Share

Amarah

“Nu, maaf gue nggak bisa bawa Nana ke sini. Danang ngehalangin gue.”

            “Lo nggak lawan?”

            “Gue nggak berani, dia sama kayak lo, punya pengaruh kuat.”

            Sendanu maju dengan cepat dan mencengkeram kerah baju Seno. “Gue dan Danang beda.”

            Napas Seno terasa sesak karena Sendanu terlalu kuat menarik bajunya. Sampai Seno terbatuk-batuk.

            “Maaf Nu … gue nggak berani.”

            Sendanu membanting Seno di lantai dan menginjak perutnya. “Gue paling benci kata maaf dan lo masih berhutang sama gue.” Dia mengangkat kakinya dari perut Seno. “Kali ini lo beruntung.”

            Tanpa belas kasih sama sekali Sendanu keluar dari gudang. Dia sangat kesal karena Seno tak membawa Nana ke gudang. Padahal ada hal yang ingin Sendanu lakukan kepada Nana. Namun sepertinya keberuntungan belum berpihak pada Sendanu.

            Sendanu terus berjalan menuju gazebo dekat kantin Beberapa orang terdiam karena tau sang penguasa sudah datang.

            “Woi, sini bro!” Seorang cowok berambut cepak di sudut kantin memanggil Sendanu.

            “Rokok?” tanya Sendanu tanpa basa-basi, dia butuh itu.

            “Gue nggak bawa. Riz lo bawa?”

            Seorang lagi bernama Rizki yang duduk mengecek kantongnya. “Punya gue kosong.”

            Sendanu mengapit kepala Noval di ketiak. Dia menyeret Noval.

            “Kampret lo Nu!”

            Bukannya menolong, Rizki malah menendang pantat Noval sehingga cowok itu tersungkur di gazebo.

            “PMS atau gimana sih lo Nu?” kesal Noval, dia menepuk-nepuk jejak sepatu Rizki

            Sendanu ikut bergabung di gazebo bersama teman-temannya. Di kampus ia tak punya tujuan. Tak ada juga yang menyenangkan di kampus bagi Sendanu selain bersama teman-temannya dan juga mengganggu Nana.

            “Kemarin gue ke markas lama bareng Reza.”

            “Reza mana?”

            “Lagi kelas dia,” sahut Rizki.

            “Emang beneran kelas? Gue kira ngikutin Sandra.”

            “Ngapain lo ke sana Val?”

            “Ada sih ngambil dompet Reza. Kemarin waktu pindah ke markas baru, dompet dia hilang. Gue akhirnya disuruh nyari juga.”

            Sendanu mengiyakan, dompet Reza memang sempat hilang dua minggu. “Reza tau darimana kalau dompet dia di sana?”

            Noval mengangkat bahu. “Katanya dia pasang semacam gps di dompet, gak tau buat apa.”

            “Gaya banget Reza, dompet aja dikasih gps.”

            “Iri bilang bos.” Sendanu menarik topi Noval.

            Sendanu sudah siap berdiri dan pulang karena memang tak ada lagi yang ia lakukan di kampus. Namun sepertinya ia tak boleh melewatkan mangsanya yang berjalan mendekat.

            “Bro, lo mau gangguin dia lagi?” tanya Noval. “Buat apa?”

            “Itu urusan gue.”

            Sendanu meloncat dan menghadang Nana. Entah ke mana pelindung gadis itu, sekarang dia membiarkan Nana sendiri.

            “Berani menghindari gue?” Sendanu mencengkeram lengan Nana.

            “Nu sakit.” Meski berusaha melepaskan, tenaga Sendanu lebih kuat.

            “Jawab gue! Udah berani menghindari gue hm?”

            “Aku nggak menghindar, emang lagi nggak bisa.”

            Tekanan di lengan Nana bertambah kuat, gadis itu meringis. “Sibuk apa lo? Pacaran sama malaikat lo?”

            “Siapa yang pacarana sama Danang?”

            “Jangan pura-pura bego. Yang gue maksud itu lo!”

            “Beneran Nu, aku nggak pacarana sama Danang. Kenapa sih kamu selalu menyimpulkan semuanya sendiri!”

            Cengkraman Sendanu mengendur sampai terlepas. Baru kali ini Nana membentak Sendanu, pertama kalinya.

            “Oh, selain menghindar lo juga mulai berani ya sama gue!” Sendanu maju selangkah lebih dekat. “Lo udah merasa aman ada di bawah bayang-bayang Ketua BLM di kampus ini, hah!”

            “Kamu salah kalau berpikiran begitu. Entah ya Nu kenapa kamu selalu ganggu aku? Apa masalahnya? Aku mau tau!”

