Terbit setiap hari Minggu dan Kamis.
"Ini data penjualan yang kau minta per hari ini," Felix menyerahkan sebuah map berisi lembaran laporan penjualan pada Reega.Reega meraih lalu membacanya. Penjualan terbesar tetap pada produk baru mereka. "Aku ingin pabrik menyetop produksi barang-barang kita yang tidak laku lagi di pasaran. Mengingat beberapa bahan baku naik dan permintaan produk terbaru kita melonjak.""Baik, nanti akan kusampaikan pada bagian pabriknya langsung," angguk Felix."Oh, ya, sampai detik ini aku belum juga mendapat kabar tentang peneror itu. Apa sesulit itu?" tanya Reega, dia tidak bisa merasa tenang sebelum peneror itu tertangkap."Kami masih berusaha mencarinya. Peneror itu pintar, bermain rapi dan tidak meninggalkan jejak apapun," papar Felix. "Apa kau masih diteror?""Ya, lebih tepatnya Rose juga. Beberapa hari yang lalu kami menemukan tulisan di cermin meja rias Rose dengan tinta merah.""Aku berpikir jika peneror itu tidak menyukai dengan pernikahan kalian." Felix memberi kesimpulan yang lebih masuk
"Ini apa?" Reega mengernyit ketika membuka paper bag berlogo toko kue milik Rose dan menemukan salah satu kue berbentuk cangkang kerang.Rose yang sedang mencuci tangan di wastafel lantas menoleh, mengulas senyum tipis ketika melihat Reega tengah mengamati kue kecil di tangannya. "Itu madeleine, kue kecil asal Prancis," jawabnya."Apa ini enak?""Coba saja kau makan. Selera orang, kan, beda-beda."Reega mengamati kue itu sekali lagi sebelum memasukkannya ke dalam mulut dan mengangguk-anggukkan kepalanya."Bagaimana, enak?" tanya Rose."Enak," angguk Reega. "Rasanya legit dan teksturnya mirip kue sponge.""Aku juga membawa beberapa kue basah lainnya, dan ada beberapa kue kering juga. Kau bisa membawanya ke kantor besok, berikan juga pada Ilona dan Felix, ya. Jangan pelit." Rose mengeluarkan beberapa toples kue kering dari paper bag lainnya."Banyak sekali yang kau bawa?" Reega mengernyit, meraih salah satu toples berisi cookies cokelat."Agar bisa dibagikan, dan beberapa bisa jadi camil
Pagi ini seperti biasa, Reega pergi ke kantor dengan menyetir kendaraan sendiri. Sementara Rose, ingin pergi ke tokonya jika diizinkan oleh Reega."Aku boleh ke toko?" tanya Rose setelah menyelesaikan sarapan mereka. Tatapan tajam dari Reega langsung dia terima. "Aku janji tidak akan ke mana-mana, hanya di toko."Reega berpikir ulang untuk mengizinkan Rose ke toko. "Kasihan juga kalau di rumah terus-menerus," ucapnya dalam hati. "Ya sudah, aku izinkan. Tapi dengan syarat, kau harus diantar sopir pribadi dan beberapa bodyguard akan ikut bersamamu."Rose berdeham, dia menurut saja apa yang dikatakan Reega dari pada tidak diizinkan sama sekali. Ibarat seorang nara pidana yang terkurung di dalam rumah sendiri, begitu pikir Rose."Iya, aku patuh padamu." Rose baru saja kembali dari dapur setelah mengambil beberapa paper bag berisi kue. "Ini bawa ke kantor. Hampir saja kau melupakannya."Reega meraih paper bag tersebut kemudian pamit. "Aku ke kantor dulu. Ingat pesanku, Rose.""Iya, suamiku
Rose memandangi ponselnya berkali-kali dengan bosan. Pesannya tak kunjung mendapatkan balasan dari Reega dan ia mengartikan itu sebagai persetujuan dari Reega. Maka tanpa basa-basi Rose segera meraih tasnya dan bersiap pergi."Kau mau ke mana?" tegur Arka begitu mendapati Rose sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas."Aku mau pulang," balas Rose."Bukankah di rumahmu tidak ada orang?" Arka mengernyit."Bukan ke rumahku, tapi ke rumah orang tuaku. Sudah, ya, aku pergi dulu." Rose hendak berjalan ketika Arka tiba-tiba menghalangi jalannya."Kau sudah minta izin pada suamimu? Aku tidak mau dia datang sambil marah-marah seperti kemarin, malu pada pelanggan. Untung kemarin sedang sepi, ya, kalau ramai bagaimana?""Aduh, sejak kapan kau jadi cerewet begini, eh? Aku sudah mengirim pesan padanya tadi, kau tenang saja, oke? Sekarang biarkan aku pergi, lagi pula aku hanya pulang ke rumah orang tuaku, kok."Arka merotasikan matanya namun tetap menyingkir dari hadapan Rose. "Ya sudah, hati-hati.
Reega menyetir mobilnya dengan cepat, dia mengarahkan laju sesuai dengan lokasi yang dikirimkan oleh Pak Randi. Reega tak habis pikir kenapa Rose masih berada di perjalanan padahal biasanya tak lama dia berangkat kantor, Rose langsung ke toko.Tiba di lokasi, Reega melihat beberapa bodyguardnya babak belur. Dia tidak menemukan Rose di mana-mana, sementara Pak Randi mulai terlihat panik."Di mana Rose?" tanya Reega dengan nada tinggi."I-ibu Rose dibawa mereka pergi," jawab Pak Randi ketakutan. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menghalangi mereka.""Kalian semua kenapa tidak becus menjaga Rose!" Amarah Reega sudah memuncak. Semua bodyguardnya tak ada yang menjawab justru malah menundukan kepala.Reega menelpon Rose tapi berkali-kali panggilannya tidak diangkat dan kemudian teringat bahwa semalam dirinya baru saja memasang GPS di ponsel Rose. Maka dari itu, dia langsung melacak keberadaan Rose melalui GPS."Kalian semua ikuti saya dari belakang dan jangan lupa hubungi polisi," titah Reega saat
"Kita sekalian makan malam di luar saja." Reega bersuara setelah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di dalam mobil. Ia melihat arloji di pergelangan tangan dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi."Di kulkas masih ada beberapa bahan makanan, sayang kalau busuk," balas Rose."Tanganmu terluka." Reega melirik pergelangan tangan Rose yang memerah dan lecet, bekas jeratan tali di lokasi tadi. "Aku juga tidak sampai hati membiarkanmu bekerja di dapur dengan kondisi yang seperti itu.""Ini hanya sedikit lecet, besok juga sembuh.""Setidaknya dengarkan aku sesekali, Rose." Kali ini Reega benar-benar menoleh dan menatap Rose. "Aku berusaha untuk bersikap selayaknya suami yang baik, aku selalu mencoba untuk menjaga dan melindungimu yang mungkin kau anggap berlebihan. Tapi bahkan perlindungan yang kuberikan juga masih belum cukup untuk membuatmu aman. Aku hanya memintamu tetap diam di rumah atau di toko sampai aku kembali dari bekerja, tapi kau selalu mencari-cari alasan untuk perg
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa