Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Jihan tengah sibuk memasak seblak pesanan pelanggan setianya, kala motor sang suami memasuki halaman rumah. Dengan senyum sumringah, sang suami turun sembari menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam yang tak bisa memperlihatkan isi di dalamnya.Jihan pun ikut tersenyum karena mengira isi dari kresek tersebut adalah ayam goreng crispy dari sebuah brand terkenal yang dijanjikan Rizal, sang suami untuk putranya. Setelah selesai melayani pelanggan, Jihan segera menyusul sang suami yang sudah duduk di sofa sembari memainkan telepon pintar."Mas." Panggilan lembut Jihan membuat sang suami memalingkan pandangan dari gawai di tanganya, Rizal menghampiri dan menggandeng tangan sang istri ke ruang makan."Jihan, ini ada soto ayam dari ibu. Kamu panasin ya, nanti biar buat makan Fadil," perintah Rizal yang membuat kedua alis sang istri saling bertaut, tentu saja Jihan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, wanita itu tetap ingin menanyakan perihal janji sang suami pad
Pandangan mata tajam Rizal langsung mengarah pada sang istri yang tengah susah payah berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Wanita itu sibuk mengunyah nasi dengan sambal bawang sembari pura-pura tak melihat wajah merah padam sang suami yang sudah tersulut emosi."Jihan, kamu kan tadi beli ayam crispy buat Fadil. Lalu, ayam untuk aku mana?" tanya lelaki itu pada sang istri.Seketika Jihan menghentikan aktivitasnya mengunyah dan berganti memandang ke arah sang suami dengan tatapan tajam."Bukannya Mas sendiri yang bilang, kalau aku itu istri yang boros. Makanya sekarang aku coba untuk berhemat, beli ayamnya satu aja buat Fadil. Kita cukup makan dengan sambal bawang biar hemat dan uang bulanan dari kamu cukup buat makan sebulan sekalian bayar tunggakan SPP Fadil," oceh Jihan kemudian melanjutkan kembali makannya."Ck, kalau gitu buatin aku telur dadar saja. Masih ada kan telur di kulkas."Permintaan Rizal membuat sang istri memutar bola matanya malas, enak saja dia mau makan pakai telur
Jihan dengan sengaja mengeraskan suaranya hingga mengundang perhatian beberapa pengunjung toko emas tersebut. Beberapa ibu-ibu berbisik sembari memandang negatif ke arah Bu Inggar dan putri sulungnya."Kurang ajar ya kamu, Jihan. Sengaja kamu mau mempermalukan kami?" bisik Bu Inggar dengan mata melotot.Jihan tersenyum kecut, bukan maksudnya untuk bersikap kurang ajar pada ipar dan ibu mertuanya. Namun, rasa hatinya sudah benar-benar lelah. Untuk apa menghormati mertua dan ipar yang selalu menindas, bahkan tega mengambil hak nafkahnya."Ibu malu? Kenapa? Apa Ibu memang merasa sudah merebut hakku dan anakku," balas Jihan kian sengit, membuat kedua wanita itu memilih untuk segera pergi sebelum bertambah malu.Jihan menatap punggung dua wanita yang kian menjauh dari pandangan mata, kemudian memutar badan untuk kembali pada tujuan utamanya. Namun, satu pemikiran terlintas di benaknya."Ibu dan Mbak Rindi pasti akan bilang ke Mas Rizal kalau aku jual cincin nikah, jadi sebaiknya memang aku