            Merasa semakin memanas, Sendanu menarik tas Nana hingga dia terhuyung ke depan. “Salah lo karena lo hidup.”

            Nana tak mengira dari sekian jawaban yang dia pikirkan ternyata itulah yang diucapkan Sendanu. Apa memang Nana tak bisa diterima di mana pun, bahkan sejak dia lahir?

            “Kalau lo mati, gue nggak akan ganggu lo lagi. Paham kan?” Tas itu Sendanu lempar ke Rizki.

            “Kok gue?”

            “Buang ke sampah.”

            “Nu, jangan buang tasku.” Nana menarik asal yang berujung mendapatkan kemeja Sendanu di tangannya.

            “Lepasin tangan lo dari baju gue atau lo mau juga tongkat lo gue buang juga?”

            “Ada barang-barang penting di sana Nu.” Meski Nana memelas, tak akan ada yang menolong dia kecuali Danang. Sayangnya Danang tidak bisa menemani Nana karena sebuah urusan.

            “Jangan buang ke tempat sampah, tapi ke selokan. Ngerti Riz?”

            Sebenarnya Rizki tidak tega, tapi siapa yang bisa melawan Sendanu?

            “Oke Bro.”

            Sekali lagi Sendanu mendorong Nana untuk pergi. Dia meninggalkan Nana yang sudah kehilangan pertahanan. Nana menangis tanpa suara di tempat tanpa tau ke mana Sendanu dan teman-temannya membuang tasnya.

            Di dalam ta situ, ada album yang sangat berharga untuk Nana. Berisi semua kenangan-kenangannya saat kecil. Saat Nana belum dibuang ke panti.

            Sendanu tak akan tau betapa berharganya itu buat Nana. Dia hanya ingin Nana menderita dan balas dendam. Itu saja!

♥♥♥♥♥

            Di sinilah Nana sekarang, di depan fakultas mencoba meraih tasnya yang kata orang-orang benar-benar dimasukkan ke dalam selokan.

            Baju yang Nana kenakan sudah kotor, tapi itu tak penting. Nana hanya ingin menyelamatkan album fotonya. Jangan sampai rusak terkena air.

            Nana tak tau letak ta situ yang pasti di mana. Namun tetap mencari dengan mengandalkan tongkatnya.

            “Jangan sampai rusak, please.”

            Nana terus mencari. Banyak yang memperhatikan Nana dengan jijik. Mereka semua tak menolong karena ancaman Sendanu.

            “Berhenti Na!” Danang menarik Nana untuk berdiri dan menatap gadis itu dengan saksama.

            Penampilan Nana sangat bernatakan, lebih parah dari yang hujan waktu itu.

            “Ngapain kayak gini?”

            “Tas aku dibuang di selokan Nang.”

            Hati Danang seperti diremas-remas. Sangat menyedihkan melihat Nana mau saja dibodohi Sendanu.

            Tas Nana tidak benar-benar dimasukkan ke dalam selokan, tapi di gantung di atas pohon tempat Nana berdiri saat ini. Danang menarik tas itu dan terjatuh tepat di depan Nana.

            “Tasnya di atas, bukan di selokan. Sendanu bohong Na, bohong!”

            Nana tak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa terdiam dan mengepalkan tangannya di samping tubuh.

            “Kenapa kamu percaya Na? Kenapa! Kamu mempermalukan diri sendiri.”

            “Karena aku memang nggak bisa lihat itu Danang.”

            Danang merasa bersalah telah membentak Nana. Tak seharusnya dia sekeras itu. Danang mengusap rambut Nana, satu-satunya anggota tubuh yang masih bersih. “Kamu kan bisa panggil aku Na, telepon aku. Lain kali jangan mau percaya sama Sendanu ya.”

            Nana mengangguk, tapi ia tak menjawab Danang.

            “Kamu marah Na? Maaf ya aku ngebentak kamu. Aku nggak mau kamu dibohongin Sendanu.”

            “Sebodoh itu ya Nang aku? Nggak berguna banget ya Nang aku.”

            “Nggak Na, kamu nggak bodoh, kamu hanya terlalu mudah percaya. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan sebelum mempercayai itu Na. Jangan sampai karena terlalu percaya malah membuat terluka.” Danang tersenyum miris, dirinya pun seperti itu.

            “Gimana caranya melawan Sendanu, Nang?”

            “Jangan pedulikan dia, apa pun yang dia katakana, biarkan saja. Sendanu hanya memancing kamu supaya marah. Sebisa mungkin kalau kamu sama aku, dia nggak akan berani berbuat banyak.”

            “Jadi aku harus deket sama kamu terus?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status