Share

10. Apa Dia Melihatku?

Author: Arthamara
last update Last Updated: 2025-07-24 01:30:23

Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”

Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.

“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.

Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.

“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.

“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.

Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.

“Begini mbak…”

Tiba-tiba dari arah unit Sandra, pintunya terbuka. Tampak Sandra sudah mengenakan pakaian namun dengan rambut yang terbungkus handuk.

“Loh mbak Nadia, mau ambil sayur kan? Ayo kesini.” Sapa Sandra dari dalam yang tentu saja menyelamatkan Doni.

Nadia segera menoleh pada Sandra, lalu berjalan pelan kesana. Meninggalkan Doni.

Doni segera berjalan menjauh, menuruni tangga. Tapi kakinya terhenti sejenak di tengah-tengah anak tangga. Dia memperhatikan dua perempuan dewasa itu. Meski dari posisinya, tidak bisa mendengar begitu jelas apa yang mereka bicarakan.

“Mana-mana sayurnya, aku lagi malas masak nih,” ucap Nadia dengan raut muka gembira,” eeh habis ngapain itu samah perjakah?”

Sandra meletakan jari telunjuk di depan bibir, lalu membuka pintu agak lebar. Bermaksud memberi tahu ke Nadia kalau suaminya ada di dalam. Nadia langsung menarik kepalanya menjauhi pintu.

Crazy, ada Mas Bayu padahal, tapi berani. Atau jangan-jangan kalian threesome. ” Kata Nadia sambil menggelengkan kepala.

“Aduh. Bukan, kita gak ngapa-ngapain. Tadi Mas Doni menolongku menggendong Syakila ke sini. Nah, pas Mas Bayu pulang. Lalu dia aku minta sembunyi dulu. Begitulah ceritanya, pokoknya kita gak ngapa-ngapain. Mas Doni itu baik. Tetanggamu samping tepat kan?” Ujar Sandra.

Nadia mengangguk, kepalanya celingukan, “mana sayurnyah?”

Sandra kembali masuk sebentar, lalu menyerahkan satu rantang sayur pada Nadia.

Doni hanya melihat dua perempuan yang secara usia lebih matang darinya itu dari tengah koridor tangga. Dia semakin yakin kalau mereka pasti sedang membicarakannya.

“Biarlah, sudah berlalu. Mau bagaimana lagi?” batin Doni.

Tidak mau ambil pusing, dia segera berjalan kembali menghabiskan anak tangga ke bawah. Hingga di lantai dua, dia mendengar suara tangisan. Bukan tangisan anak kecil, tangisan perempuan dewasa. Doni berhenti sejenak.

Lalu turun dari anak tangga terakhir dan berjalan ke sisi tembok unit nomor 8. Jika diurutkan dari bawah, unit ini tepat diatas unitnya.

Dia kembali mendengar tangisan itu lebih jelas. Seorang wanita dewasa yang menangis dengan keras. Di dalamnya terdengar seorang laki-laki setengah berteriak sambil memukulkan sesuatu.

Doni yakin, bahwa laki-laki di dalam unit tersebut sedang melakukan kekerasan. Tangannya gemetar, ingin mendobrak pintu kamar tersebut. Dia tidak suka laki-laki kasar pada perempuan.

Tapi akal sehat melarang. Dia tidak bisa ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Namun sebentar, apakah mereka suami istri? Kalau itu masih pacaran, bukankah di sini kehidupan bebas begitu saja.

Dia menghela napas panjang, cemas sekaligus bingung. “Mengapa banyak sekali drama di apartemen ini? Katanya apartemen kenyamanan, serenitity— tapi begitu banyak drama.”

Dari belakang, tepukan tangan di pundaknya menganggetkan Doni. Itu adalah Nadia, tetangga dan perempuan yang barusan memergoki dia dengan segala kesalahpahaman.

Sstt…jangan ikut campur. Ayo turun, nah.” Kata Nadia pelan. Dia seolah sudah mengerti dengan situasi karena penghuni lama disini.

