Share

8 ; Perpustakaan

Shera  : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak?

Anissa : Ngga deh panas hari ini.

Mahesa : Nggak dulu, Ra.

Hayden : Skip, gak suka belajar.

Julia    : Gue juga nggak yaaa.

Felix    : Gue nggak.

Regar  : Gue juga.

Raisha : Nggak, mau nonton.

Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah.

Jevano : Gue mau.

Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keesokan hari, dimana teman-temannya akan meledek bahwa ia menyukai Shera. Padahal tidak seperti itu.

Shera : Serius?

Shera : Okay, Jevan. Ketemuan di perpus, ya.

Notifikasi dari Shera kembali muncul di layar ponselnya. Melihat chat yang dikirim Shera, ide gila muncul di kepalanya begitu saja, tanpa komando. Jevan segera membuka chat pribadi dan mengirimkan sebuah pesan. Setelah itu ia bergegas menyiapkan buku dan alat tulis, berpakaian, lalu mengambil kunci motornya, dan melajukan motornya setelah pamit kepada kedua orang tuanya.

Jevano : Pergi bareng gue, ya?

Jevano : Gue jemput sekarang.

Shera membuka helm miliknya sambil membenarkan rambutnya yang digerai itu berantakan akibat terpaan angin selama berada di jalan. Jevan memutar spionnya, memudahkan Shera untuk memperbaiki penampilannya. Saat ini keduanya sedang berada di parkiran perpustakaan kota, tempat yang sangat mendukung untuk belajar dan fokus.

Setelah selesai dengan urusannya, Jevan mengajak Shera untuk masuk. Sesampainya di ruangan baca yang dilengkapi dengan kursi serta meja, penyejuk ruangan, dan wifi, Shera segera mengambil tempat yang berada di samping jendela, spot kesukaannya ketika belajar di perpustakaan, sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang.

“Lo mau ngerjain sub tes yang mana dulu, Ra?” tanya Jevan yang duduk di hadapannya, sambil membuka buku tebalnya. Buku itu terlihat lusuh dan semakin tebal, tanda sering dibuka serta dikerjakan.

“Sub tes yang paling bikin bingung, PBM,” Shera mengeluarkan beberapa bukunya. Yang berukuran sedang, besar, hingga kecil yang isinya ringkasan materi. Ia juga mengeluarkan buku catatannya.

“Bukannya PU?”

“PU yang main nalar, kalau PBM harus teliti terus materinya juga gak sedikit.”

“Gue PK deh kalau gitu, lo udah belajar sampai mana?”

Shera membungkam mulutnya, tersenyum kecut, lalu menggeleng. “Belum, nggak suka menghitung. Mual lihat soalnya.”

Jevan mengangguk mengerti, tangannya mulai mencoret soal demi soal yang belum ia kerjakan. Shera mengamati aktifitas Jevan yang sudah larut dengan aktifitasnya. Cowok itu mengerjakan soal dengan tenang. Setelah berdekatan seperti ini dalam kondisi sadar, Shera baru menyadari bahwa Jevan tampan.

Hidung mancung, alis yang tidak terlalu tebal, rahang tegas, mata yang ikut tersenyum saat cowok itu tersenyum, serta kulitnya yang sawo matang. Pantas saja selama ini banyak adik kelas yang naksir pada Jevan, ternyata Jevan memang tampan. Entah kenapa Shera baru menyadarinya sekarang, mungkin karena efek sekelas dan sudah melihat tingkahnya bersama teman-temannya, membuat ketampanan Jevan tertutup.

Jevan menaikkan kepalanya, matanya beradu pada Shera yang tengah menatapnya sambil tersenyum dengan tangan sebagai tumpuan. Jevan sedikit salah tingkah, pipi dan rambutnya ia coba benarkan takut-takut ada yang sesuatu yang menempel. “Shera? Ada sesuatu ya di wajah gue? Kenapa diliatin?”

Shera segera sadar. Senyumnya tidak menghilang walau matanya melotot karena kaget. Cewek itu memiringkan kepalanya, mengalihkan pandangannya terhadap orang yang lagi serius bermain laptop di belakang Jevan. “Orang di belakang lo…nggak ngapa-ngapain.”

Setelahnya ia memainkan pulpen dengan tangannya, mulai menulis menyatat materi dan mengerjakan soal. Jevan mengerutkan dahinya bingung, tidak mungkin kan Shera dari tadi menatapnya sambil tersenyum? Jevan segera menggelengkan kepalanya, Shera yang tidak sengaja melihat itu tersenyum kecil.

