LOGIN“Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.
Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.
“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.
“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.
Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”
“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.
“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.
Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.
“Ohalah, pantes teriak. Buat khawatir saja. Ayo sini rendam air dingin.” Kata Bayu seraya menarik Sandra ke kamar mandi.
Doni yang sembunyi di bawah ranjang yang dipakai tidur Syakila, tidak menyangka kalau dia akan berada di situasi seperti ini. Bagaimanapun dia salah, dan bisa berabe kalau sampai Bayu melihatnya.
Sekilas, pikirannya masih terbawa pada kemolekan tubuh Sandra. Mama muda beranak satu itu memang sangat sintal. Buah dadanya lebih besar daripada milik Nadia maupun Erna. Namun, membayangkan hal itu di saat yang seperti ini harus dibuang.
“Dasar. Otak philogynik! Bisa-bisanya aku masih mikir itu. Aku harus segera keluar dari sini.” Gumamnya menyumpahi dirinya sendiri. Mata Doni kembali mencari keberadaan Sandra dan Bayu.
Beberapa saat kemudian, dia melihat Sandra dan suami berjalan masuk ke kamar mandi itu, Doni merasa ini adalah saatnya. Dia melihat ke arah pintu utama, tertutup rapat.
Dia kembali teringat perkataan Sandra bahwa akan memberinya kode, “kalau situasi aman setelah kode kuberikan, Mas Doni segera keluar.” Begitu pesan Sandra sebelum dia bersembunyi di bawah ranjang. Jadi Doni mengurungkan niat. Dari arah kamar mandi kembali terdengar.
“Sudah mas. Sudah aman, tidak sakit. Ini mengapa mas pulang lebih awal?” Tanya Sandra kembali pada suaminya.
Doni sedikit berdegup mendengar kata aman. Tetapi kata itu tidak ditunjukan padanya. Melainkan pada suami Sandra. Dia kembali menahan napas, serapat mungkin. Sebisa mungkin jangan sampai terdengar.
“Ooh, itu sekolah dipakai rapat kepala sekolah se kecamatan. Jadi yang tidak berkepentingan pulang lebih awal. Ya ngapain ya kan?” jawab Bayu, lalu laki-laki itu melepas seragam yang dikenakan. “Syakila sudah tidur?” bisiknya lirih pada Sandra.
“Tidur barusan. Capek habis masuk PAUD, perdana pulang pagi tadi sih. Larian-larian terus dia di sekolah. “ Ucap Sandra, dia mulai melepas handuk kembali dan mengambil plat Jambi, pakaian dalam lalu berusaha mengenakan.
Pada bawah ranjang, Doni melihat Sandra berusaha mengenakan Cup payud4ra dengan sangat jelas dari posisinya. Dia hanya bisa menelan ludah. Namun, di posisi setengah ketakutan akan ketahuan, senjatanya tidak akan berdiri.
“Jangan dipakai dulu. Ayah tahu, mama sengaja menyambut ayah kan dengan tanpa memakai pakaian? “ Ujar Bayu lalu menggendong Sandra ke ranjang sebelah. Di dalam unit yang mereka tempati memang ada dua ranjang yang dipisahkan sekat tipis dari plastik. Sedangkan posisi kamar mandi berada di tengah.
“Ayah ini, siang-siang begini ngajak ML?” tanya Sandra sedikit terperanjat. Dia tahu, ada Doni yang sedang bersembunyi.
“Mumpung Syakila tidur. Ayo. Kalau malam, nanti ayah yang ketiduran.“ Jawab Bayu. Tanpa persetujuan lebih lanjut dari Sandra, Bayu sudah melepas celana yang dia kenakan. Lalu menarik kembali Sandra ke ranjang.
“Ayah…beneran sekarang? Malu iih.” Sandra berusaha menggeser tubuh Bayu yang mulai menindihnya.
“Malu pada siapa? Ada yang melihat memang? Syakila juga sudah tidur. Gak akan bangun dia, niru bapaknya. Pulas sampai menjelang sore.” Jawab Bayu spontan.
Mendengar perkataan suaminya demikian, membuat Sandra hanya bisa pasrah. Dia tidak mungkin akan bilang kalau ada Doni dibawah ranjang.
Maka, Sandra segera merebahkan tubuh dan melemahkan badan. Dia mengikuti akan kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan sang suami. Bayu langsung memasang kuda-kuda di tengah pangkal kaki Sandra.
“Ma..kok tidak basah sih.” Protes Bayu.
“Iya ayah basahin lah, itu tugas ayah. Buat mama merangsang dan banjir.”
Bayu langsung mencumbui leher Sandra. Memainkan gunung kembar istrinya, menggigit buah dada kembar dan meremasnya. Sandra mengerang, dia membelai rambut suaminya. Sesekali tangannya merangkul pinggang sang suami.
“Urrgh..mas,” Sandra mendesah. Bayu semakin semangat meremas buah dada Sandra. Perlahan Sandra mulai mencumbui dada suaminya, mengarahkan senjata sang suami pada lubang di tengah pangkal kaki. Lalu mendesah kembali.
“Sudah banjir mas, ayo genjot dan buat aku melayang.” Kata Sandra menggoda.
Dan keduanya melanjutkan pergulatan itu sampai beberapa saat kemudian sang suami mengerang, lalu tergeletak di atas tempat tidur.
Doni hanya mengumpat dalam hati. Mimpi apa dia semalam, melihat sepasang suami istri bersenggama di depan mata. Meski dia tahu, itu tidak berlangsung lebih dari 5 menit. Namun tetap saja pengalaman yang menyiksa.
Sandra mulai menggeser tubuh Bayu ke pinggir. Memastikan suaminya sudah tertidur. Lalu segera menjatuhkan kepala ke tempat Doni berada.
“Mas Doni. aman, segera keluar.” Kata Sandra, dia memang sudah hapal di saat seperti ini suaminya sudah terlelap dan tidak akan bangun untuk beberapa menit kedepan.
Doni perlahan menggeser tubuhnya dan segera bangun begitu keluar dari bawah ranjang. Dari posisi itu terlihat, baik Syakila maupun Bayu semuanya terlelap.
Jantung Doni masih berdebar cepat. Antara terangsang melihat tubuh Sandra atau takut ketahuan Bayu. Dia segera berjalan mendekati pintu dengan langkah yang hati-hati meski berusaha tetap gesit dan cepat layaknya Cheetah mengincar mangsa. Namun sepertinya tidak. Dia lebih seperti maling yang mengendap-endap agar yang tidur tidak kembali membuka mata.
“Saatnya keluar dari lorong neraka.” Pekiknya dalam hati.
Dia memegang handle pintu pelan, lalu menggesernya dengan lebih pelan lagi. Berharap tiada suara yang ditimbulkan. Dia hapal, semua pintu di unit apartemen ini berisik tiada terkira.
Setelah berhasil terbuka, dia langsung keluar dengan segera. Sekarang dia baru sadar, kalau sandalnya sedari tadi di depan.
“Semoga dia gak melihat ini.” Kata Doni pelan sambil mengenakan sandal sejuta umat, bermerk angsa tersebut.
Saat dia berusaha menutup pintu dan berbalik arah, betapa terkejutnya Doni melihat Nadia, tetangga samping unitnya yang berdiri mematung dengan alis terangkat.
“Loh, mas tetangga..ngapain hayoo?” Ucap Nadia yang langsung dengan refleks ditutup mulutnya oleh Doni dengan tangan.
Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don
Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan
Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m
Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu
Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,
Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol