Beberapa saat kemudian, mereka turun ke ruang makan. Meja makan sudah tertata rapi, dengan berbagai hidangan yang disiapkan oleh koki rumah tangga mereka. Valesco duduk lebih dulu, menunggu Leah yang tampak masih berjalan menuju kursi ujung yang berhadapan dengannya.
Pelayan meninggalkan mereka setelah memastikan semuanya lengkap.
Leah duduk, mengambil roti panggang dengan sedikit mentega, tiga sendok makan bubur dan beberapa potong buah. Satu sendok kecil yoghurt ditaruhnya ke mangkuk. Porsinya sangat kecil, hampir seperti camilan.
Sementara Valesco mengambil lebih banyak—ia makan seperti biasa, tanpa bicara. Tapi tatapan matanya mulai tajam.
Valesco memperhatikan Leah dari seberang meja, dagunya bertumpu pada tangan. Keningnya perlahan mengerut.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Kemudian, suara garpu Valesco beradu dengan piringnya. Ia meletakkan sendok dengan kasar, matanya menatap tajam ke arah Leah yang nampak sudah selesai makan saat d
Leah membalut tangannya dengan perban setelah mengoleskan gel pendingin. Bagian dada dan pundaknya baru sembuh tetapi Leah kembali mendapatkan luka baru pada lengan kanannyaKurang dari lima menit berlalu saat Winny menarik Nola dan nampak memarahi pelayan muda itu. Kini dapur hanya diisi oleh kehadirannya dan uap panas dari bubur.Aroma kaldu ayam dan jahe terasa menghangatkan. Bubur lembut tanpa lada, dengan sedikit irisan daging ayam dan daun bawang, sudah disajikan. Kini Leah menyiapkan teh herbal di sisi nampan. Diperhatikannya suhu air, tak terlalu panas agar Valesco tak tersedak.Mangkuk bubur itu tertata rapi dinampan, bersama dengan serbet bersih dan obat penurun panas yang diresepkan Gorge. Napasnya lega, walau matanya tampak lelah. Satu tugas kecil yang mungkin bisa membuat pagi itu terasa lebih manusiawi. Namun sebelum ia sempat mengambil sendok, suara langkah hak tinggi terdengar dari lorong.Langkah tajam. Angkuh. Sangat familiar.Lea
Kenneth Arden menutup pintu kamar.Suara klik dari gagang pintu terdengar ringan, tapi menghantam seperti gendang perang di kepala Valesco. Sunyi. Lalu pekat.Ia menoleh perlahan ke arah meja, ke arah amplop hitam yang ditinggalkan ayahnya. Hitam, tebal, dan lebih mengancam dari peluru mana pun. Dalam amplop itu bukan hanya perjanjian bisnis… tapi juga ancaman hidupnya. Dan Leah.Valesco mendongak menatap langit-langit, matanya basah tapi tidak jatuh. Dada naik turun perlahan.Lalu, ia menyandarkan tubuhnya kembali ke bantal, membiarkan diam menelannya, sebelum suara lembut mengetuk kesadarannya.Tok. Tok. Tok.Pintu kamar diketuk pelan.Seketika Valesco menegang. Ia tak sanggup menjawab. Mungkin takut Kenneth kembali—atau lebih buruk, orang lain yang siap mengambil bagian dari dirinya.Pintu tidak terbuka, tapi suara dari baliknya terdengar jelas, walau pelan.“Valesco... ini aku.”Leah.
Valesco membuka matanya dengan berat. Pandangan pertamanya buram. Atap kamar yang ia kenal samar-samar melayang di atasnya, tapi dunia tampak miring—seolah otaknya belum kembali sepenuhnya dari gelap.Ia menarik napas dalam, dada terasa berat, lalu matanya perlahan menoleh ke kiri… dan ia melihat sosok berdiri membelakanginya, siluet yang begitu ia kenalAyahnya, Kenneth ArdenBerdiri tenang di dekat jendela, tangan diselipkan ke saku celana, setelan abu-abu gelap membingkai tubuhnya dengan kesempurnaan yang tidak pernah retak, bahkan saat anaknya nyaris sekarat.“Di mana Leah?” suara Valesco parau, penuh retakan.Kenneth tak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit, sekadar memastikan putranya sadar, lalu kembali memandangi langit yang mulai cerah“Dia ada di luar” jawabnya datar.Mata Valesco menyipit. “Kenapa… bukan dia yang di sini?”“Kau lemah” Kenneth membal
Cahaya lampu temaram menyinari atap rumah kaca yang dilapisi embun. Di dalamnya, bunga mawar putih tertanam rapi, seolah tak terganggu oleh hiruk pikuk emosi yang meledak di rumah utama.Leah duduk di salah satu kursi kayu panjang, mengenakan cardigan tipis, matanya sembab tapi tajam.Di seberangnya, Gorge baru saja meletakkan cangkir teh jahe yang disediakan Winny, lalu menatap sekeliling rumah kaca dengan waspada, memastikan tidak ada satu pun pelayan atau pengintip dari balik jendela.Saat keheningan cukup panjang, barulah Gorge bicara.“Kau yakin tak ada seorangpun yang akan mendengar ini?” Tanya GorgeLeah mengangguk. Dia memang mengajak Gorge ke rumah kaca ini karena dari pantauan Leah, tempat ini jauh dari kamera pengawas, tidak seperti ruang lain bahkan kamarnya sendiri“Bahkan pelayan?” Gorge bertanya lagiLeah menoleh perlahan, lalu menggeleng. “Winny bisa dipercaya. Dan sisanya terlalu sibuk un
Tubuh Leah gemetar. Tangan yang tadi menahan bathrobe perlahan terkulai, jatuh ke lantai. Dan sebelum ia benar-benar bisa berpikir jernih, satu tangan Valesco sudah melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersentuhan penuh.“Valesco…” bisik Leah di sela napas yang nyaris terputus. “Kau… sedang kalut.”Mata Valesco semakin sayu. Ketika matanya turun menatap bibir Leah, Leah langsung menutup mulut pria itu dengan tangannya“Sudah cukup, Ale. Ayo kembali ke tempat tidur” Leah mundur, menarik tangan Valesco dalam genggamannyaValesco membiarkan Leah menuntunnya, seperti anak kecil yang kehilangan arah. Dan ketika mereka berdua kembali ke kamar, Leah membaringkan Valesco perlahan, lalu menyelimuti tubuhnya lagi. Ia ikut naik ke ranjang, duduk bersandar sambil mengusap rambut lembab Valesco dan memandangi wajah pria yang kini memejamkan mata dalam diam.Leah tak berkata apa-apa.
Valesco menatap Leah yang sedang menyeka tubuhnya dengan handuk hangat. Gerakan Leah pelan dan teratur, namun ada sesuatu yang tidak biasa dalam caranya menyentuh.Tidak selembut biasanya.Tidak setenang sebelumnya.Bukan sentuhan yang kasar… tapi ada tembok tipis yang menghalangi keintiman yang sebelumnya terasa alami.Sejak tadi, Leah nampak berbeda.Dia hanya menjawab jika Valesco bertanya, itu pun dengan nada datar, singkat, tanpa usaha menambah percakapan. Setelahnya, ia memilih diam. Tidak ada lirikan penuh perhatian. Tidak ada senyum kecil yang biasa muncul saat mereka bertukar pandang.Hanya keheningan yang ganjil. Terlalu tenang, hingga terasa dingin.Valesco merasa seperti sedang dirawat oleh perawat profesional, bukan istrinya sendiri. Ada jarak di antara mereka. Tidak kasat mata, tapi tajam. Dan makin terasa dengan setiap detik yang lewat.“Leah” panggilnya pelan.“Hm?” Jawab Le