“Dimana suamiku?” Leah bertanya pada semua pelayan yang ada di rumah. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam dan penuh tanda tanya. Ia berdiri di tengah ruang tengah dengan tubuh tegak.
Namun, semua yang ia tanya hanya menggeleng.
“Saya tidak melihat Tuan sejak pagi, Nyonya.”
“Mungkin masih di kamarnya…”
“Tidak ada tanda beliau di lantai dua juga atau bahkan keluar dari kamar.”
Satu per satu pelayan memberi jawaban serupa: tak ada yang tahu, tak ada yang sadar.
Leah mengerutkan kening. Hatinya mulai tak tenang. Tidak mungkin Valesco pergi tanpa jejak, tidak mungkin tak seorang pun melihatnya… dan tak mungkin seorang tak sadar jika kamar Valesco kosong.
Langkahnya cepat menuju pintu utama, melewati lorong panjang yang mengarah ke halaman depan. Begitu sampai di teras, ia melihat penjaga gerbang tengah menyapu dedaunan dengan santai.
“Rono!” serunya, langka
“Dimana suamiku?” Leah bertanya pada semua pelayan yang ada di rumah. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam dan penuh tanda tanya. Ia berdiri di tengah ruang tengah dengan tubuh tegak.Namun, semua yang ia tanya hanya menggeleng.“Saya tidak melihat Tuan sejak pagi, Nyonya.”“Mungkin masih di kamarnya…”“Tidak ada tanda beliau di lantai dua juga atau bahkan keluar dari kamar.”Satu per satu pelayan memberi jawaban serupa: tak ada yang tahu, tak ada yang sadar.Leah mengerutkan kening. Hatinya mulai tak tenang. Tidak mungkin Valesco pergi tanpa jejak, tidak mungkin tak seorang pun melihatnya… dan tak mungkin seorang tak sadar jika kamar Valesco kosong.Langkahnya cepat menuju pintu utama, melewati lorong panjang yang mengarah ke halaman depan. Begitu sampai di teras, ia melihat penjaga gerbang tengah menyapu dedaunan dengan santai.“Rono!” serunya, langka
Alisa meninggalkan kediaman Valesco Arden dengan perasaan kesal.Suara derap langkah sepatu hak tingginya menggema di lorong rumah mewah itu, namun tak satu pun pelayan berani menoleh. Semua menunduk. Bisu. Seperti tahu bahwa senyum tipis di wajah Alisa sudah tidak punya arti lagi. Kecuali amarah yang dikemas dengan mahal.Begitu pintu mobilnya dibukakan oleh sopir pribadi, Alisa masuk cepat. Ia membanting pintu lebih keras dari yang seharusnya, lalu menarik napas panjang. Wajahnya masih terawat, riasannya masih sempurna… tapi tatapan matanya seperti gunting yang sudah tumpul karena terlalu sering digunakan untuk menusuk.Dengan gerakan cepat, ia meraih ponsel dari dalam tas dan menekan nama yang sudah ada di daftar panggilan cepat: "Papa."Suara sambungan berdering singkat.Lalu, sambungan terhubung.“Alisa?” Suara Ryan di seberang terdengar ramah dan stabil. Lelaki paruh baya itu selalu berbicara dengan nada kontrol ting
“Kalau begitu buktikan” Leah mengangkat tangannya perlahan, menyentuh pipi yang memerah. Tatapannya pelan kembali pada Alisa.“A-apa?” Alisa menahan napas, seperti tertusuk sesuatu yang tidak ia sangka.“Kau bilang Valesco akan kembali padamu” Leah melanjutkan, lebih tenang dari sebelumnya “Maka, buat dia menceraikanku”Keheningan terjadi selama beberapa saat, seolah dunia menahan napas bersama mereka.Alisa menatap Leah tanpa berkedip. Matanya membelalak, lidahnya kelu. Ia tidak menyangka perempuan itu akan seberani ini, akan setajam ini. Ketika Alisa membuka mulut, suaranya nyaris berbisik, “Kau menantangku?”Leah menurunkan tangannya perlahan, senyumnya tipis dan datar “Bukan menantang, hanya ingin sebuah bukti” Leah menunjuk nampan yang telah ia siapkan “Nah pertama, bawa bubur ini dan minta dia makan” ucap Leah dengan tenangAlisa menatapnya, seolah tida
Leah membalut tangannya dengan perban setelah mengoleskan gel pendingin. Bagian dada dan pundaknya baru sembuh tetapi Leah kembali mendapatkan luka baru pada lengan kanannyaKurang dari lima menit berlalu saat Winny menarik Nola dan nampak memarahi pelayan muda itu. Kini dapur hanya diisi oleh kehadirannya dan uap panas dari bubur.Aroma kaldu ayam dan jahe terasa menghangatkan. Bubur lembut tanpa lada, dengan sedikit irisan daging ayam dan daun bawang, sudah disajikan. Kini Leah menyiapkan teh herbal di sisi nampan. Diperhatikannya suhu air, tak terlalu panas agar Valesco tak tersedak.Mangkuk bubur itu tertata rapi dinampan, bersama dengan serbet bersih dan obat penurun panas yang diresepkan Gorge. Napasnya lega, walau matanya tampak lelah. Satu tugas kecil yang mungkin bisa membuat pagi itu terasa lebih manusiawi. Namun sebelum ia sempat mengambil sendok, suara langkah hak tinggi terdengar dari lorong.Langkah tajam. Angkuh. Sangat familiar.Lea
Kenneth Arden menutup pintu kamar.Suara klik dari gagang pintu terdengar ringan, tapi menghantam seperti gendang perang di kepala Valesco. Sunyi. Lalu pekat.Ia menoleh perlahan ke arah meja, ke arah amplop hitam yang ditinggalkan ayahnya. Hitam, tebal, dan lebih mengancam dari peluru mana pun. Dalam amplop itu bukan hanya perjanjian bisnis… tapi juga ancaman hidupnya. Dan Leah.Valesco mendongak menatap langit-langit, matanya basah tapi tidak jatuh. Dada naik turun perlahan.Lalu, ia menyandarkan tubuhnya kembali ke bantal, membiarkan diam menelannya, sebelum suara lembut mengetuk kesadarannya.Tok. Tok. Tok.Pintu kamar diketuk pelan.Seketika Valesco menegang. Ia tak sanggup menjawab. Mungkin takut Kenneth kembali—atau lebih buruk, orang lain yang siap mengambil bagian dari dirinya.Pintu tidak terbuka, tapi suara dari baliknya terdengar jelas, walau pelan.“Valesco... ini aku.”Leah.
Valesco membuka matanya dengan berat. Pandangan pertamanya buram. Atap kamar yang ia kenal samar-samar melayang di atasnya, tapi dunia tampak miring—seolah otaknya belum kembali sepenuhnya dari gelap.Ia menarik napas dalam, dada terasa berat, lalu matanya perlahan menoleh ke kiri… dan ia melihat sosok berdiri membelakanginya, siluet yang begitu ia kenalAyahnya, Kenneth ArdenBerdiri tenang di dekat jendela, tangan diselipkan ke saku celana, setelan abu-abu gelap membingkai tubuhnya dengan kesempurnaan yang tidak pernah retak, bahkan saat anaknya nyaris sekarat.“Di mana Leah?” suara Valesco parau, penuh retakan.Kenneth tak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit, sekadar memastikan putranya sadar, lalu kembali memandangi langit yang mulai cerah“Dia ada di luar” jawabnya datar.Mata Valesco menyipit. “Kenapa… bukan dia yang di sini?”“Kau lemah” Kenneth membal