Share

bab 18

Bab 18

Mey Ling terkesiap, tubuhnya limbung ke belakang dan hampir jatuh. Sebuah tangan kokoh menopang tubuhnya agar tidak ambruk.

“Hati-hati, Nona,” kata lelaki dengan seragam khas penjaga pintu masuk mal.

Dia menyeringai, sambil mencengkeram lengan Mey Ling. Gadis itu baru tersadar siapa yang tiba-tiba muncul itu. Penjaga pintu keluar mal itu semakin kuat mencengkeram lengan Mey Ling yang berusaha melepaskan diri.

“Apa maumu?” bentak Mey Ling.

“Berikan I-padmu! Atau kau ingin menjadi seperti temanmu itu?” ancam lelaki asing itu sambil melirik tempat sampah.

Mey Ling berusaha tetap tenang. Dia menyadari berbohong adalah hal sia-sia karena mereka pasti sudah tahu semua. Lelaki dengan rambut klimis dan rapi, jelas Mey Ling pun tahu siapa mereka. Sebenarnya sebagai kurir yang biasa membawakan pesanan klien bosnya, dia sudah terbiasa menghadapi bahaya yang mengancam nyawanya. Kematian bukan hal yang mengejutkan sepanjang karier dia sebagai kurir khusus. Namun, baru kali ini Mey Ling berhadapan dengan musuh yang mengincar penjual dan pembeli sekaligus. Yang lebih mengherankannya adalah kecepatan mereka menemukan Mey Ling, Harrison, dan si Lelaki Tanpa Nama.

Secepat itu posisinya diketahui dan penyamarannya terbongkar, membuat dia berasumsi ada pengkhianatan. Atau, transaksi ini cuma jebakan untuk memancing pihak-pihak yang terlibat keluar dari persembunyiannya.

“Mana I-padnya?” Lelaki itu setengah memaksa.

Tanpa berkata apa-apa, Mey Ling melemparkan kantong plastik berisi barang-barangnya ke depan kaki. Setengah membungkuk, lelaki berambut klimis itu hendak meraih kantong plastik hitam milik Mey Ling. Tiba-tiba ...

“Aaarrgghhh,”

Lelaki dengan rambut klimis itu memegangi lehernya yang sobek. Darah menyembur deras dari luka yang baru saja Mey Ling buat. Kecepatan tangan gadis terlatih itu sungguh menakjubkan. Pisau kecil tajam yang tidak terlihat siapa pun, tiba-tiba sudah beraksi dan membuat leher seorang lelaki menganga lebar. Sejurus kemudian, tubuh tinggi dengan wajah oriental itu roboh di dekat tumpukkan sampah. Sebelum benar-benar tidak bergerak, tubuh itu sempat kejang beberapa kali. Mey Ling menatap dingin sambil tersenyum sinis.

“Kau tidak tahu berurusan dengan siapa, Bung!” ejek Mey Ling lirih.

Dia membersihkan sisa darah yang menempel di pisau kecilnya. Siapa yang menyangka, liontin kalung berbentuk unik yang menggantung di lehernya adalah senjata mematikan. Liontin dengan desain unik seperti kepala busur dua arah ternyata sangat tajam dan mematikan. Sekali tarik, pengait kalungnya akan terlepas sendiri. Gerakan Mey Ling yang cepat dan terlatih tentu tidak disangka oleh lawannya.

“Di mana kau Harrison?” batin Mey Ling mulai cemas.

Diakuinya lelaki itu memang tampan, bahkan lebih tampan dari lelaki yang saat ini sedang dekat dengannya di Wu Chan.

“Semoga kau baik-baik saja.” Doa Mey Ling dalam hati.

Mey Ling bergegas menuju jalan raya. Dia keluar dari gang kecil di belakang mal. Menyusuri trotoar menuju hotel tempatnya menginap. Bukan bermaksud mengabaikan pesan dari Harrison, tetapi dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika dia melewati sebuah taman kecil, terlihat beberapa orang wisatawan asing sedang berfoto. Mey Ling berpura-pura mengikat tali sepatunya yang lepas. Sambil berjalan santai, dia sempat mengambil sebuah jaket yang tergeletak di bangku taman. Dia tahu itu pasti milik salah satu turis yang sedang mengambil beberapa obyek foto yang ‘instagramable’.

Telepon genggamnya bergetar. Ada panggilan video call dari Harrison. Mey Ling segera menjawab panggilan tersebut, tetapi dia tidak memperlihatkan wajahnya. Saat ini alarm di dirinya mengisyaratkan tanda bahaya, jadi dia harus super berhati-hati dengan siapa pun.

Mata Mey ling terbelalak. Di layar telepon genggamnya tampak kepala Harrison dipegang oleh seseorang. Sebuah pistol menempel di kepala belakang Harrison. Tidak ada wajah atau petunjuk di mana saat ini keberadaan Harrison.

Wajah tampan partnernya bersimbah darah. Mata sebelah kiri lebam dan bengkak, hingga Harrison terlihat kesulitan membuka matanya. Namun, Mey Ling memperhatikan gerakan bibir Harrison. Dia paham apa yang diucapkan suami pura-puranya itu.

Go! You must go now!”

Gerakan bibir Harrison sangat jelas terbaca oleh Mey Ling. Tiba-tiba, terdengar suara lelaki bicara dari telepon.

“Serahkan I-pad-mu, kalau kau ingin temanmu selamat!” ancam suara berat lelaki yang tidak tampak wajahnya di telepon.

“Aku tahu keberadaanmu dan bisa membunuhmu kapan saja! Jangan macam-macam!” lanjut suara itu dengan geram.

Tanpa berpikir lama, Mey Ling segera mematikan dan melempar telepon selularnya ke sebuah mobil bak terbuka yang melintas di dekatnya. Dia harus segera keluar dari Shanghai.

“Maafkan aku Harrison,” batin Mey Ling sedih.

***

Di sebuah desa kecil di Wu Chan. Seorang anak kecil berlari dengan gembira.

“Papa, aku menangkap seekor kelelawar, lihat!” serunya bangga.

“Wah, anak papa sudah pintar! Di mana kau menangkapnya? Kau tidak pergi ke hutan kan? Nanti mamamu marah lagi kalau tahu kau pergi ke sana,” tegur papa si bocah lelaki.

“Tidak, Pa. Aku menemukannya di dekat kebun. Sepertinya dia terjatuh. Lihat, Papa, dia memakai gelang. Ada tulisannya. No. 29,” kata si bocah sambil menunjukkan kaki kelelawar itu.

“Yang benar saja? Siapa yang memelihara kelelawar? Ada-ada saja,” ujar sang papa terkekeh.

Dia mengambil gunting kecil, menggunting gelang yang melingkar di kaki kelelawar itu hati-hati. Sang kelelawar mencoba terbang, tetapi dengan cekatan lelaki paruh baya itu memegang kakinya. Kemudian memasukkan ke dalam kurungan yang juga berisi kelelawar berbagai ukuran.

“Papa, besok akan pergi ke pasar Huanankah? Aku boleh ikut?” tanya si bocah dengan wajah memelas.

“Besok kau sekolah, nanti kalau libur, Papa akan ajak kau dan adik jalan-jalan ke Wu Chan,” bujuk  papanya

“Janji, ya, Pa?” seru bocah lelaki itu bahagia.

Lelaki tambun dengan perut buncit itu tertawa melihat anak lelakinya bahagia. Walau sebenarnya desa mereka tidak begitu jauh dari pusat kota Wu Chan, tetapi dia memang jarang sekali mengajak anak-anaknya ke sana. Sebagai pemasok kelelawar dan hewan lainnya untuk beberapa restoran di sekitar pasar Huanan, tentu waktunya sangat berharga. Apalagi mendekati musim liburan. Pasti akan banyak turis yang datang. Terutama dari Hongkong dan Taiwan.

Kemarin saja nyonya pemilik restoran terbesar di Huanan menelponnya dan memesan paling tidak 200 ekor kelelawar hidup ukuran sedang. Sekitar 100 ekor ukuran besar dan lebih 250 ekor untuk ukuran kecil. Dia sangat senang mendapat pesanan ini, tetapi juga pusing karena sekarang tidak semudah dulu menangkap kelelawar. Banyak tempat sudah menjadi hutan dan daerah yang dilindungi. Dia tidak tahu mengapa binatang juga harus dilindungi. Padahal itu adalah sumber mata pencaharian orang di desanya. Kalau semua dilindungi dan dilarang ditangkap, mereka harus bekerja apa?

“Papa, apakah besok akan pergi ke hutan?” tanya si bocah lelaki.

Dia tahu kurungan kelelawar masih banyak yang kosong. Itu tandanya papanya harus pergi ke hutan bersama kawan-kawannya untuk menangkap kelelawar.

“Kalau cuaca bagus. Kenapa? Kau mau ikut?” Papanya menjawab sambil menggulung tali di samping pintu.

“Bolehkah?” Binar mata anak lelakinya penuh harap.

Tanpa menoleh papanya menjawab, “Tentu tidak! Kau, kan, sekolah! Mau dihukum lagi oleh mamamu?”

“Jangan bilang mama,” usul si bocah.

“Kau menyuruh Papa berbohong? Kau tahu mamamu tidak bisa dibohongi. Cari mati saja berbohong kepada mamamu,” jawab papanya sambil terkekeh.

Tiba-tiba si bocah bersin.

“Lihat belum lagi berbohong, kau sudah bersin-bersin.” Papanya tertawa keras melihat anak lelakinya yang memasang wajah kesal.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status