Share

16. Titik Awal Besar

Author: Arthamara
last update Last Updated: 2025-08-03 07:17:55
Doni mundur. Bukan ke arah kamar mandi, namun ke arah pintu utama apartemen—arah keluar. Tetapi langkahnya terhenti. Pintu itu diaktifikan sidik jari dua arah, sehingga hanya pemilik sidik jari terdaftar saja yang bisa membuka, meski itu dari dalam. Akhirnya, Doni hanya bisa pasrah dan berbalik arah.

“Kak Doni, mau kemana? Katanya penggemar gunung kembar…..besar? ini kurang besar?” Ucap Shinta kembali menggoda. Dia memegangi buah dadanya dan memamerkan ke arah Doni yang berdiri mematung di dekat pintu.

“Kau menjebakku, Shin? Anton itu temanku. Masak harus ku gasak juga pacarnya.” Kata Doni. Dia memang tidak ada niatan seperti ini pada pacar temannya ini.

Shinta tertawa, “kakak belum lihat WA ku lagi? coba lihat. Kak Doni sendiri kan yang minta Shinta kirim foto Anton yang memalukan? Itu lihat,..” Shinta berhenti menjelaskan, tapi tubuhnya mendekat ke Doni untuk berbisik, “ada bonusnya. Udah ah, aku mau mandi. Tungguin ya kak, jangan keluar. Aku takut disini sendiri.”

Doni tahu itu
Arthamara

Doni akhirnya nakal

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   33. Dua Pesan

    Erna bangkit dari kasur, merapikan seragamnya yang kusut. Napasnya masih belum sepenuhnya stabil, tapi sorot matanya mulai kembali jernih. Ia menatap Doni sebentar sebelum berkata pelan,“Aku… harus balik. Tiga jam lagi aku masuk shift malam di kafe.”Doni menatapnya tanpa kata, hanya mengangguk pelan. “Oke. Hati-hati. Aku juga shift malam.”Erna berjalan ke pintu, sempat menoleh sekali, lalu keluar. Langkahnya di lorong terdengar makin menjauh, meninggalkan keheningan yang mendadak terasa terlalu besar di apartemen itu.Doni duduk di tepi kasur, menunduk, mencoba mengatur napas. Ia sadar—tiga jam lagi ia akan kembali melihat Erna, berdiri di balik meja bar kafe itu, dengan senyum yang ia hafal luar kepala.Malam di KafeHujan rintik membasahi kaca depan Kafe Flexibility. Lampu gantung memantulkan cahaya hangat ke meja-meja kayu. Aroma kopi bercampur dengan wangi pastry yang baru matang, sementara musik akustik mengalun pelan.Doni melangkah cepat di antara meja, membawa nampan berisi

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   32. Erna (3)

    Udara di antara mereka memadat.Pertanyaan Erna tadi menggantung seperti asap yang menolak hilang."Kita nggak ada hubungan… kita tidak juga pacaran, mengapa kamu sepeduli itu sama aku?”Doni berdiri mematung beberapa detik sebelum menjawab, suaranya berat, tertahan.“Justru itu yang mau aku tanya, Erna!. Selama ini… siapa yang mulai duluan?! Siapa yang selalu nyari aku, nyimpenin makanan, ngingetin makan, nyemangatin kalau aku down?!”Matanya tajam menusuk. “Kamu. Dan aku nggak pernah protes. Sekarang giliran aku yang peduli, kamu malah tanya kenapa?”Erna terdiam, menunduk. Jemarinya saling meremas.Tidak ada jawaban, hanya bunyi angin yang menggesek dedaunan di atas mereka.Doni menghela napas panjang, tapi tatapannya tetap terkunci pada wajah Erna. “Apa aku salah kalau balas kebaikan kamu dengan peduli?”Erna mengangkat wajah perlahan. Ada sesuatu di matanya—ragu, takut, juga rasa bersalah.Bibirnya terbuka, tapi ia menutupnya lagi. Seolah apa pun yang ia katakan akan membuat sega

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   31. Erna (2)

