Leah tak memiliki pilihan saat diminta untuk menikah dengan Valesco Arden, pria dingin dengan luka jiwa mendalam. Bukan cinta yang menyatukan mereka, melainkan ambisi keluarga. Di balik emosi meledak dan sikap posesif, Leah menemukan jiwa rapuh yang membuatnya luluh. Situasi menjadi semakin rumit saat Kenneth Arden— ayah Valesco yang manipulatif dan ambisius mulai turun tangan. Kenneth memaksa Leah untuk menceraikan putranya. Bagi Kenneth, Leah adalah kelemahan. Dan bagi Leah, Kenneth adalah bayangan gelap yang siap merobek sedikit ketenangan yang baru ia genggam. Ketika cinta mulai tumbuh di antara kebisuan, luka, dan amarah, Leah harus memilih: bertahan demi suami yang mulai ia sayangi, atau menyerah pada tekanan dan melepaskan satu-satunya pria yang benar-benar membutuhkannya. Blurb: "Apa kau tahu hukuman istri yang meninggalkan suaminya, Leah?" bisik Valesco di antara napas panas dan cengkeraman di pinggangnya. "Aku akan mengikatmu, mencumbumu dan bercinta denganmu. Kau boleh membenciku… tapi kau tetap akan bangun di tempat tidur yang sama, setiap malam, dengan tubuh yang masih jadi milikku."
View More“Luruskan bahumu. Senyumnya jangan palsu” bisik ibunya, sambil merapikan veil di atas kepala Leah.
Senyum Leah mengeras, bukan karena kurang latihan, tapi karena terlalu sering dipaksa. Setiap pasang mata menyorot setiap langkahnya menuju altar, di mana pria yang akan menjadi suaminya berdiri seperti patung marmer. Dingin, sempurna dan tak terjangkau.
Valesco Arden.
Pria dengan setelan hitamnya, rambut rapi dan wajah tenang nyaris tak menunjukkan ekspresi. Ia hanya menatap Leah seperti benda seni yang baru saja ia beli.
Leah tahu, dirinya bukanlah pengantin... ia adalah sebuah trofi. Ia benda yang dipamerkan dalam gala kemenangan dan dimiliki oleh seorang pria yang tak pernah benar-benar ingin mencintai.
Leah tak benar-benar peduli tentang perannya, tapi didalam, jiwanya gemetar. Setiap langkah menuju Valesco adalah satu langkah menjauh dari dirinya sendiri. Dari mimpi-mimpi yang pernah ia rajut diam-diam. Dari suara tawa yang dulu bebas ia lepaskan di pagi hari. Kini, semuanya redup, tertutup sorot cahaya dari altar dan undangan yang bersorak palsu.
Langkah demi langkah terasa berat di bawah tatapan tamu undangan yang sebagian besar bahkan tidak dikenalnya. Musik orkestra mengalun lembut, tapi tidak cukup untuk menutupi detak jantung Leah yang terlalu keras hingga terasa di telinganya sendiri.
Sampai di altar, ia mengangkat wajah. Mata mereka bertemu dan seperti yang sudah ia duga, Valesco tidak tersenyum. Hanya menatap, menilai, seperti seorang kurator yang masih belum yakin pada lukisan di depannya.
“Leah Caldwell” Dia bersuara.
Untuk pertama kali Leah mendengar pria yang akan menjadi suaminya itu bicara dan ini adalah pertemuan pertama mereka. Pertemuan yang langsung dilakukan diatas altar.
Valesco mengulurkan tangan. Gerakannya lambat, penuh kendali, seperti tak ada ruang untuk spontanitas di hidupnya. Leah meletakkan tangan di atasnya, merasakan betapa dinginnya kulit itu, dingin bukan karena suhu, tapi karena jiwa yang beku di balik tulang dan fisik yang terlihat sempurna.
Pendeta mulai berbicara. Kalimat-kalimat suci melayang di udara, sementara Leah menatap pria di hadapannya, berusaha menemukan manusia di balik nama besar itu.
Namun, yang dilihatnya hanya cangkang.
Cangkang yang telah memilihnya bukan karena cinta, tapi karena Leah cocok dengan gambaran istri ideal: anggun, tenang, dan diam.
“kau terlihat cantik” puji Valesco lirih, tapi tidak ada senyum di matanya. Namun Leah tahu jika itu ucapan yang jujur
“Terimakasih, kau juga” balas Leah pelan, senyum di bibirnya tetap utuh, karena banyak mata yang melihatnya termasuk kedua orang tua Valesco.
