LOGINPagi hari menyusup pelan melalui celah tirai ruang kerja yang lupa ditutup rapat malam sebelumnya. Cahaya matahari jatuh lembut ke atas permukaan meja dan menyebar menuju sofa, menyentuh kulit Leah yang masih hangat dalam pelukan Valesco
Leah membuka mata perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Valesco. Wajah yang damai, nyaris polos. Rambutnya sedikit berantakan, helai-helainya jatuh ke dahi. Napasnya teratur, dadanya naik turun dengan irama yang menenangkan.
Tidak ada ketegangan, tidak ada badai. Hanya seorang pria yang akhirnya terlihat seperti manusia biasa, bukan labirin luka yang terlalu gelap untuk disentuh.
Leah menatapnya lama. Ada sesuatu yang menyeruak di dadanya. Hangat, tapi juga menyakitkan. Leah sadar jika itu bukanlah tempat yang semestinya ia isi. Tapi untuk sesaat, ia ingin berpura-pura tidak tahu
Ia membalik tubuhnya sedikit, menyamping menghadap Valesco, dan nyaris tertawa kecil saat melihat pria itu mulai menggeliat pelan, me
Pagi itu, udara di rumah keluarga Arden terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menebarkan cahaya lembut di antara aroma kopi dan wangi roti panggang dari dapur. Leah baru saja menata bunga di meja ketika suara bel pintu terdengar.Ia menoleh cepat, tersenyum kecil.“Oh Althea, silahkan masuk” Ucap Leah mempersilahkanAlthea berdiri di ambang pintu dengan tampilan yang sama seperti pertama kali datang. Blazer krem terbuka di bagian dada, menampakkan garis tipis gaun hitam di dalamnya. Bibirnya berlapis lipstik merah yang berani, kontras dengan kulitnya yang pucat halus. Rambutnya disisir rapi, sedikit bergelombang di ujung, memberikan kesan elegan sekaligus menggoda.“Selamat pagi, Leah,” sapanya lembut, dengan senyum yang sudah terlatih. “Kau kelihatan segar sekali hari ini.”Leah terkekeh pelan, menyingkir memberi jalan. “Kau selalu tahu cara memuji orang, Thea. Masuklah, aku baru saja membuat teh. Ria masih di kamarnya, dia bangun agak siang har
Gadis kecil itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana tidur, rambutnya tergerai acak. Mata abunya terlihat kontras di bawah cahaya lampu gudang yang pucat. Ia menggenggam payung lipat yang tampak belum sempat dipakai, dan di wajahnya tidak ada ketakutan. Hanya rasa ingin tahu yang tenang dan sedikit keheranan.“Papa?” suaranya lembut tapi membuat dada Alesco menegang. “Papa ngapain di sini?”Alesco membeku sesaat. Ia tidak pernah berniat memperlihatkan sisi ini pada putrinya. Tangannya masih memegang senjata yang belum ia letakkan. Dengan cepat ia menurunkannya, menyandarkannya di meja kerja, lalu menatap Valeriah datar.“Kenapa kau bangun sepagi ini?” suaranya rendah, nyaris serak.Valeriah mengangkat bahu. “Aku dengar suara dari jendela. Kupikir ada orang. Tapi ternyata Papa.” Ia menatap sekitar, mata mudanya menangkap peti-peti besar yang belum tertutup rapat. “Ini semua... apa?” tanyanya lagi,
Alesco keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang. Rambutnya basah, tetes air mengalir perlahan di sepanjang punggungnya yang berotot dan berhenti di garis pinggang, membuat cahaya lampu malam yang hangat memantul samar di kulitnya.Ia mengambil celana training longgar dari walk in closet, memakainya dengan gerakan otomatis, tenang, presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengatur segalanya dengan disiplin militer. Saat ia merapikan sabuk, suara hujan di luar makin deras, mengguyur atap rumah hingga terdengar seperti irama berat dari jauh.Leah sudah tertidur. Napasnya tenang, perutnya naik turun perlahan. Alesco beranjakduduk di tepi ranjang, menatapnya istrinya dengan lembut. Tangannya menyentuh perut Leah lama. Seolah ia mencoba mengingat sensasi kehidupan itu untuk menahan dirinya tetap manusia.Ponsel yang ia lekatakn di atas nakal berbunyi — pesan singkat dari Morgan.“P
Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.
Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa
Leah baru saja meninggalkan kamar dengan langkah pelan, membawa piring kue dan gelas jus yang sempat ia tawarkan sebelumnya. Pintu tertutup lembut di belakangnya, meninggalkan Althea dan Valeriah berdua di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi.Althea menarik napas kecil, menatap sekeliling kamar yang begitu berbeda dari bayangannya tentang kamar anak lima tahun. Meja panjang di sisi jendela penuh dengan kuas, cat air, dan kertas tebal. Lampu sorot kecil diarahkan tepat ke kanvas, membuat ruangan itu lebih menyerupai studio seniman ketimbang kamar anak-anak.“Valeriah” panggil Althea pelan, mencoba memulai percakapan. “Lukisanmu … cantik sekali. Tante jarang lihat anak seusiamu bisa menggambar dengan detail seperti itu.”Valeriah tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar kuasnya di tangan, lalu menatap cat air yang mulai mengering di paletnya. “Tante bilang cantik, tapi tadi tatapan tante seperti tidak suka” ucapnya tenang, tanpa menatap Althea.Althea terdiam sesaat, tidak menyangka