    Doni masih menatap laki-laki itu sampai bayangannya menghilang di tikungan. Rahangnya mengeras, napasnya berat. Tanpa banyak kata, ia meraih pergelangan tangan Erna.“Kita keluar dari sini,” ujarnya tegas.Erna terperanjat, “Doni… aku lagi kerja.”“Lima menit. Aku nggak mau ngomong di sini.” Nada Doni tak bisa dibantah.Ia menggiring Erna keluar kedai, melewati meja dan kursi makan. Udara pagi menerpa wajah mereka, dingin tapi tak cukup menenangkan bara di dada Doni. Mereka sampai di motor, Doni menyodorkan helm. Erna ragu sejenak, tapi tatapan Doni terlalu menusuk untuk diabaikan.Perjalanan singkat itu hening. Mesin motor menderu pelan, membelah jalan sempit di antara gedung kampus dan deretan pohon besar. Hanya beberapa menit, mereka tiba di sebuah tempat yang jarang diketahui orang—hamparan rumput luas, dikelilingi pohon-pohon tinggi yang rimbun. Di sudutnya ada batang pohon tumbang yang lapuk, cukup untuk duduk berdua.Doni mematikan mesin. Hening, hanya suara dedaunan bergesekan

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   30. Erna

    Entah jam berapa Doni akhirnya menyerah pada kantuk. Yang dia ingat, alarm ponselnya sempat meraung, mengingatkan jadwal pertandingan Real Madrid—klub kesayangannya sejak SMA. Sambil rebahan, ia memaksakan diri menonton. Gol demi gol lewat seperti mimpi setengah sadar, sampai akhirnya layar TV buram di matanya.Pagi datang tanpa ampun. Riuh suara pintu dibanting, tumit sepatu beradu lantai, dan tawa bercampur omelan dari lorong apartemen menyeretnya kembali ke dunia nyata. Dia mengerjap, menatap jam dinding. Pukul 06.20. Tidak ada waktu bermalas-malasan.Hari ini, bimbingan dengan Prof. Anas dijadwalkan pukul delapan. Tidak boleh terlambat jika ingin proposalnya di-acc minggu ini. Pekan terakhir—satu-satunya kesempatan untuk bisa mendaftar seminar dan lulus 3,5 tahun seperti janji yang ia lontarkan pada orang tuanya.Air dingin dari shower mengalir di tubuhnya, mengusir sisa kantuk. Tapi pikirannya tidak hanya sibuk mengingat poin-poin proposal. Bayangan pertemuan terakhir dengan Prof

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   29. Salah Apartemen

    Doni tiba di kafe Flexibility Senja. Ada sedikit kegaduhan di hati yang menganggu. Tentu karena kejadian barusan. Kata orang, jangan berangkat kerja saat suasana hati tidak baik, nanti kerjaan aka terganggu.“Itu hanya mitos!” pekik Doni, dia melangkah pasti ke kafe. Sebagaimana keterangan Erna sebelum dia mendaftar, karyawan part time akan bekerja menjadi dua shift. Shift pertama dari pukul 13.00-17.30 dan shift kedua masuk dari pukul 18.00-22.00 atau sampai kafe tutup. Kali ini Doni mendapat shift kedua.“Don..” sapa Erna dari area dalam. Dia masih membawa baki. Berlari kecil menghampiri Doni.“Kak Erna, sudah dari tadi? Ini baru jam 17.20, loh.” Ucap Doni setelah melihat jam ditangan.“Erna! Jangan kak! Aku disini dari jam 17.00 Don, sampai nanti malam. Ayo, ke kantor manajer dulu. Ketemu sama Kak Kevin buat tanda tangan kontrak dan daftarin sidik jari kamu di mesin absensi. “ Kata Erna ceria, seperti biasa.“Susah, biarin ah. Ayo, mana ruangannya.” Jawab Doni, semangat.“Tuh, rua

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   28. Jangan Dipegang

    “Apa yang sudah kamu lakukan Don? Kamu menciumku?”Doni memandang lama ke Erna. Ingin rasanya mengulanginya lagi, pipi Erna empuk bagai bayi 4 tahun. Semakin besar gaya tekan yang diberikan, semakin kuat pula gaya dorong yang diberikan. Namun dia urungkan, setelah mendengar perkataan Erna barusan.Dalam posisi demikian, badannya tetap berada diatas, menindih Erna setelah tidak sengaja jatuh bersamaan sebelumnya. Belum ada niatan dia bangun dari posisi intim tersebut.“Kamu beneran menciumku, Don.” Erna kembali meminta penjelasan Doni.Doni sedikit kaget,”Hah? Maaf kak, kebawa suasana”.Erna hanya mengangguk pelan. Netranya fokus ke atas, menatap wajah Doni yang hanya berjarak beberapa centimeter saja. Dalam posisi demikian dia bisa menghirup aroma sabun dari tubuh Doni yang memang baru saja selesai mandi. Demikian juga berlaku ke Doni. Sejenak, keduanya beradu pandang.Hening. Hingga semua seperti bubar sekejap terdengar derap langkah yang mendekat. Itu adalah suami Alisha, orang ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status