Jihan Yuniar harus selalu mengalah ketika uang jatah bulananya harus diambil oleh Inggar Larasati, ibu mertuanya yang suka bergaya seperti wanita sosialita padahal sebenarnya hidupnya serba pas-pasan dan hanya mengandalkan uang pemberian putranya . Bahkan Jihan harus memenuhi kebutuhan dapurnya dengan hasil dari berjualan seblak dan telur gulung di teras rumahnya. Apalagi sang suami, Rizal Aditama sama sekali tak punya ketegasan untuk menolak keinginan sang ibu. Lalu, bagaimana nasib rumah tangga Jihan dan Rizal pada akhirnya? Sampai kapan Jihan harus berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka? Mampukah Jihan merengkuh kebahagiaan bersama Fadil, putranya? Yuk, kita ikuti kisah rumah tangga Jihan dan Rizal yang penuh konflik di novel ini.
View MoreJihan tengah sibuk memasak seblak pesanan pelanggan setianya, kala motor sang suami memasuki halaman rumah. Dengan senyum sumringah, sang suami turun sembari menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam yang tak bisa memperlihatkan isi di dalamnya.
Jihan pun ikut tersenyum karena mengira isi dari kresek tersebut adalah ayam goreng crispy dari sebuah brand terkenal yang dijanjikan Rizal, sang suami untuk putranya. Setelah selesai melayani pelanggan, Jihan segera menyusul sang suami yang sudah duduk di sofa sembari memainkan telepon pintar."Mas." Panggilan lembut Jihan membuat sang suami memalingkan pandangan dari gawai di tanganya, Rizal menghampiri dan menggandeng tangan sang istri ke ruang makan."Jihan, ini ada soto ayam dari ibu. Kamu panasin ya, nanti biar buat makan Fadil," perintah Rizal yang membuat kedua alis sang istri saling bertaut, tentu saja Jihan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, wanita itu tetap ingin menanyakan perihal janji sang suami pada Fadil, putra mereka."Tapi, Mas. Bukanya kamu sudah janji sama Fadil, kalau gajian ini akan belikan dia ayam goreng KFC?" Pertanyaan itu dilontarkan Jihan sembari menuang soto pemberian ibu mertuanya ke dalam mangkok."Ayam goreng KFC itu mahal, Jihan. Sayang uangnya, udah syukur ibuku kasih soto untuk makan Fadil. Toh itu soto juga ada ayamnya," ucap Rizal tanpa memikirkan perasaan putra mereka nanti, jika mengetahui sang ayah lagi-lagi mengingkari janji."Ya sudah, kalau begitu aku minta jatah bulananku saja, Mas. Hari ini kamu gajian kan?" Wanita itu menadahkan tangan, meminta haknya pada sang suami yang malah menghembuskan napas panjang.Dengan berat hati, Rizal mengeluarkan dompetnya dari dalam saku. Seperti yang sudah Jihan tebak sebelumnya, sang suami hanya memberikan lima lembar uang merah kepada dirinya. Padahal, Rizal bekerja sebagai buruh pabrik rokok dengan gaji dua juta lima ratus ribu setiap bulanya."Kamu pegang itu dulu ya, kalau kurang kan kamu bisa tutupin dari hasil jualan," ujar Rizal yang kembali memasukan dompet kulitnya ke dalam saku.Jihan mendengus kesal, memandangi uang lima ratus ribu yang berada dalam genggaman tanganya saat ini. Dan hal ini terjadi setiap bulan. Dengan kata lain, wanita itu harus berjuang sendiri untuk menutupi kebutuhan lainya."Mas, Fadil waktunya bayar sekolah. Uang segini mana cukup, belum lagi harus bayar listrik. Dan lihat, soto yang ibu kasih cuma setengah mangkok, itu juga tanpa ayam, Mas. Cuma ada satu kaki ayam. Warna kuahnya juga sudah keruh, pasti sudah beberapa kali dihangatkan." Jihan beranjak mengambil sendok dan mengambil sedikit kuah soto kemudian menyodorkannya pada sang suami."Nih kamu coba rasain?" perintah Jihan yang langsung menyuapkan kuah soto itu pada sang suami, Rizal terdiam sejenak mengecap rasa kuah yang sudah terasa sedikit asam di lidah. Pertanda jika soto yang diberikan ibunya sudah setengah basi."Emb, kok rada kecut ya, Han?" ucap Rizal pada akhirnya.Jihan tersenyum kecut, dari warna dan baunya saja ia sudah tahu jika soto itu mungkin sudah dimasak dua hari yang lalu."Terus yang seperti ini, kamu tega kasih makan ke anak kamu?" Mata Jihan mendelik, menatap sang suami dengan penuh kekesalan."Sudahlah, kalau gitu kamu kasih Fadil makan sama lauk yang ada aja. Aku cuma pegang uang lima ratus ribu buat beli bensin dan rokok. Yang sejuta lima ratus diminta ibu, karena mau ada tetangga yang nikahan dan dia disuruh rewang. Katanya malu kalau nggak pakai perhiasan baru," ungkap Rizal pada akhirnya."Mas, harusnya kamu bisa kasih tahu ibu dong. Jangan selalu mikirin gengsi kalau kenyataanya gaya hidup beliau nggak sesuai dengan keadaan, kita punya anak dan kita juga perlu biaya hidup, Mas," debat Jihan yang sudah terlanjur kesal."Bunda!"Suara teriakan dari arah pintu masuk membuat perdebatan itu terhenti. Fadil, bocah berusia delapan tahun itu menghampiri kedua orang tuanya dengan wajah berbinar karena tahu jika hari ini adalah tanggal gajian sang ayah."Hallo sayang, dari mana saja kamu?" tanya Rizal pada bocah yang tengah tersenyum menatap ke arahnya."Habis main, Yah. Oh iya, ayam KFC-nya mana? Hari ini Ayah gajian kan?"Pertanyaan bocah itu membuat kedua orang tuanya saling melempar pandangan. Rizal mengedipkan mata sebagai kode untuk meminta sang istri memberi pengertian pada putranya. Jihan mendekat dan menekuk lutut untuk mensejajarkan tingginya dengan sang anak."Sayang, hari ini makan pakai telur gulung dulu ya. Bunda bikinin yang gede biar kayak paha ayam, besok setelah bayar uang sekolah kamu baru kita beli ayam gorengnya. Tadi Ayah lupa beli." Jihan memberi pengertian pada Fadil sembari menahan air matanya agar tak sampai jatuh, ini bukan pertama kalinya. Tapi setiap kali sang putra meminta sesuatu, Jihan harus selalu bisa membuatnya mengerti bahkan melupakan keinginanya itu.Pandangan Fadil tertuju pada kuah soto yang berada di atas meja. Mata bocah itu berbinar, karena ada makanan enak meski bukan ayam goreng yang ia minta dari jauh hari sebelum sang ayah gajian. Bocah kelas dua sekolah dasar itu langsung mendekat ke arah meja makan."Lho ini ada soto kan, Bun?" tanya Fadil yang kembali menoleh ke arah sang bunda."Iya, itu soto dari nenek. Kamu makan aja," ucap Rizal yang tega menyuruh putranya untuk memakan soto setengah basi pemberian ibunya.Jihan bergeming, setetes bulir bening telah berhasil lolos dari netra indahnya. Tak habis pikir dengan apa yang baru saja diucapkan oleh sang suami. Fadil kembali menoleh setelah mengaduk-aduk isi mangkok dengan sendok yang tadi digunakan Rizal untuk mencicipi kuah soto itu."Ayah, kok isi sotonya cuma ceker sebiji. Dan ini ... sotonya udah bau," protes bocah kecil itu menatap sang ayah dengan pandangan sendu.Jihan yang sudah tak tahan melihat pemandangan itu langsung memeluk tubuh mungil sang anak."Nggak usah dimakan, kita ke depan aja yuk. Beli ayam goreng abang-abang dulu ya, besok kita beli KFC. Bunda janji!"Jihan menggandeng tangan putranya keluar rumah tanpa peduli pada pandangan tajam sang suami. Namun, wanita itu kembali memutar badannya. Mengambil mangkok berisi soto dan membuangnya ke tempat cucian piring di hadapan sang suami secara langsung."Dasar istri kurang ajar, boros banget! Semua permintaan anak diturutin," umpat Rizal karena kesal melihat sang istri membuang soto pemberian ibunya yang sudah setengah basi dan tak layak makan itu.Jihan tak peduli, wanita itu menyalakan sepeda motornya dan membonceng sang anak untuk membeli ayam crispy harga murah di depan gang.Lima belas menit kemudian, Jihan kembali dengan menenteng sebuah kantong kresek. Wanita itu membuatkan sambal bawang kesukaan Fadil kemudian menunggui sang anak untuk makan. Nampak Fadil makan dengan sangat lahap, meski dengan lauk ayam goreng crispy murah yang hanya tebal tepungnya saja.Rizal yang baru saja selesai mandi langsung mengambil sepiring nasi hendak ikut makan. Namun, mata lelaki itu malah melotot kala melihat apa yang tersaji di atas meja makan.Bersambung ....Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments