangan Putri tengah mengelus mobil mewah itu."Zal, ini mobil siapa? Bagus banget, pasti mahal ya?" Rindi menepuk pundak adiknya dengan cukup kencang, membuat lelaki itu meringis memegangi pundaknya yang terasa panas."Nggak tahu, Mbak. Mungkin Indri kirim mobil lagi untuk Rizal," jawab Rizal dengan wajah bangga.Lelaki itu melangkah masuk ke dalam rumah, hendak bertanya pada sang ibu tentang mobil yang terparkir di halaman depan. Namun, langkah Rizal terhenti kala melihat Indri yang tengah duduk manis di ruang tamu bersama sang ayah dan Bu Inggar."I-Indri, Pak Brama, kalian ada di sini?" sapa Rizal berbasa-basi."Rizal, Rindi, ayo duduk. Indri dan ayahnya datang ke sini ingin membicarakan hal penting," panggil Bu Inggar pada kedua anaknya. Rindi memberikan kode pada Put
Baru saja Jihan sampai di depan gerbang sekolah putranya, tiba-tiba Rindi datang menghampiri dengan sebuah undangan pernikahan yang berada di tangannya. Janda muda itu berniat untuk memanas-manasi Jihan, agar adik iparnya itu merasa terpuruk setelah mengetahui Rizal akan menikah lagi."Hai Jihan, apa kabar kamu?" Suara Rindi terdengar begitu ramah di telinga, berbeda dengan yang biasanya selalu ketus ketika bertemu denganya. Namun, tetap saja Jihan bisa membaca jika janda muda itu memiliki memiliki niat terselubung.Jihan mengulas senyum menatap kakak iparnya, "Hai, Mbak Rindi. Kabarku baik, ada apa?""Apa kamu yakin kalau setelah ini masih akan baik-baik saja?" Rindi menaikkan sebelah alis seolah tengah mengejek."Budhe Rindi mau apa lagi deketin bundaku?" sorak Fadil yang baru saja keluar dari gerbang sekolah bersama Putri.Rindi tersenyum sinis melihat kehadiran Fadil, wanita itu merasa kali ini merasa begitu beruntung. Selain bisa menghancurkan hati Jihan, ia juga bisa menghancurk
Malam telah kembali berkunjung, membawa cahaya rembulan dan ribuan gemintang. Menemani Jihan yang tengah melamun seorang diri di dalam kamarnya. Bukan meratapi nasib karena akan ditinggal menikah oleh sang suami, melainkan memikirkan untuk memulai usaha dan masa depan baru tanpa adanya sosok seorang suami."Bunda!" Suara bocah kecil yang melongokan kepala di pintu kamar membuat wanita itu terperanjat dari lamunan."Hai, Sayang. Ayo ke sini." Fadil melangkah masuk dan menghenyak di sisi ranjang milik sang bunda."Bunda, lagi ngelamun? Apa Bunda sedih ayah akan menikah?" tanya bocah kecil itu, sedari tadi Jihan memang asik melamun hingga tak menyadari jika sang anak sudah cukup lama berdiri di depan pintu dan memperhatikan dirinya.Wanita itu tersenyum kemudian mengacak puncak kepala putra kesayangannya itu. Merasa bersyukur, meski sang suami telah meninggalkannya. Namun, ia masih memiliki seorang anak yang begitu perhatian walau usianya baru delapan tahun."Kenapa harus sedih? Ayah sud
Rizal menarik tangan Jihan dengan keras hingga tubuh wanita itu sedikit oleng."Mas, apa-apaan sih kamu? Datang-datang main narik orang seenaknya," protes Jihan seraya memegangi lengannya yang terasa nyeri akibat ulang sang suami."Kamu yang apa-apaan! Kamu itu masih istriku, kenapa kamu sudah kegenitan menggoda lelaki lain," bentak Rizal dengan kedua mata yang melotot.Sebelah alis Jihan naik, tak mengerti dengan maksud ucapan sang suami."Enak saja, mengataiku kegenitan. Padahal dia yang matre dan ingin kawin lagi sama anak orang kaya." Jihan hanya bisa membatin dalam hati."Apa maksudmu kegenitan? Lalu, siapa memangnya lelaki yang aku goda?" Suara Jihan ikut meninggi, seolah sedang menantang sang suami.Rizal tak langsung menjawab, lelaki itu merogoh saku untuk mengambil sebuah benda pipih. Jemari Rizal menari-nari di atas layar seolah sedang mencari sesuatu."Lihat ini!" Lelaki itu menunjukan potret kebersamaan Anjas dan Jihan saat mengantar Fadil ke sekolah tadi.Jihan berdecak,
Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar ucapan dari Anjas, wanita itu menghenyak di samping Anjas dengan Fadil yang berada di tengah-tengah mereka."Mau bicara apa, Njas? Kelihatannya penting sekali?" tanya Jihan pada pemuda beralis tebal itu."Maaf, bukan aku ingin ikut campur masalah rumah tanggamu. Tapi, kenapa kamu tidak membahas pernikahan Rizal sama sekali?" Anjas berucap dengan sangat hati-hati, ia tak ingin jika sampai Jihan merasa tersinggung.Jihan mengulas senyum, "Dia saja tak tahu kalau aku sudah mengetahui rencana pernikahan itu. Aku sengaja tak membahas agar ia bisa merasa menang, aku akan berikan dia kejutan di hari pernikahannya nanti."Anjas cukup menegerti maksud dari ucapan Jihan, lelaki itu memutuskan tak lagi membahas masalah rumah tangga temannya dan lebih memilih untuk kembali pada tujuan awalnya."Baiklah, aku mengerti. Sekarang aku ingin mengatakan niatku yang sebenarnya, aku ingin mengajakmu untuk kerja sama." Anjas menaikan sebelah alis, menunggu bagaimana
Mendung menghiasi langit di pagi hari, seolah sengaja datang untuk mengiringi acara pernikahan Rizal dan Indri. Jihan bersama Fadil sudah bersiap dan tengah menunggu kedatangan taksi online yang akan mengantar mereka menuju kediaman Brama. Lima menit menunggu, akhirnya taksi online yang dipesan oleh Jihan telah tiba. Wanita itu segera masuk ke dalam mobil bersama sang putra, ia tahu jika dalam diamnya, Fadil menyimpan luka dan kekecewaan."Nak, kamu yakin mau datang ke pernikahan ayah?" Suara Jihan membuat Fadil mendongak, menatap sang bunda dengan pandangan sendu."Yakin, Bun. Fadil akan berikan ucapan selamat untuknya, setelah itu Fadil tak akan lagi menemuinya," ucap Fadil penuh penekanan.Sopir yang duduk di balik kemudi mengernyit mendengar obrolan sepasang ibu dan anak itu."Memangnya siapa yang akan menikah, Bu?" Sang sopir berbasa-basi untuk memecah keheningan, matanya sesekali melihat ke belekang melalui kaca spion yang berada di tengah."Suami saya, Pak," jawab Jihan dengan
Semua mata tertuju pada Brama yang tengah menatap sosok bocah kecil di hadapannya dengan pandangan nyalang, seolah anak lelaki itu adalah musuh besar baginya. Tak ada raut ketakutan di wajah Fadil, anak lelaki itu membalas tatapan pria seusia kakeknya dengan pandangan datar dan sebuah senyum miring. Sedangkan Rizal masih bergeming, rasa bimbang merajai hati. Sejujurnya, lelaki itu tak tega melihat sang anak yang tengah dibentak oleh ayah mertuanya. Namun, jika Rizal membela pasti Brama akan murka dan membuatnya menjadi gelandangan. Pada akhirnya, lelaki itu memilih untuk diam dan hanya menonton semua adegan yang terjadi di depan mata.Jihan menghela napas, berusaha menahan emosi karena ia sudah berniat jika harus membalas Rizal dengan cara elegan. Wanita cantik itu memajukan langkah, berdiri di samping sang anak dengan seuntai senyum tipis."Apa Bapak ingin tahu siapa anak ini? Jika iya, maka saya akan menjelaskan," ujar Jihan, sesekali ekor matanya melirik ke arah sang suami yang nam