Dan saat pendeta bertanya, “Apakah kau bersedia...?”
Leah menoleh, menatap jemarinya yang masih digenggam ringan. Jantungnya berdetak pelan namun mantap. Ia tahu jawabannya. Tapi ia juga tahu, tak semua jawaban harus diucapkan hari ini.
Mungkin... tidak semua pernikahan dimulai dengan kata ‘ya’.
“Aku bersedia” ucapnya pada akhirnya.
Suara itu terdengar mantap, namun hanya Leah yang tahu betapa hampa rasanya. Riuh tepuk tangan membanjiri ruangan pemberkatan itu. Lampu-lampu kristal di langit-langit berpendar gemerlap, menyambut janji yang bahkan tak pernah benar-benar lahir dari hati.
Pernikahan selesai. Cincin tersemat. Ciuman di dahi—bukan bibir—menjadi tanda yang paling “hangat” dari pria yang kini resmi menjadi suaminya.
Tamu mulai berdiri. Tak banyak, hanya sekitar 40 orang karena pernikahan ini terasa sangat ‘intimated wedding’ meski tidak satupun dari keintiman itu benar-benar terasa bagi Leah.
Musik klasik mengalun. Dan Leah, seperti boneka porselen, berjalan bersama Valesco menuruni altar. Sekedar formalitas untuk menyapa tamu.
Tiba-tiba, suara langkah hak tinggi mendekat tergesa. Sang ibu, mengenakan gaun satin biru tua yang mewah namun tak terlalu mencolok, berdiri di hadapan Valesco dan Leah.
Senyumnya palsu, tapi matanya tajam penuh tuntutan.
“Sudah selesai. Sekarang, mana janjimu?” Ucap Lilith tanpa malu, seolah upacara suci tadi adalah transaksi jual beli biasa.
Diam-diam Leah terkekeh. Ibunya benar-benar menjiwai peran dan Leah tak boleh kalah dari ibunya itu.
“Ibu—”
“Diam, Leah!” potong ibunya tajam. “Kau sudah jadi milik orang. Ibu sudah serahkan segalanya. Sekarang giliran dia yang membayar.”
Valesco menoleh perlahan. Tatapannya tak berubah, tetap datar. Namun mata elangnya melirik ke sisi kanan, ke arah seseorang yang berdiri nyaris tak terlihat di balik pilar besar.
Eriko, asistennya yang setia, melangkah maju. Rapi, tenang, dan seperti biasa, tanggap. Ia mengeluarkan sebuah amplop hitam dari dalam map kulit, lalu menyerahkannya pada Lilith, Ibu Leah.
“Sebagaimana telah disepakati” ujar Eriko santai namun terasa dingin. “Jumlah penuh. Dengan ini, hubungan antara anda dan Nyonya Leah resmi berakhir.”
“A-apa?” Leah berbisik, matanya membelalak.
Lilith justru tersenyum lebar. “Akhirnya” gumamnya seraya membuka amplop itu sedikit, melihat cek bernilai 100 juta dollar dan dokumen yang terlipat rapi di dalamnya.
Lilith menatap Leah. “Kau dapat yang kau inginkan. Ibu juga. Jadi jangan pernah menyesal. Hiduplah dengan tenang” Lalu ia berbalik, hak tingginya berdetak tajam di lantai marmer saat ia meninggalkan ruangan, seperti tak pernah menjadi bagian dari hidup Leah.
Leah tak bergerak. Tangannya mulai bergetar tanpa sadar.
Leah tahu jika semuanya sudah direncanakan namun mengapa rasanya tetap menyakitkan?
Valesco hanya menatapnya, lalu berkata datar “Tak semua warisan layak dipertahankan.”
Satu kalimat yang menusuk... tapi mungkin benar.
Tapi disini, Leah-lah yang paling tahu semua kebenaran tentang itu.
“Leah...”
Suara lembut seseorang memanggilnya.
Leah menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan gaun berwarna champagne mendekatinya. Anggun, penuh wibawa, dengan senyum yang terasa terlalu halus untuk acara semegah ini. Di sampingnya berdiri seorang pria dengan jas abu gelap, wajahnya tegap dan mata tajam, seperti potret Valesco dua puluh tahun ke depan.
“Selamat” ucap wanita itu—Joy Arden, ibu Valesco, saat menghampiri mereka “Kalian terlihat... serasi.”
Leah mengangguk sopan. “Terima kasih” Leah membalas senyum, samar. Ia tak mau berkata apa-apa lagi. Tubuhnya masih terasa seperti properti dalam sebuah acara pameran. Tapi ia tetap angguk sopan, menjaga etiket yang ditanam sejak kecil.
“Aku pergi dulu” Pamit Valesco pada kedua orang tuanya. Mata gelap itu sempat melirik Leah sejenak sebelum menuju beberapa tamu pria
Joy menyentuh lengannya pelan. “Kami tahu Valesco... sulit didekati. Tapi dia anak yang baik. Hanya... keras kepala. Seperti ayahnya.” Ia menoleh singkat ke suaminya.
Kenneth Arden tertawa kecil, lebih seperti dengusan puas. “Dia pria yang tahu apa yang dia inginkan. Dan dia memilihmu, Leah. Itu sudah cukup bukti. Cukup lakukan seperti yang selama ini kau pelajari” Bisiknya pelan, memastikan kalimat terakhir itu hanya terdengar dari antara mereka bertiga
“Baik, Tuan Arden” ucap Leah patuh
Leah dipilih seperti furnitur. Seperti arloji. Seperti investasi.
Dirinya yang pintar dan unggul selama kuliah dipilih menjadi salah satu alat investasi keluarga Arden dan celakanya, Leah tak bisa menolak atau keluarganya terancam.
Joy menatapnya dalam, seolah mencoba menyelami pikirannya. “Kami berharap kamu bisa membuatnya lebih hangat. Valesco bukan anak yang pandai menunjukkan perasaan. Tapi dia bukan pria jahat, Leah. Kami percaya padamu dan setelah kamu berhasil, kami akan memberikan keinginanmu sesuai kesepakatan”
Leah mengangguk lagi “Terima kasih, Nyonya Arden.”
“Panggil aku Joy” jawab wanita itu cepat, senyum tak berubah. “Sekarang kau keluarga Arden”
Keluarga.
Leah memandangi Valesco di kejauhan. Pria itu berdiri dengan segelas sampanye di tangan, masih seperti patung dalam museum. Pandangannya datar, tak sedang mencari Leah. Ia hanya berdiri. Seperti pilar batu. Teguh, dingin, dan abadi.
Pesta baru saja dimulai.
Dan perannya sebagai istri Valesco Arden... baru saja ditulis di lembar pertama.
Sebelum kejadian...Leah duduk di ujung sofa panjang di ruang pribadi Valesco. Kedua kakinya disilangkan, tangannya menopang dagu. Awalnya ia mencoba membaca buku yang tadi sempat ia temukan di rak kecil dekat jendela, tapi bahkan halaman keempat tak sanggup mengalihkan pikirannya dari detak waktu yang terasa begitu lambat.Ia menengok ke jam dinding. Hampir dua jam sejak Valesco meninggalkannya untuk rapat."Astaga..." desahnya pelan, lalu berdiri dan mulai mondar-mandir di ruangan.Awalnya ia berpikir menunggu adalah hal paling sederhana untuk dilakukan. Ia terbiasa menunggu. Tapi tidak di gedung asing setinggi ini, sendirian, dengan perasaan tak menentu yang perlahan mulai menggrogoti tenangnya.Leah membuka pintu. Memandangi lorong kosong di depan kamar itu. Lalu memutuskan melangkah keluar. Hanya untuk berjalan-jalan sebentar, katanya dalam hati. Mungkin mencari mesin kopi atau... udara.Lift berhenti di lantai 42 dengan suara denting p
Tak butuh waktu lama untuk lift terbuka di lantai empat puluh dua. Seorang pria dengan rambut gelap yang disisir ke belakang sudah berdiri menunggu. Setelan abu-abu gelapnya rapi, dan ekspresinya penuh kehati-hatian namun bersahabat.“Julian” Valesco mengangguk singkat.“Valesco” sapanya dengan nada pelan tapi akrab. “Kukira ayahmu yang datang”Valesco tersenyum miring, singkat, hampir seperti tidak sungguhan. “Kau tahu dia tidak pernah muncul kalau situasinya sudah bisa dibakar dari belakang layar.”Julian mendesah, lalu melirik tangan kiri Valesco yang diperban “Apa kali ini dia berulah lagi?”“Bukan. Bukan dia. Tapi sudah berapa lama kau ditugaskan disini?” Tanya Valesco“Dua minggu” Julian menjawab sambil berjalan beriringan dengannya. “Aku pindah dari Ohio sesuai perintah dewan. Kantor cabang sini... tidak semulus yang kita kira. Jadi mereka ingin