Doni mundur beberapa langkah mendekati Nadia, “kenapa memang mbak?”

“Mereka sudah biasah seperti itu. Jangan ikut campur, suaminya memang kasar. Ayo segera turun sajah.” Ajak Nadia.

Doni segera mengikuti ajakan Nadia. Bagaimanapun dia memang tidak elok kalau harus menguping kembali urusan orang lain. Dia mengikuti saran Nadia dan mulai menjauh dari unit tersebut.

Merasa sungkan pada Nadia atas kejadian tadi, dia mempersilakan Nadia untuk berjalan di depan dan dia mengikuti. “ Mbak Nadia silakan duluan, takut ada yang salah menafsirkan kalau saya di depan.”

Daripada berdebat yang tiada berguna, Nadia mengikuti saja perkataan Doni. Dia melanjutkan berjalan turun. Doni mengikutinya dari belakang.

Setelah anak tangga terakhir habis, Doni dapat melihat kembali dengan jelas bahwa panggul Nadia memang besar dan menggoda. Apalagi saat dia mengingat kejadian saling tindih kemarin. Dia kembali menelan ludah, menggelangkan kepala.

“Sadar Don,” pekiknya pelan.

“Mas Doni, mampir dan pintunya gak dikunci kok, kalau butuh apah-apah.” Kata Nadia saat dia sudah sampai di depan pintu unitnya terlebih dahulu.

Dalam hati Doni segera menjawab, “Butuh belaian mbak.”

Namun yang terucap tentu tidak. Dia masih berusaha menjadi laki-laki baik,” Iya mbak makasih. Salam ke Mas Ikhsan” Ucap Doni yang membuat mata Nadia sedikit terbelalak.

“Mas Ikhsan belum balik. Dia adah tugas ikut pencarian korban kapal tenggelam di Selat Bali. Mungkin sampai selesai, seminggu atau dua minggu biasanyah. Nadia kesepian nih. ” Ucap Nadia dengan senyum mengembang dan mata berkedip pada Doni.

Doni sebenarnya sudah tahu, dia sempat berbincang ringan dengan suami tetangganya itu sebelumnya. Hanya, Doni tidak menyangka kalau tetangganya itu akan terbuka dan jujur seperti itu. Namun, itu bagus. Memang suaminya bertugas sebagai rescue dan mengapa harus disembunyikan. Hanya untuk apa bilang yang terakhir tadi.

“Permisi mbak.” Katanya kemudian. Doni langsung masuk ke kamar dan menguncinya.

Dia memejamkan mata sejenak. Mengepalkan telapak tangan dan memukulkan ke dahi, “sadar Don.”

Namun, netra malah tertuju pada celah yang dia tutupi dengan lakban. Apa yang kira-kira Nadia lakukan sekarang?

“Jangan Don! “ dia memukul kepala kembali.

Tetapi kaki dan badan tetap bergerak ke sana. Tangannya juga seperti ada yang menggerakan untuk melepas lakban itu. “Hanya melihat saja kan tidak apa?” katanya dalam hati kemudian.

Dia mendekatkan bola mata itu ke celah tembok kayu. Nadia terlihat sedang menyantap makanan dari Sandra.

“benar kan? Tidak sedang ngapa-ngapain dia.” Katanya dalam hati. Lalu menjauhkan matanya.

Beberapat menit kemudian, dia kembali mendekatkan bola mata ke lubang itu. Dan, kali ini Nadia sudah tiada di tempat semula. Doni menggeser arah matanya, berharap menemukan.

Nadia. Tetap tiada. Hingga tanpa dia sadari kemudian, Nadia berjalan mendekat ke arah lubang yang dia gunakan mengintip tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erine Widyia N
gpp paling diajak main
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 140. Rasa Bersalah

    Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 139. Siapa Pelakunya?

    Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 138. Anton Lagi?

    Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 137. Usaha Serius Doni

    Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 136. Usaha Doni

    Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 135. Pilihan Doni

    Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status