Terbit setiap hari Minggu dan Kamis.
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
"Memangnya kau hamil?"Rose diam saja, enggan menjawab pertanyaan Ezar dan justru menghela napas. Hal itu membuat Ezar yang semula tak acuh, menjadi tegang."Kau ... benar-benar hamil?""Aku tidak hamil! Aku hanya ingin kita segera menikah," ucap Rose menahan kesal.Ezar menghela napas lega meski gurat-gurat cemas masih terpancar di wajahnya."Dan kau tahu dengan jelas bahwa aku masih harus menyelesaikan pendidikanku. Rose, kita sudah membahas soal ini berulang-ulang kali kalau kau lupa."Rose mengesah lantas menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku tahu, tapi Mama dan Papa mulai bertanya-tanya kapan kau akan melamarku, kapan kita akan menikah, apakah kau serius atau hanya main-main. Mereka terus mendesakku soal itu."Ezar menghentikan kegiatan makannya dan memusatkan seluruh atensi pada Rose. "Tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi, Ros
"Reega, apa maksudnya kau akan menikah?" tanya seorang perempuan cantik begitu terduduk di kursi penumpang samping kemudi mobil. Dia menatap tajam Reega, lantas mendapati raut wajah lelaki itu menegang."Aku akan menjelaskannya nanti." Reega kembali membawa mobilnya bersama dengan perempuan yang dicintainya itu ke suatu tempat.Tak jauh dari tempat perempuan itu menunggu tadi, Reega memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Dia mengajak kekasihnya masuk ke dalam, tepatnya di ruang VIP yang sudah dipesan sebelumnya."Jadi, bisa kau jelaskan perihal berita pernikahanmu?" Perempuan itu sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi. "Aku tidak percaya kau akan menikah dengan perempuan lain."Reega melempar senyuman walau terkesan memaksa. Dia berusaha menciptakan suasana yang hangat walaupun ada gelisah yang tertanam dalam dirinya."Kita makan siang dulu," ucap Reega sembari mengambil sendok dan garpu di meja. Makan siang mere
"Ezar, aku melepaskanmu."Kalimat pertama yang keluar dari bibir Rose sejak kedatangannya lima belas menit lalu ke kafe tempat Ezar bekerja paruh waktu, nyatanya mampu melunturkan senyum laki-laki itu dalam sekejap."Rose," panggil Ezar. Ditatapnya lekat-lekat manik mata Rose. "Kenapa begini?""Kenapa apanya? Aku akan menikah, tentu saja kita harus berpisah," ujar Rose."Sudah kukatakan, aku akan mencari jalan keluarnya. Kau hanya perlu menunggu dan bersabar. Apa sesulit itu untukmu?""Sampai kapan? Ezar, kalau kau mau, kita bisa melakukannya bersamaan. Kita bisa menikah dan kau tetap melanjutkan pendidikanmu."Ezar menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak bisa, itu tidak semudah yang kau bayangkan. Aku tidak mau membawamu dalam kesusahan hidup bersamaku.""Aku tidak peduli. Aku sudah mengatakannya berulang kali bahwa aku mencintaimu apa ada