Langit Roma pagi itu abu-abu, tapi hangat. Mobil hitam mengilap dengan plat diplomatik berhenti tepat di depan gedung pencakar langit kaca yang menjulang tajam ke langit seperti pisau. Di bagian atasnya, tersemat satu nama dalam huruf kapital:ARDEN CONSORTIUM.Leah menatapnya dari balik kaca jendela, tanpa sadar menggenggam tangan Valesco yang dingin. Pria itu duduk di sebelahnya, mengenakan setelan jas hitam yang terlalu pas di tubuh tegapnya. Dasi merah marun terikat rapi di lehernya. Rambutnya disisir ke belakang. Kacamata hitam menutupi matanya yang pagi tadi penuh rasa kalut dan tangis.Siang ini... pria itu bukan Valesco yang ia kenal.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Leah pelanValesco tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh sedikit ke arahnya. “Masih bertanya? Kau ingin mengulang kejadian pagi tadi?” Nada suaranya datar, tapi bukan dingin. Lebih seperti... lelah menyembunyikan diri.Leah m
Valesco berhenti di depan pintu kamar suite. Ia menyentuh gagang pintu, lama. Jemarinya masih bergetar halus. Entah karena emosi atau karena lelah menjadi dua orang sekaligus yang menyimpan dan yang menghancurkan.Pintu dibuka pelan.Ruangan redup. Hanya cahaya dari lampu baca yang menyala lembut. Suara AC mendengung lembut di langit-langit, dan aroma samar dari lotion tubuh Leah manis, dan sedikit mint—menguar, membuat Valesco berhenti di ambang pintu sejenak.Di atas ranjang, tubuh Leah sudah terbaring.Punggungnya menghadap ke arah pintu. Selimut menutupi tubuh rampingnya hingga bahu, dan rambutnya menjuntai ke bantal seperti pita hitam yang dibiarkan jatuh.Tapi nafasnya...Terlalu pelan dan teratur.Valesco tahu. Ia belum tidur.Langkahnya mendekat, nyaris tanpa suara. Tapi setiap lantai marmer di bawah karpet mahal itu terasa seperti jerat yang akan membuatnya jatuh kalau ia salah bicara. Salah sentuh. Salah lihat.
Lorong hotel terlalu terang. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke marmer putih yang licin seperti es, membuat langkah Valesco terasa seperti bergerak di dalam istana yang dingin.Langkahnya tenang, tapi pikirannya tidak.Ia menyentuh pergelangan tangan, aroma Leah masih menempel di kulitnya. Manis dan bersih, seperti aroma pertama pagi hari.Tapi sekarang, yang harus ia hadapi adalah sesuatu yang jauh dari itu.Sesuatu yang kotor. Politik keluarga. Perintah dari Kenneth Arden.Begitu mencapai Restoran Le Sorelle, seorang pelayan pria membungkuk dalam.“Selamat datang signore. Madam sudah menunggu.”Valesco hanya mengangguk singkat. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Kemeja putihnya masih sama seperti saat bersama Leah, hanya kini dilapisi coat hitam tipis dari Louis Vuitton. Tubuhnya bagaikan perisai. Tegap. Tapi lelah. Sangat lelah.Begitu ia melangkah masuk ke dalam ruangan privat bernuansa emas dan han
Langit di luar jendela suite telah berubah gelap, hanya diterangi lampu jalanan dan kilau kota dari kejauhan. Tirai belum ditutup, membiarkan cahaya lampu luar menyusup samar ke dalam kamar hotel.Di atas ranjang besar dengan selimut berwarna gading, Leah mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya redup kamar. Suara detak jam di dinding terdengar lambat dan dalam. Udara kamar sejuk, dan tubuhnya terasa ringan, seperti habis tidur pulas.Ia memiringkan tubuhnya dan mendapati sosok Valesco duduk di kursi kayu tua dekat jendela. Pria itu mengenakan kemeja putih yang sebagian terbuka di bagian dada. Satu tangannya memegang gelas wine, sementara tangan lainnya menopang rahang, tatapannya kosong menembus malam di balik kaca.Leah diam beberapa saat, hanya mengamati dari tempatnya. Ada sesuatu yang aneh dari postur pria itu. Tegang. Seperti seseorang yang menahan sesuatu terlalu lama.“Valesco?” Suaranya serak karena baru bangun.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments