Home / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 69. Garda terdepan

Share

69. Garda terdepan

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-12-24 09:27:53
"Hati-hati di jalan, Gas."

"Iya, Lan."

Setelah itu aku menutup panggilan dengan lembut, lalu membuka satu persatu pesan yang belum dibuka.

*

*

*

Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam melewati jalanan yang rimbun lalu lintas, akhirnya ban mobilku menggesek aspal dengan suara pelan saat berhenti di depan cafe yang sudah begitu akrab bagiku.

Cafe bergaya klasik dengan pintu kayu berlapis cat coklat tua ini adalah tempat langgananku bersama Dylan, sudah berdiri sejak kami masih mengenakan seragam mahasiswa dengan dasi yang kadang kusut dan sepatu kulit yang selalu tergores.

Lampu gantung dengan warna kuning keemasan dari setiap sudut menerangi ruangan dengan cahaya yang hangat dan sedikit samar—sama seperti dulu kala saat kami sering menghabiskan malam membahas rencana masa depan.

Dylan sebenarnya kakak seniorku saat kuliah, tapi kami berbeda jurusan.

Aku mengambil kedokteran, yang mengharuskan aku menghabiskan waktu lebih banyak di laboratorium dan ruang praktik, sementara di
Rossy Dildara

Gemsnya jangan lupa kasih, Guys, biar updatenya semangat 🙏🏻☺️

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   76. Belum puas

    "Kamu benar, tapi ...." Ucapan Inara memang ada benarnya. Tapi bagian dalam diriku yang masih punya akal sehat merasa ragu dan bingung dengan apa yang dia tawarkan. Semisal aku setuju lalu dia benar-benar hamil, lantas bagaimana ke depannya? Masa aku menikahinya dan meninggalkan Qiara?Dilihat dari sisi mana pun, Qiara jauh lebih baik ketimbang dirinya."Apa Kakak ragu?"Aku mengangguk cepat, jempolku masih menggenggam gelas teh hangat yang sudah mulai dingin di tangan. Jantungku berdebar kencang, merasa bimbang."Apa yang membuat Kakak ragu? Tapi lebih baik dicoba dulu, Kak. Kalau kita belum mencobanya... bagaimana bisa aku hamil anak Kakak?" Ucapnya dengan nada yang lembut namun terdengar pasti, matanya tetap menatapku tanpa ragu."Bukan masalah itu.""Terus??" Dahi Inara berkerut dalam, alisnya yang tipis terangkat ke atas. Dia tampak bingung menatapku."Semisal kamu hamil, bagaimana ke depannya?

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   75. Main cantik

    (POV Bilal) "Sial! Sial! Sial!" Suaraku terdengar serak dan penuh amarah, bergema di dalam kamar yang kini terasa begitu sempit. Kakiku melangkah mondar-mandir tanpa arah, tumit sepatuku membuat suara yang menusuk telinga setiap kali menyentuh lantai marmer. Kedua tanganku mengepal erat, sementara rasa gelisah dan ketakutan menusuk dada seperti jarum tajam. "Bagaimana bisa Ayah memiliki bukti perselingkuhanku? Bukankah selama ini aku sudah main cantik?" Kedua tanganku naik ke kepala, meremas rambutku dengan kuat sembari mengingat tayangan video tadi. Jelas-jelas itu di kamar hotel, tapi siapa yang berani merekamnya? Siapa yang punya akses dan alasan untuk melakukan hal itu? Apa mungkin Inara, selingkuhanku? Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil ponselku dari dalam kantong celana untuk menghubunginya. Sebelum menjadi selingkuhan, Inara adalah mantan pacarku yang terakhir—setelah aku menjalin hubungan dengan Qiara. Saat itu kami putus karena keputusanku sendiri, d

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   74. Telanjang bersama

    "Saya bicara apa adanya, Bos. Saya juga berani bersumpah kalau nggak ada satu pun kata yang saya buat-buat." Suara anak buahku terdengar tegas, seolah ingin aku percaya padanya. "Tapi kalau Bos ragu, Bos bisa tanya langsung pada dokter yang menanganinya di rumah sakit, dan juga bisa mengecek lewat rekaman CCTV apa yang terjadi kemarin di ruangan itu.""Siapa dokter yang menangani Bilal?" Aku tanya dengan nada yang masih dingin, meskipun sedikit ada rasa penasaran yang muncul di dalam diri."Dokter Arhan, Bos. Dokter spesialis bedah dalam."Aku langsung mematikan panggilan tanpa basa-basi lagi, jari jemari bergerak cepat untuk membuka kontak pada ponselku yang satunya.Sambil melakukan panggilan ke nomor kontak Dokter Arhan yang sudah tersimpan, aku juga membuka laptopku yang ada di samping jok mobil, menghubungkannya ke sistem keamanan rumah sakit melalui koneksi khusus. Layar laptop segera menampilkan antarmuka sistem CCTV, dan aku mulai mencari rekaman kemarin.Ternyata apa yang dik

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   73. Perempuan sesempurna kamu

    Brruugghhh!!Dengan kekuatan yang tidak terduga, Bilal mendorong kuat Dylan. Tubuh Dylan terdorong mundur—kakinya menyusuri aspal halaman dengan cepat, membuatnya terpaksa mundur beberapa langkah agar tidak kehilangan keseimbangan.Aku terkejut seketika—heran bagaimana bisa seorang Bilal yang baru saja terkena pukulan dan tendangan masih punya kekuatan untuk melawan. Untungnya Dylan tidak sampai jatuh."Brengsek! Apa yang kau lakukan?! Berani sekali mendorongku!" teriak Dylan dengan suara yang menggema, wajahnya memerah karena kemarahan dan kejutan yang bercampur.Namun, Bilal tidak memberikan sedikit pun jawaban. Dia langsung berbalik dan melesat masuk ke dalam mobilnya dengan langkah goyah namun cepat.Pintu mobil ditutup dengan sangat kasar. Mesin mobil menyala dengan suara yang menggelegar, dan dalam sekejap saja, Bilal menghilang dari pandangan kami.Ada rasa ingin mengejar, tapi pelukanku kepada Qiara terlalu nyaman untuk dilepaskan."Kenapa malah pergi?" Suara Qiara terdengar l

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   72. Tukang selingkuh

    "Brengsek! Mau ngapain kamu ke sini, hah?" Dylan berteriak marah—suaranya seperti badai yang menerjang, menggema keras di halaman rumah. Matanya melotot. Tanpa berlama-lama, sebuah pukulan bogem mentah penuh kekuatan dia layangkan langsung ke arah wajah Bilal. Bughh!! Suara dentuman yang nyaring menggema di udara sore, ketika tinjunya yang menyentuh rahang kiri Bilal dengan keras. Tubuh Bilal sedikit terpental ke belakang, tangannya secara refleks menyentuh bagian wajah yang terkena pukulan—darah mulai muncul perlahan dari sudut bibirnya. Jika Bilal bisa ditonjok dan merasa sakit, ini berarti dia bukan hantu. Dia benar-benar masih hidup. Kurang ajar! Ternyata kerjaan anak buahku tidak beres. Padahal aku bilang sudah untuk mengatur agar Bilal Bilal mati. Tapi sekarang, lelaki itu berdiri di hadapan kami dengan nyawa masih utuh. Tanpa berpikir dua kali, aku segera membuka pintu mobil dan melompat turun dengan cepat. Langkahku langsung mengarah ke arah mereka berdua—bukan u

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   71. Dia sudah mati

    "Bagas, kamu denger aku apa enggak?!" teriak Dylan, suaranya seperti petir yang menerjang tengah hari, membuatku tersentak kaget hingga kursi kayu yang kusandangi berderak sedikit menyentuh lantai keramik cafe. "Iya, aku dengar, tapi nggak usah pakai teriak-teriak segala juga. Ini cafe, tempat ngopi, bukan pasar!" tegasku dengan nada yang ditekan tapi jelas terdengar. Aku berusaha tetap sabar, meskipun panasnya hati yang benar-benar jengkel dengan sikap Dylan, yang seolah selalu merasa berhak mengatur hidupku. "Terus apa jawabanmu?" Dylan mendekatkan wajahnya lagi, matanya tetap menyala dengan rasa tidak percaya yang jelas terlihat. "Jawaban apa? Tadi 'kan aku sudah jawab." Aku mendengus perlahan. "Tentang Qiara." "Seperti apa yang kamu inginkan, aku sudah nggak mengharapkannya lagi." Aku mengangkat bahu dengan nada acuh tak acuh, padahal dalam hati aku merasakan rasa sakit yang menusuk seperti jarum. Daripada kami nantinya ribut di sini hingga membuat semua orang tidak nyama, le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status