Share

Pelindung Nana

Gemercik air di kamar mandi Sendanu menandakan sang pemilik kamar sedang mandi di malam hari yang cukup dingin. Kebiasan Sendanu, mandi tengah malam. Ia bahkan tak memikirkan efek jangka panjangnya.

Setelah berkeliling cukup lama dengan sepeda motor dan menghabiskan beberapa minuman, Sendanu akhirnya pulang.

            Dia cukup kebal untuk tak mendengarkan teguran orang tuanya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari.

            Sendanu sering diingatkan kalau ia adalah anak dari seorang dekan di fakultasnya, tetapi bagi Sendanu itu sama sekali tak bekerja. Apa pun yang Sendanu lakukan, itu atas kemauannya sendiri. Tanpa peduli siapa dan mengapa.

            Sendanu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Menguar aroma shampoo arang yang dia gunakan. Rambut hitam sebahu yang Sendanu kuncir tiap kali ke kampus nampaknya bisa membuat perempuan iri. Sangat indah terawat. Entah kapan terakhir kali ia potong rambut sampai bisa sepanjang itu.

            Seperti hari-hari biasanya, Sendanu tak pernah memakai atasan ketika tidur. Dia justru memilih memeluk foto yang bisa menghantarkannya ke mimpi bersama Dara.

            Sudah lama meski memeluk foto itu, Sendanu tak kunjung memimpikan Dara. Padahal dia sangat menunggu saat itu. Sendanu sangat rindu Dara. Terakhir mereka bertemu dua tahun yang lalu.

            Kotak besar yang Sendanu rencanakan menjadi kado Dara juga masih ada di atas lemari. Andaikan saat itu Dara mau mendengarkan dirinya untuk menunggu sebentar saja, mungkin Dara masih bersamanya sekarang ini.

            Miris rasanya. Sendanu hanya bisa menatap kepergian Dara tanpa bisa mencegah apa pun.

            Kotak itu seharusnya menjadi milik Dara di hari ulang tahunnya. Sendanu bahkan sudah merancang sedemikian rupa untuk merayakan ulang tahun Dara. Namun semua tak berjalan sesuai keinginannya.

            Sampai saat ini Sendanu masih menyalahkan sosok yang selalu ia rundung di kampus. Sendanu menyalahkan keadaan, kenapa tidak sosok itu saja yang pergi dan bukan Dara?

            “Kalau aja Dar lo mau nunggu bentar. Kalau aja dia gak muncul saat lo lagi nerima telepon gue. Seharusnya dia yang ada di posisi lo. Kenapa lo milih menghindari dia Dar?”

            Hanya monolog seperti itulah yang bisa Sendanu lakukan. Di kamar seorang diri.

            “Lo inget Dar? Tinggal nunggu kita lulus sekolah dan gue akan tunangan sama lo. Indah banget Dar.”

            Memang benar, hal itu sudah terencana lama sekali. Pertunangan Sendanu dengan Dara sudah di depan mata. Tinggal menunggu keduanya lulus SMA.

            “Lo juga pernah bilang nggak akan ninggalin gue.”

            “Nggak adil banget Dar. Dia masih hidup.”

            Setiap malam Sendanu selalu menyesali kepergian Dara. Dia belum ikhlas.

            Selalu berakhir dengan Sendanu yang tertidur dengan foto Dara di pelukannya. Berharap malam ini akan dipertemukan di mimpi yang lebih indah dari kenyataan.

Menyalahkan keadaan pun tak ada artinya lagi. Takdir Sendanu memang bukan bersama Dara.

♥♥♥♥♥

            Harus berjalan lebih cepat dari biasanya tentu membuat Nana kesusahan. Dia terlambat bangun karena badannya pegal-pegal. Tidak ada yang membangunkan karena seisi panti mengira Nana sedang libur kuliah. Padahal Nana ada kuliah pagi jam delapan.

            Dia masih di dalam bus sedang perkuliahan tak menunggu selama itu. Nana terus merapal doa di dalam hati, semoga tidak telat.

           

            Sepertinya Nana masih beruntung karena tepat setelah ia masuk kelas, dosen baru masuk.

            Teman sekelas Nana selalu mengosongkan satu kursi di bagian depan untuknya. Hal itu berguna supaya Nana tak kesusahan mencari tempat duduk. Meski kelas selalu berganti dengan orang yang berbeda, mereka selalu melakukan hal itu.

            “Sepertinya Naziwa juga terjebak macet seperti saya.”

            Nana hanya bisa menunduk dan mengucapkan maaf. Dosennya satu itu memang kurang suka jika ada mahasiswa telat.

            “Mari kita mulai perkuliahan …”

            Pintu kelas terbuka sekali lagi. Siapa lagi kalau bukan Sendanu yang berani seperti itu.

            “Sendanu.”

            Sendanu berhenti tapi tak menoleh sama sekali. Tak ada niat mengikuti kelas pagi, tapi ada Nana, Sendanu punya alasan untuk mengerjai gadis itu.

            “Saya lihat kamu sudah paham materi minggu lalu. Mungkin kamu bisa membagi ilmu kamu ke yang lainnya.”

            Satu kelas menahan tawanya. Siapa yang tak tau kalau Sendanu tak pernah serius mendengarkan di kelas? Setiap mata kuliah, Sendanu selalu sibuk dengan ponsel. Entah apa yang dia lihat.

            “Saya nggak bisa Pak.”

            “Saya tau kamu bisa. Silakan, waktu dan tempat saya persilakan.”

            Ada yang sempat kelepasan menahan tawa dan bisa dipastikan setelah kelas ia akan berurusan dengan Sendanu.

            Mau tak mau Sendanu ke depan kelas. Dengan penampilannya sekarang ini, celana bolong di tengah, jaket jeans dan rambut yang tak terpotong beberapa bulan membuat Sendanu lebih mirip anak jalanan yang kesasar.

            Pandangan Sendanu meneliti seisi kelas. Hingga jatuh pada Nana yang hanya diam tanpa menahan tawa seperti yang lain. Menurut Sendanu itu cukup aneh.

            “MAN dan WAN pada dasarnya menggunakan konsep yang sama tetapi dalam jangkauannya, WAN lebih luas. Jika Man bisa digunakan dalam satu kota, maka WAN digunakan untuk satu negara.”

            Semua mahasiswa merasa tak adil. Kenapa Sendanu yang tak pernah memperhatikan kuliah selalu bisa menjawab pertanyaan dadakan dari dosen?

            “Cukup, silakan duduk dan ikuti perkuliahan saya dengan benar.”

            Sendanu langsung menuju kursi kosong di samping mahasiswa yang menertawakannya tadi. Intimidasinya kuat sekali, sampai membuat mahasiswa itu ketakutan.

            Sendanu menepuk pundaknya. “Bro, lo pernah denger mahasiswa yang kekunci di gudang kemarin kan?” Tentu saja Sendanu bohong. Tak ada mahasiswa yang terkunci di gudang, kecuali Nana dengan dia sendiri beberapa hari lalu.

            “Gue nggak tau Nu.” Tangannya bergetar, takut dengan Sendanu.

            “Kalau gitu gue kasih tau lo selesai kelas. Ikut gue, jangan kabur.”

            Jika sudah begitu, maka tak ada yang bisa kabur dari Sendanu. Sekalipun dia hebat di kelas lain. Sendanu tetap pemenangnya.

            “Lo nggak sendirian, ada Nana juga.”

            “Tapi Nana …”

            “Kenapa? Karena dia buta?”

            Mahasiswa tadi mengangguk.

            “Nggak ada pengecualian dalam kamus gue.”

♥♥♥♥♥

            Selesai kelas Sendanu langsung menarik Seno, mahasiswa yang diancam Sendanu karena telah menertawakannya. Sendanu menghentikan langkahnya di depan kursi Nana. Tentunya Seno bingung karena dia kira akan dibawa ke gudang seperti kata Sendanu.

            “Bujuk dia biar ikut sama lo. Gue tungguin di gudang.” Sendanu menekankan setiap kata. “Jangan sampai lo gagal.”

            Sendanu berlalu begitu saja. Dia tak memikirkan Seno yang berkeringat dingin. Bagaimana caranya mengajak Nana sedangkan Seno saja tak pernah dekat? Bicara pun tak pernah.

            “Na lo ikut gue ya.” Seno menggaruk kepalanya, semoga saja kali ini dia berhasil. “Eh, gue Seno.”

            “Mau ke mana?”

            “Udah, ikut aja.” Seno menarik Nana untuk berdiri. Agar orang lain tak curiga, dia berusaha sebisa mungkin untuk terlihat natural saat menggandeng Nana.

            “No, mau ke mana sebenernya?”

            “Ke gudang, Sendanu yang nyuruh gue. Maaf ya.”

            Tau nama itu disebut, Nana langsung berusaha melepaskan diri. Sungguh Nana tak ingin berurusan dengan Sendanu hari ini.

            “Na, please Na. Tolongin gue ya, lo ikut gue ya.”

            “Tapi aku gak mau cari gara-gara sama Sendanu.”

            “Dia cuma minta lo ke gudang sama gue, udah gitu aja.”

            “Gak sesimpel itu Seno. Pasti ada maksud lain.” Nana terus berusaha melepaskan diri. Beberapa mahasiswa mulai memperhatikan mereka tetapi tak ada yang berniat menolong Nana. “Lepas Seno.”

            “Gak! Lo harus ikut gue.” Seno semakin bersikukuh dan ia kembali menarik Nana. Namun baru dua langkah, tubuh Seno sudah tertarik ke belakang dan terjatuh.          

            “Apa urusan lo sama Nana?”

            Ya, dia Danang.

            “Gue cuma lakuin apa yang diperintah Sendanu.”

            “Emangnya dia siapa sampai lo mau-mau aja ha? Sendanu itu juga mahasiswa di sini. Ngapain lo takut dan bawa-bawa orang lain?” Nana tertarik ke dekat Danang. “Kamu aman Na sekarang.”

            “Makasih Nang.”

            Tanpa membalas akhirnya Seno pergi juga. Dia tak mau berurusan dengan Danang. Sama seperti Sendanu, Danang juga memiliki pengaruh yang kuat di kampus.

            “Sendanu ganggu kamu lagi Na?”

            “Hampir, tapi kamu datang duluan. Kata Seno, dia disuruh Sendanu. Gak tau mau apa Sendanu di gudang.”

            Inilah yang dikhawatirkan Danang kalau Nana tak bersama dirinya. Sendanu mungkin bisa saja berbuat lebih jauh tanpa bisa Danang cegah.

            “Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk teriak Na. Meski di kampus atau di luar saat aku gak sama kamu.”

            Nana menggeleng. “Mana mungkin aku libatin kamu dalam masalahku Nang?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status