Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”
Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut. “Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius. Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi. “Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik. “Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah. Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar. “Begini mbak…” Tiba-tiba dari arah unit Sandra, pintunya terbuka. Tampak Sandra sudah mengenakan pakaian namun dengan rambut yang terbungkus handuk. “Loh mbak Nadia, mau ambil sayur kan? Ayo kesini.” Sapa Sandra dari dalam yang tentu saja menyelamatkan Doni. Nadia segera menoleh pada Sandra, lalu berjalan pelan kesana. Meninggalkan Doni. Doni segera berjalan menjauh, menuruni tangga. Tapi kakinya terhenti sejenak di tengah-tengah anak tangga. Dia memperhatikan dua perempuan dewasa itu. Meski dari posisinya, tidak bisa mendengar begitu jelas apa yang mereka bicarakan. “Mana-mana sayurnya, aku lagi malas masak nih,” ucap Nadia dengan raut muka gembira,” eeh habis ngapain itu samah perjakah?” Sandra meletakan jari telunjuk di depan bibir, lalu membuka pintu agak lebar. Bermaksud memberi tahu ke Nadia kalau suaminya ada di dalam. Nadia langsung menarik kepalanya menjauhi pintu. “Crazy, ada Mas Bayu padahal, tapi berani. Atau jangan-jangan kalian threesome. ” Kata Nadia sambil menggelengkan kepala. “Aduh. Bukan, kita gak ngapa-ngapain. Tadi Mas Doni menolongku menggendong Syakila ke sini. Nah, pas Mas Bayu pulang. Lalu dia aku minta sembunyi dulu. Begitulah ceritanya, pokoknya kita gak ngapa-ngapain. Mas Doni itu baik. Tetanggamu samping tepat kan?” Ujar Sandra. Nadia mengangguk, kepalanya celingukan, “mana sayurnyah?” Sandra kembali masuk sebentar, lalu menyerahkan satu rantang sayur pada Nadia. Doni hanya melihat dua perempuan yang secara usia lebih matang darinya itu dari tengah koridor tangga. Dia semakin yakin kalau mereka pasti sedang membicarakannya.“Biarlah, sudah berlalu. Mau bagaimana lagi?” batin Doni.
Tidak mau ambil pusing, dia segera berjalan kembali menghabiskan anak tangga ke bawah. Hingga di lantai dua, dia mendengar suara tangisan. Bukan tangisan anak kecil, tangisan perempuan dewasa. Doni berhenti sejenak. Lalu turun dari anak tangga terakhir dan berjalan ke sisi tembok unit nomor 8. Jika diurutkan dari bawah, unit ini tepat diatas unitnya. Dia kembali mendengar tangisan itu lebih jelas. Seorang wanita dewasa yang menangis dengan keras. Di dalamnya terdengar seorang laki-laki setengah berteriak sambil memukulkan sesuatu. Doni yakin, bahwa laki-laki di dalam unit tersebut sedang melakukan kekerasan. Tangannya gemetar, ingin mendobrak pintu kamar tersebut. Dia tidak suka laki-laki kasar pada perempuan. Tapi akal sehat melarang. Dia tidak bisa ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Namun sebentar, apakah mereka suami istri? Kalau itu masih pacaran, bukankah di sini kehidupan bebas begitu saja. Dia menghela napas panjang, cemas sekaligus bingung. “Mengapa banyak sekali drama di apartemen ini? Katanya apartemen kenyamanan, serenitity— tapi begitu banyak drama.” Dari belakang, tepukan tangan di pundaknya menganggetkan Doni. Itu adalah Nadia, tetangga dan perempuan yang barusan memergoki dia dengan segala kesalahpahaman. “Sstt…jangan ikut campur. Ayo turun, nah.” Kata Nadia pelan. Dia seolah sudah mengerti dengan situasi karena penghuni lama disini. Doni mundur beberapa langkah mendekati Nadia, “kenapa memang mbak?” “Mereka sudah biasah seperti itu. Jangan ikut campur, suaminya memang kasar. Ayo segera turun sajah.” Ajak Nadia. Doni segera mengikuti ajakan Nadia. Bagaimanapun dia memang tidak elok kalau harus menguping kembali urusan orang lain. Dia mengikuti saran Nadia dan mulai menjauh dari unit tersebut. Merasa sungkan pada Nadia atas kejadian tadi, dia mempersilakan Nadia untuk berjalan di depan dan dia mengikuti. “ Mbak Nadia silakan duluan, takut ada yang salah menafsirkan kalau saya di depan.” Daripada berdebat yang tiada berguna, Nadia mengikuti saja perkataan Doni. Dia melanjutkan berjalan turun. Doni mengikutinya dari belakang. Setelah anak tangga terakhir habis, Doni dapat melihat kembali dengan jelas bahwa panggul Nadia memang besar dan menggoda. Apalagi saat dia mengingat kejadian saling tindih kemarin. Dia kembali menelan ludah, menggelangkan kepala. “Sadar Don,” pekiknya pelan. “Mas Doni, mampir dan pintunya gak dikunci kok, kalau butuh apah-apah.” Kata Nadia saat dia sudah sampai di depan pintu unitnya terlebih dahulu. Dalam hati Doni segera menjawab, “Butuh belaian mbak.” Namun yang terucap tentu tidak. Dia masih berusaha menjadi laki-laki baik,” Iya mbak makasih. Salam ke Mas Ikhsan” Ucap Doni yang membuat mata Nadia sedikit terbelalak. “Mas Ikhsan belum balik. Dia adah tugas ikut pencarian korban kapal tenggelam di Selat Bali. Mungkin sampai selesai, seminggu atau dua minggu biasanyah. Nadia kesepian nih. ” Ucap Nadia dengan senyum mengembang dan mata berkedip pada Doni. Doni sebenarnya sudah tahu, dia sempat berbincang ringan dengan suami tetangganya itu sebelumnya. Hanya, Doni tidak menyangka kalau tetangganya itu akan terbuka dan jujur seperti itu. Namun, itu bagus. Memang suaminya bertugas sebagai rescue dan mengapa harus disembunyikan. Hanya untuk apa bilang yang terakhir tadi. “Permisi mbak.” Katanya kemudian. Doni langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Dia memejamkan mata sejenak. Mengepalkan telapak tangan dan memukulkan ke dahi, “sadar Don.” Namun, netra malah tertuju pada celah yang dia tutupi dengan lakban. Apa yang kira-kira Nadia lakukan sekarang? “Jangan Don! “ dia memukul kepala kembali. Tetapi kaki dan badan tetap bergerak ke sana. Tangannya juga seperti ada yang menggerakan untuk melepas lakban itu. “Hanya melihat saja kan tidak apa?” katanya dalam hati kemudian. Dia mendekatkan bola mata itu ke celah tembok kayu. Nadia terlihat sedang menyantap makanan dari Sandra. “benar kan? Tidak sedang ngapa-ngapain dia.” Katanya dalam hati. Lalu menjauhkan matanya. Beberapat menit kemudian, dia kembali mendekatkan bola mata ke lubang itu. Dan, kali ini Nadia sudah tiada di tempat semula. Doni menggeser arah matanya, berharap menemukan.Nadia. Tetap tiada. Hingga tanpa dia sadari kemudian, Nadia berjalan mendekat ke arah lubang yang dia gunakan mengintip tersebut.
Doni tiba dia kampus lebih awal dari jam yang ditentukan oleh dosen pembimbing kedua. Suasana kampus mulai terlihat ramai. Hari ini memang jadwal daftar ulang mahasiswa baru gelombang 2. Adik-adik tingkat dari segala penjuru kota akan mengisi kelas dan parkiran kampus yang selalu penuh saat menjelang pukul 7 pagi selanjutnya. Dia teringat, saat awal mahasiswa dulu. Dia dengan semangat membara datang dari kota yang sebenarnya lebih gemerlap dari kota dimana kampus ini berada. Namun, karena predikat kota pelajar disandang kota ini, Doni memilih kampus ini sebagai pilihan pertama. “hei..ngelamun saja. Pasti lagi ngelihatin buah boba, para dedek gemes calon maba kan?” sapa Anton mengangetkan, menepuk pundak Doni dengan keras. Anton adalah teman satu angkatan. Juga satu jurusan, namun karena Anton jarang masuk kuliah dan lebih banyak pacaran. Alhasil dia banyak mengulang mata kuliah. Dia masih butuh beberapa semester untuk bisa mengambil skripsi. “Apaan sih Ton? Dari dulu hentai dulu ot
Doni mengepalkan tangan. Dia harus berani berbohong. Dia selama ini memang selalu jujur, hampir tidak pernah berbohong. Itu yang membuat dia tidak disukai keluarga juga kerabat.“Tidak tahu bang. Aku baru saja keluar.”Doni terpaksa berbohong, baru berbohong. Dia harus melakukan itu untuk menyelamatkan Chika yang bersembunyi di kamarnya. Bukankah berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan? Begitulah pesan guru agama saat dia duduk di bangku SMP dulu.“Mari bang kubantu. Abang harus istirahat, abang mabuk berat ini. Dimana apartemen abang?” tanya Doni lagi.Laki-laki berjaket hitam itu berusaha melempar tangan Doni yang membantunya. “Aku tidak mabuk. Lepaskan aku,” katanya lalu bangkit kembali.Doni hanya melihatnya sejenak. Membiarkan laki-laki itu berjalan menjauhinya.“Chika….kemana kamu. Beri aku uang! Aku harus membalas kekalahanku.” Teriak laki-laki itu lagi.Dia berjalan ke arah parkiran sepeda motor utama. Doni hanya melihatnya dari arah samping tangga. Lalu, beberapa detik ber
Doni memundurkan kepala. Sebuah lingkaran besar segera muncul membalut sebuah tanya utama. Apa Mbak Nadia melihatku? Bisa panjang nih urusan. Lagian kenapa harus ngintip lagi aku! Don….Don..! " Doa yang terucap kini sebaliknya. Tidak berharap, apa yang dia lakukan tadi dilihat oleh Nadia. Suatu rumus dasar, jika dia bisa melihat Nadia, tentu Nadia juga bisa melihatnya dari celah tersebut. Jantungnya berdetak seperti genderang. Darahnya berdesir. Doni agak sedikit gugup. “Gak asyik kan kalau ketahuan ngintip tetangga pas suaminya gak ada.” Dia mencoba menengadah, berharap pada Sang Kuasa. “Semoga tidak.” Doni memegang dadanya yang masih terasa getaran jantung, tidak melambat. Masih kencang.Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pintu depan Nadia dibuka.Ngeek Doni segera berlari ke arah pintu. Membuka pintu membentuk sudut 20 derajat. Dari posisinya diketahui, Nadia hanya mengambil jaket tadi, -bukan melihat ke arah dia mengintip-yang kini dia kenakan keluar unit. Karena, saat
Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.“Begini mba
“Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.“
Tok..tok..tok“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu.“Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan.“Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.”Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Ap