Teman Teman pembaca gimana kabarnya? masihkah ada yang setia sampai bab 152? Makasih bnyak ya, sehat selalu Teman Teman ^^
Pemberitahuan itu masuk melalui email. Sepasang mata biru menatap layar ponsel dengan tajam. Ia sampai mengabaikan para tamu yang ada di sekitarnya.“Pembayaran Torres Memorial Hospital?” gumam Nicolas. Ia menarik napas, pikirannya jelas tertuju pada Sofia. “Apa dia sakit?” katanya lagi.Meskipun tubuhnya terlihat hadir di mansion Manassero, tetap saja pikirannya terbelah antara Sofia dan asisten cantiknya yang sampai sekarang tak juga ia temui.Ia mengedik pada anak buahnya yang berdiri dekat dinding, mengawasi acara sakral dua keluarga besar berpengaruh agar terlaksana dengan lancar.Lelaki berpakaian formal dengan alat komunikasi lengkap itu mendekat, setengah membungkuk di samping Nicolas.“Siapkan izin terbang ke Barcelona malam ini.” Dada Nicolas membusung, napasnya sempat tertahan.“Baik, Tuan.” Pengawalnya beranjak sambil menghubungi seseorang.Jemari Nicolas mengetuk-ngetuk lengan kursi. Ia menatap setiap anggota keluarganya yang begitu gembira dengan pertunangan ini. Ia muak
“A–apa … ponselku? U–untuk apa?” Bagaimanapun ia menutupi, ternyata akan ketahuan juga. Keringat mengalir deras di sepanjang tulang punggungnya. Rongga dadanya seolah menyempit. Bagaimana ini? batinnya gelisah.Telepon genggamnya terus berdering mendesak untuk diterima. Sedangkan tangan Galtero makin terulur, mendekati saku gaun Sofia.“Mana?” Suara Galtero dingin dan mengintimidasi.Sofia menelan ludah. “Biasanya kamu tidak begini, kenapa sekarang—”“Berikan padaku sebelum aku katakan kesalahanmu.” Ucapan pria itu membuat napas Sofia terputus. Jangan-jangan suaminya ini tahu apa yang ia lakukan?Dengan bibir gemetaran, Sofia berusaha menjelaskan. “Umm … Gal … sebenarnya itu … aku hanya—”Dalam sekejap Galtero merebut benda pipih dari saku gaun. Sofia memelotot, jantungnya seakan merosot ke lambung. Gerakan suaminya sangat cepat, sampai ia tak sempat menangkisnya.Sofia memeluk perutnya erat-erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau. Tatapan Galtero menusuk, seolah hendak
Dada Sofia kembang kempis dengan cepat. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuhnya berjengit tatkala pintu kamar ditutup kencang oleh pria itu.Ia memejamkan mata beberapa saat mencoba berpikir jernih. Hanya Nicolas yang terlintas dalam benaknya, tetapi pria itu jauh tidak mungkin juga bisa membantunya dalam waktu cepat.Tangannya menggulir layar ponsel hingga suara Carlitos yang merdu mengalihkan pikirannya.“Aku main sendirian saja. Aku sudah besar.” Anak itu bicara pada Mathilda yang terkekeh pelan.“Baiklah. Tuan Muda bisa panggil aku kalau butuh sesuatu.”“Namaku Carlitos. Jangan panggil Tuan Muda.” Bibir kecilnya bergerak maju.Seketika ide brilian terlintas di benak ibu hamil itu. Ia mendekati mereka. Lalu mengusap pucuk kepala Carlitos dengan lembut.“Wah, kamu sudah besar, ya? Umm … boleh Bibi bicara berdua dengan Mathilda?” Suara Sofia mengalun halus, meskipun dadanya berdentam tak karuan dan telapak tangannya berkeringat.“Tentu, boleh. Aku main dulu, ya.” Carlitos gegas ber
Satu bulan berlalu. [Breaking News panas di Madrid! Kepala keluarga sekaligus pewaris keluarga Marquez, Nicolas Marquez, akhirnya resmi mengumumkan pertunangannya dengan cucu keluarga Manassero.] Suara penyiar wanita bergema di layar ponsel disertai potongan gambar Nicolas berdiri tegap dengan jas hitam. Pria itu baru saja keluar dari mobilnya. Lalu ada video lain yang menunjukkan tangannya menggenggam jemari seorang wanita muda bergaun putih. Blitz kamera berkilat-kilat, sorak-sorai jurnalis memekakkan telinga. [Acara yang digelar tertutup di mansion Manassero ini sontak menjadi sorotan media, mengingat reputasi Nicolas yang dikenal sebagai sosok sulit dijinakkan. Banyak pihak tak menyangka ia akhirnya mengikat janji serius.] Layar menampilkan close-up cincin berlian berkilau di jari manis sang tunangan, lalu wajah datar Nicolas yang menahan senyum tipis. Di depan lay
“Mi Amor!” Galtero langsung menahan tubuh istrinya yang melipat kesakitan. Tangannya panik menyentuh perut Sofia yang sedikit menegang. “Apa ini kontraksi? Jangan bilang ….” Suaranya terputus dan napasnya memburu. Sofia menggigit bibir, keringat dingin membasahi pelipisnya. Perut bawahnya memang mengeras tidak seperti biasanya. “Aku tidak tahu … rasanya seperti diremas,” cicitnya. Mata Sofia mulai berkaca-kaca. Bahkan kepalanya seperti berdenyut. “Diam, jangan bergerak!” Galtero menyeka keringat di kening Sofia. Lalu ia berteriak pada sopir, “Cepat ke rumah sakit sekarang!” Tangannya terus menggenggam perut Sofia, seolah itu bisa melindungi janin yang sedang memberontak di dalam rahim wanitanya. Sorot mata birunya menajam, dengan suara gemetar ia berkata lirih, “Bertahan, Mi Amor. Aku tidak akan biarkan siapa pun, bahkan tubuhmu sendiri, melawan anak kita.” Apa pun akan ia lakukan demi buah cintanya. Galtero memejam sesaat, menyesali momen panas mereka barusan yang pada ak
Isela meremas tangannya sendiri sampai buku jarinya memutih. Dadanya begitu sesak dan panas. Sikap pria di hadapannya begitu manis pada wanita yang berdiri di sampingnya, sambil bergelayut manja.Ia menelan ludah. Sebagai wanita tentu ingin disayangi, dihargai, dan dilindungi. Seharusnya ia juga tahu sejak awal Nicolas tak akan pernah bisa memberikan sesuatu yang dibutuhkan wanita. Isela menghela napas berat.Baru saat ia hendak memutar badan, dan kesulitan karena trolinya penuh, suara wanita dan pria yang tidaklah asing itu terdengar.“Kamu … Isela?”Isela ingin menghindar, tetapi terlambat. Akhirnya ia menoleh dan tersenyum kecil.“Nyonya Sofia, Tuan Muda Torres.” Isela mengangguk sopan, matanya sempat melirik rangkulan tangan Galtero di pinggang Sofia.“Kebetulan sekali. Umm ….” Sofia tak meneruskan ucapannya. Ia melirik suaminya yang tampak tak acuh. “Kasihan dia. Trolinya berat.” Ia menyenggol pelan pinggang pria itu.Galtero hanya merespons datar. “Hm.”Pria itu menoleh ke belak