Nicolas berpuas hati melihat wajah Galtero menegang. Pria itu lalu terbahak-bahak sendiri, hingga mengundang perhatian dari para anggota tim.“Ah, tentu saja aku harus memanggilmu … Nyonya Galtero, bukan?” Dari nada bicaranya saja sangat jelas sebuah sindiran.Sofia cukup tahu diri untuk tidak melibatkan suami pemarahnya lebih jauh. Dia pun sedikit membungkuk. “Tuan Marquez, mohon maaf … kami tidak—”“Kita pergi bersama,” sela Galtero. Dia menyatukan jemari dengan Sofia. Lalu mengecup punggung tangannya tepat di depan mata Nicolas. Tatapan mata birunya menyiratkan bahwa Sofia miliknya, wanitanya, dan tidak ada siapa pun, atau bahkan seekor lalat yang boleh menyentuhnya.Diperlakukan seposesif itu di depan umum membuat Sofia memerah. Bukan karena tersipu, melainkan merasa ngeri. Merinding. Ada sisi batinnya yang muak, tetapi juga ….‘Galtero terlalu posesif. Tapi anehnya, hatiku malah merasa aman,’ batin Sofia.Dua pria bermata biru terang itu saling menatap, sarat akan kebencian yang
Gelas susu di tangan Sofia hampir tumpah karena wanita itu tidak fokus. Pandangannya tertuju pada layar ponsel.“Siapa?” tanya Galtero. Suaranya dingin dan mencekam. Bahkan sebelum Sofia sempat menjawab, Galtero sudah lebih dulu merebut ponselnya.Amarah yang memang belum padam seketika membesar. Tangannya menggenggam erat ponsel Sofia, hampir remuk di genggamannya. Dia ingin membanting benda pipih itu, menghancurkannya sampai tak bersisa.Namun, saat dia melirik pada Sofia, wanita itu tampak lemas dan kehilangan selera makan.Rahang tegas Galtero berkedut. Dia menekan egonya. Sofia tidak boleh stres. Wanita itu sedang mengandung anaknya, darah daging yang dinantikannya selama ini.Galtero akhirnya menyerahkan kembali ponsel itu ke Sofia. Lalu dia mengambil gelas susu dari tangan Sofia dan meletakkannya di meja.“Oke,” ujarnya pelan dan tajam. “Kamu bisa jalani kontrak itu. Tapi dengan syarat—”“Apa?” Sofia mendongak. Dalam pupil matanya ada seberkas harapan.“Aku temani,” sambung pri
Rahang Galtero mengeras saat memandangi punggung Sofia menjauh. Tubuh kekarnya yang biasa sigap, kini membeku.Kata-kata Sofia yang terakhir terpatri dalam benaknya. Sudut bibirnya berkedut karena wanita yang dia cengkeram dengan kuat, selalu memberontak.“Tidak mencarimu? Mustahil,” geramnya, kelopak matanya melebar saat melihat Sofia naik taksi sambil memegangi perutnya.Saat taksi bergerak, Galtero masuk ke dalam Jeep Grand Cherokee-nya, menyalakan mesin dan mulai menginjak pedal gas tanpa ampun. Ingin hati menyalip dan menghentikan kendaraan itu, tetapi akal sehatnya seakan berbisik untuk membiarkan Sofia sendiri. Setidaknya, Galtero akan menjaga wanita itu dan bayinya dari sini—dari jarak jauh.Taksi itu melaju menuju panti jompo. Rupanya Sofia ingin menenangkan diri, menemui Renata.Galtero memarkirkan mobilnya di luar pagar. Jeep Grand Cherokee itu diam-diam membuntuti sejak dari pertigaan jalan tadi. Mata birunya mengawasi setiap langkah Sofia yang terlihat rapuh menginjak pe
“Tidak perlu terkejut, Nona Morales. Kamu modelku, sudah seharusnya aku memahami kamu, bukan?” Suara itu terlalu datar untuk pria yang baru saja menarik tubuhnya dari kecelakaan.Sofia menelan ludah. Tidak, semua ini tidak mungkin kebetulan. Namun, dia juga tidak tahu harus bicara apa. Senyum canggung akhirnya keluar dari bibirnya. “Umm … terima kasih, Tuan Marquez.”“Bagaimana dengan kandunganmu?” Nicolas melirik perutnya tanpa sungkan.Sofia refleks mengangguk. Jujur, dalam hati, dia mulai gelisah. Batin Sofia menolak semua ini. Dia tahu Nicolas bukan orang biasa. Pria itu licik, licin, dan terlalu manipulatif untuk situasi yang baru saja terjadi.Sebelum Sofia sempat menjauhkan badan, suara berat yang amat dia kenal menggema.“Sofia!”Intonasi Galtero terdengar lantang. Aura dingin seketika menyambar.Sofia menoleh kaget dan segera melepaskan tangan Nicolas yang masih menempel di pinggulnya.Dia hendak berjalan ke arah Galtero, tetapi pria itu sudah dikuasai amarah. Mata birunya m
Pagi ini, Sofia mengerjapkan matanya dengan perlahan. Dia langsung menyentuh bibir bawahnya yang dicumbu dengan lembut oleh Galtero semalam. Tidak dipungkiri hatinya menghangat, perutnya merasa geli seakan ada kupu-kupu beterbangan. Bahkan pipinya memerah.Akan tetapi, saat melihat ke samping, Galtero sudah tidak ada. Padahal pria itu semalam memeluknya dengan sangat erat. Sekarang, seperti biasa, menghilang tanpa kabar.“Kebiasaan,” gumam Sofia, agak sinis.Dia duduk di ranjang, menunduk sebentar. Pelan-pelan senyumnya memudar.Sofia mendadak muak pada dirinya sendiri. Mengapa hatinya bisa berdebar karena pria yang diam-diam ingin dia jebak? Rasa hangat itu datang menjengkelkan, dan lebih parah lagi, belakangan ini dia merindukannya.Sofia meragu. Dia tidak tahu mana yang lebih menyesakkan, perasaan hangat dari pelukannya semalam atau fakta bahwa dia sedang menyimpan kebohongan yang bisa menghancurkan kepercayaan Galtero sepenuhnya. Dia mengambil pisau cukur. Bahkan sudah punya ren
Isabel duduk di kursi kerjanya. Dia melirik rekan-rekannya yang baru saja datang. Mereka menyapanya dengan sungkan, tahu betul siapa yang duduk di meja paling depan itu—staf teristimewa, yang tak bisa disentuh atau diganggu.Keangkuhan membuatnya lupa bahwa hormat tak bisa dibeli. Sementara, pikirannya masih tenggelam dalam kata-kata Nicolas semalam."Benar. Bayimu tidak boleh lahir, Sofia," gumamnya pelan, bibirnya menekan geraham yang mengeras.Dia tahu Galtero mungkin tak akan meninggalkan wanita itu, sama seperti dirinya yang tak pernah bisa. Namun,i jika anak itu benar-benar lahir, maka ikatan mereka akan makin kuat. Sebaliknya, kalau Sofia jatuh karena keputusan Galtero sendir i... maka Isabel tidak perlu menyentuhnya sekalipun.Kekalahannya menyakitkan. Bahkan hak asuh Carlitos pun sudah lepas dari tangannya. Isabel mengepalkan tangan di atas pahanya yang masih pegal. Untuk mencari sekutu, dia harus menukar harga diri dan tubuhnya demi nafsu busuk Nicolas. Sekutu iblis.Lamuna