“Kalimat seperti itu tidak pantas keluar dari bibirmu. Terutama saat kamu mengandung anakku.” Galtero meraih dagu Sofia, ibu jarinya menopang lembut dan telunjuknya mengusap bibir wanita itu yang mengering.Bahkan pria itu menyeka air mata yang baru saja keluar. Mengecup pipi Sofia dengan bibir panasnya. Namun, rasa gundah Sofia tak juga padam.“Kenapa … kenapa kamu membiarkan aku percaya kalau Carlitos anakmu? Kamu penipu, Galtero!” serunya. Sofia terkekeh kecil, tetapi matanya masih memerah dan cairan bening jatuh lagi membasahi pipinya. “Apa ini … alasanmu bilang … aku tidak perlu cemburu pada mereka?” sambung Sofia lagi. Suaranya masih bergetar. Dia ingin menghujat pria itu, tetpi suaranya tercekat. Makin banyak bicara, dia jadi sadar—rasa sayangnya justru bertambah di tengah kebencian yang mendidih.Tatapan Galtero tidak lepas dari wajah Sofia. PandangN wanita itu jelas menyiratkan kekecewaan mendalam. Namun, dia juga tidak berusaha menjelaskannya lebih jelas. Membiarkan Sofia t
“Aku harus pergi sekarang,” gumam Sofia. Ekor matanya melirik ke arah Galtero yang masih terbaring dengan mata terpejam. Napasnya teratur dan dalam.Sofia menjulurkan jemari, menyentuh perlahan ujung dagu pria itu untuk memastikan. Masih pulas. Efek alkohol semalam pasti belum benar-benar hilang.Dia buru-buru bersiap. Hanya saja sebelum pergi, Sofia membuatkan air lemon hangat dicampur madu, menuangkannya ke dalam gelas tahan panas dan meletakkannya di atas nakas.[Minum ini. Habiskan.]Dia menulis singkat di secarik memo dan menyelipkannya di bawah gelas.Begitu keluar kamar, Carlitos langsung menyambutnya. Bola sepak di tangan anak itu terjatuh saat Sofia tak menghentikan langkah.“Umm … Carlitos, aku sedang sibuk. Tidak bisa main,” katanya, suara Sofia pelan sambil mengusap pipi bocah itu.Carlitos mengerucutkan bibir, wajahnya menjadi sendu. “Aku kangen Mama. Sekarang Mama kerja jauh. Bibi juga sibuk. Aku main sama siapa?”Sofia terdiam sejenak. Satu sisi ingin menjauh, tetapi si
Nicolas berpuas hati melihat wajah Galtero menegang. Pria itu lalu terbahak-bahak sendiri, hingga mengundang perhatian dari para anggota tim.“Ah, tentu saja aku harus memanggilmu … Nyonya Galtero, bukan?” Dari nada bicaranya saja sangat jelas sebuah sindiran.Sofia cukup tahu diri untuk tidak melibatkan suami pemarahnya lebih jauh. Dia pun sedikit membungkuk. “Tuan Marquez, mohon maaf … kami tidak—”“Kita pergi bersama,” sela Galtero. Dia menyatukan jemari dengan Sofia. Lalu mengecup punggung tangannya tepat di depan mata Nicolas. Tatapan mata birunya menyiratkan bahwa Sofia miliknya, wanitanya, dan tidak ada siapa pun, atau bahkan seekor lalat yang boleh menyentuhnya.Diperlakukan seposesif itu di depan umum membuat Sofia memerah. Bukan karena tersipu, melainkan merasa ngeri. Merinding. Ada sisi batinnya yang muak, tetapi juga ….‘Galtero terlalu posesif. Tapi anehnya, hatiku malah merasa aman,’ batin Sofia.Dua pria bermata biru terang itu saling menatap, sarat akan kebencian yang
Gelas susu di tangan Sofia hampir tumpah karena wanita itu tidak fokus. Pandangannya tertuju pada layar ponsel.“Siapa?” tanya Galtero. Suaranya dingin dan mencekam. Bahkan sebelum Sofia sempat menjawab, Galtero sudah lebih dulu merebut ponselnya.Amarah yang memang belum padam seketika membesar. Tangannya menggenggam erat ponsel Sofia, hampir remuk di genggamannya. Dia ingin membanting benda pipih itu, menghancurkannya sampai tak bersisa.Namun, saat dia melirik pada Sofia, wanita itu tampak lemas dan kehilangan selera makan.Rahang tegas Galtero berkedut. Dia menekan egonya. Sofia tidak boleh stres. Wanita itu sedang mengandung anaknya, darah daging yang dinantikannya selama ini.Galtero akhirnya menyerahkan kembali ponsel itu ke Sofia. Lalu dia mengambil gelas susu dari tangan Sofia dan meletakkannya di meja.“Oke,” ujarnya pelan dan tajam. “Kamu bisa jalani kontrak itu. Tapi dengan syarat—”“Apa?” Sofia mendongak. Dalam pupil matanya ada seberkas harapan.“Aku temani,” sambung pri
Rahang Galtero mengeras saat memandangi punggung Sofia menjauh. Tubuh kekarnya yang biasa sigap, kini membeku.Kata-kata Sofia yang terakhir terpatri dalam benaknya. Sudut bibirnya berkedut karena wanita yang dia cengkeram dengan kuat, selalu memberontak.“Tidak mencarimu? Mustahil,” geramnya, kelopak matanya melebar saat melihat Sofia naik taksi sambil memegangi perutnya.Saat taksi bergerak, Galtero masuk ke dalam Jeep Grand Cherokee-nya, menyalakan mesin dan mulai menginjak pedal gas tanpa ampun. Ingin hati menyalip dan menghentikan kendaraan itu, tetapi akal sehatnya seakan berbisik untuk membiarkan Sofia sendiri. Setidaknya, Galtero akan menjaga wanita itu dan bayinya dari sini—dari jarak jauh.Taksi itu melaju menuju panti jompo. Rupanya Sofia ingin menenangkan diri, menemui Renata.Galtero memarkirkan mobilnya di luar pagar. Jeep Grand Cherokee itu diam-diam membuntuti sejak dari pertigaan jalan tadi. Mata birunya mengawasi setiap langkah Sofia yang terlihat rapuh menginjak pe
“Tidak perlu terkejut, Nona Morales. Kamu modelku, sudah seharusnya aku memahami kamu, bukan?” Suara itu terlalu datar untuk pria yang baru saja menarik tubuhnya dari kecelakaan.Sofia menelan ludah. Tidak, semua ini tidak mungkin kebetulan. Namun, dia juga tidak tahu harus bicara apa. Senyum canggung akhirnya keluar dari bibirnya. “Umm … terima kasih, Tuan Marquez.”“Bagaimana dengan kandunganmu?” Nicolas melirik perutnya tanpa sungkan.Sofia refleks mengangguk. Jujur, dalam hati, dia mulai gelisah. Batin Sofia menolak semua ini. Dia tahu Nicolas bukan orang biasa. Pria itu licik, licin, dan terlalu manipulatif untuk situasi yang baru saja terjadi.Sebelum Sofia sempat menjauhkan badan, suara berat yang amat dia kenal menggema.“Sofia!”Intonasi Galtero terdengar lantang. Aura dingin seketika menyambar.Sofia menoleh kaget dan segera melepaskan tangan Nicolas yang masih menempel di pinggulnya.Dia hendak berjalan ke arah Galtero, tetapi pria itu sudah dikuasai amarah. Mata birunya m