“Ngomong-ngomong, lo udah ngisi grafik nilai yang kemarin dikasih Bu Nana?” tanya Shera mulai membuka percakapan dengan nada pelan.

“Baru nilai aja, kalau rata-rata sama PTN dan prodi belum gue isi.”

“Lo punya kampus impian?”

“Punya, sih. Tapi gak gue kejar soalnya gue tau gue gak bakal lolos.”

“Enak, dong. Gue malah gak punya sama sekali. Yang gue lihat cuma passing grade sama rasio ketetatan prodinya tiap tahun.”

“Sama sekali gak punya?”

“Nggak. Lo udah punya jurusan yang mau diambil?”

Jevan terdiam, cowok itu menghela nafasnya sedikit kasar. Shera yang melihat reaksi Jevan langsung mengerti bahwa ada yang tidak beres dari pemilihan jurusannya. "Udah. Tapi gue gak yakin bakal diizinin untuk daftar ulang kalau misalnya gue lolos."

Shera menganggukkan kepalanya mengerti, problemnya sekarang juga seperti itu. Ah, tidak, mungkin lebih parah karena ia tidak bisa memilih apa yang ia inginkan. "Lo mau ambil apa, Jev?"

"Dkv, desain interior, yang berhubungan dengan desain," saat ini mata Jevan tampak berbinar, cowok itu sangat bersemangat menjawab pertanyaan dari Shera mengenai jurusan yang akan ia pilih. "Lo sendiri gimana?"

Pertanyaan itu, pertanyaan yang sedikit ia hindari karena dirinya sama sekali tidak tahu. Ia hanya mengikuti perintah orang tuanya, tidak pernah memikirkan barang sedetik saja untuk keinginannya sendiri. "Nggak tau."

"Sebulan lagi pemeringkatan SNM, lo masih gak tau?" Jevan tidak terkejut, teman-temannya juga sama seperti Shera yang tidak tahu mau mengambil jurusan apa beserta kampusnya. Memang detik-detik mendekati SNM sangatlah sulit karena satu dan hal lainnya yang bikin ragu.

Shera mengangguk membenarkan sambil tersenyum miris. "Gue...cuma ngikutin pilihan dan apa yang mereka suruh aja."

Jevan hanya tersenyum kecut, setidaknya untuk saat ini ia masih merasa mereka sedang dihadapkan oleh situasi yang sama. “Apa yang bakal lo lakuin kalau masuk pemeringkatan SNM?”

“Ya…bakal tetap belajar? Nggak banyak yang bisa gue lakuin selain belajar, makanya gue iri tiap lihat Lia, Chaca, Raisha, dan Mahesa yang nggak pernah pusing dan nangis karena nggak ngerti materi, kejenuhan belajar, atau ketinggalan belajar sehari.”

Kali ini, Jevan kembali mendekatkan badannya saat mendengar kata nangis keluar dari mulut Shera. Seberapa rapuhnya cewek ini sampai sering menangis, namun tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja. “Lo nangis?”

Shera mengangguk sambil menyatat materi. “Emang lo nggak pernah nangis kalau nggak ngerti materi?”

“Nggak, kalau gak ngerti ya gue tinggalin.”

Shera mendengus, tersenyum dengan wajah muram sambil tetap menyatat. “Gue gak boleh ninggalin satu materi, dituntut mereka harus sempurna. Makanya gue selalu nangis kalau ada materi yang bener-bener gak bisa dikerjain.”

“You okay?”

“Okay, kok. Gue baru stress, belum nyampe tahap gila.”

Jevan menundukkan wajahnya, memainkan pulpen di atas buku sambil tersenyum pahit. “I feel it too. I feel like, I became a zombie.”

Shera menghela nafasnya panjang. Entah kenapa suasana di antara mereka yang tadinya tegang dengan secepat kilat berubah menjadi sendu. Ia merasa bersalah karena membuat Jevan mengakui tentang kondisinya, terlebih lagi Shera tidak bertanya. “Proses menuju dunia yang sebenarnya itu, berat, ya.”

Jevan mengangguk, membenarkan ucapan Shera.

“Ra?"

"Hmm?"

"Mau ke bioskop bareng gue, sekarang?"

Shera mengerjapkan matanya berkali-kali, tidak percaya dengan apa yang barusan keluar dari mulut Jevan. Anggap Shera terlalu pede, tapi Jevan tidak berniat untuk mengajaknya kencan, bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status