LOGINTok..tok..tok
“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.
Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?
“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.
“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu. “Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan. “Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.” Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Apalagi, mama muda itu hanya menutupnya dengan handuk seperti itu saja. Sandra sedikit berjongkok saat berusaha mengangkat Syakila. Tentu, dari posisi tersebut segitiga bermudanya bisa dengan mudah dilihat Doni. Doni segera mengalihkan pandangan. Bagaimanapun dia lelaki normal yang bisa saja terangsang. Apalagi di dalam kamar seperti ini. Dia kembali menelan sativa, lalu pura-pura dengan segera mengambil kopi sisa tadi malam yang tersisa ujung bawah saja. Miminumnya. “Permisi ya mas. Maaf sudah ngrepotin.” Kata Sandra lagi. Saat Sandra sedang menggendong Syakila itu dan berjalan keluar, tiba-tiba ujung kakinya menyangkut kabel roll dekat laptop Doni. Sontak dia terhuyung dan mau jatuh. Doni dengan refleks segera memegangnya. Kalau sampai jatuh, mama muda dan anak itu bisa menabrak ujung meja belajar dan tentu akan menyakitkan. “Tidak apa-apa mbak? Maaf kabelnya belum sempat saya rapikan.” Ujar Doni sambil memegangi tubuh Syakila yang sudah mau menyentuh meja. Sandra segera bangkit, dia melepaskan gendongan dari anaknya. Lalu merapikan posisi handuk yang mengendur karena kejadian barusan. Untuk dililitkan ulang di badan. “Tidak apa-apa mas. Bisa bantu angkat Syakila ke atas? Kaki saya kelihatannya kena ujung meja.” Pinta Sandra lalu menunjukan betisnya yang memang memerah. “Bisa mbak. Silakan Mbak Sandra duluan ke atas, saya bantu antar Syakila. Semoga dia tidak kebangun.” Di pagi menjelang siang seperti ini, suasana apartemen memang sepi. Semua penghuni rata-rata sudah keluar. Sesampainya di unit 11, Sandra segera membuka pintu. Memberi tanda untuk mempersilakan Doni masuk terlebih dahulu. Doni mengikuti saja, tangannya memang terasa pegal menggendong anak itu dari lantai bawah. Sandra mengikuti dari belakang, mungkin karena kebiasaan. Sandra malah menutup pintu setelah dia masuk, padahal ada Doni di dalam. Setelah meletakan Syakila di ranjang, dia langsung balik arah. Sandra masih berada di balik pintu, belum mengganti pakaian. Doni tahu, selama ada dia tidak mungkin Sandra berganti pakaian disana. Doni hanya kikuk dan berusaha mengalihkan pandangan lagi. Sandra tahu kekikukan Doni. “Maaf ya mas, semua pakaian saya jemur. Mumpung bisa nyuci, jadi hanya pakai handuk saja. “ kata Sandra, memahami kesungkanan Doni. Doni hanya mengangguk lalu segera berinisiatif keluar dari unit itu sebelum ada yang melihat. Karena di posisi yang demikian, orang yang melihat bisa saja salah mengartikan. Saat Doni baru saja melewati Sandra, tiba-tiba Sandra memanggilnya kembali. “Mas bawa ini, buat makan siang.” Kata Sandra seraya menyerahkan wadah berisi makanan. Doni ragu, namun menolak pemberian juga tidak baik. Akhirnya dia berbalik badan dan mengulurkan tangan untuk meraih wadah tersebut. Mungkin karena gugup atau takut ada yang melihat, Doni malah menyenggol wadah tersebut sehingga hampir terjatuh.Bruuk. Melihat itu Sandra langsung berupaya memegang wadah tersebut kembali, agar tidak terjatuh. Sayang gerakan kilatnya itu malah membuat handuk yang melilit tubuhnya jadi yang terjatuh. Akibatnya, tubuh indah Sandra yang bagian atasnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun terlihat jelas di depan Doni. Untung dia masih memakai celana dalam. “Aaaaa,” teriak Sandra refleks. Dari luar pintu diketuk. “Maa..kenapa? buka pintunya ma. Ini Ayah pulang.” Suara berat laki-laki dewasa terdengar. Itu Pak Bayu, suami Sandra.Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don
Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan
Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m
Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu
Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,
Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol