dukungannya Teman-Teman untuk pasangan ini. terima kasih . ^^ apa reaksi Galtero kalau tau yang sebenarnya? huhuhu
Pintu kamar mandi yang tertutup dan aroma keringat Isabel membuat Sofia sesak.“Jawab aku, Sofia!” desis Isabel, mempererat cengkeraman pada lengan Sofia hingga hampir memutih. Tubuh Sofia gemetaran sesaat, ingin menjerit, tetapi dia menahan diri. Wajahnya tampak pucat karena muak.“Jawab!” tuntut Isabel.“Lepas.” Perlahan, Sofia menoleh ke lengannya, lalu tatapannya naik ke wajah Isabel yang tampak garang. Bisa saja dia menjerit, tetapi untuk apa memberi kemenangan pada wanita itu? Sofia menepis tangan itu dengan tenang, lalu mencuci wajahnya di wastafel.“Jadi benar kamu hamil?!” ulang Isabel, embusan napasnya memburu Selesai mengeringkan wajah, barulah Sofia membalas dengan suara datar, “Apa kamu selalu sefrontal ini pada semua perempuan yang pernah tidur dengan Galtero? Atau ….” Dia menjeda ucapannya, lalu maju selangkah. “Hanya padaku karena kamu takut?” Tangan Isabel mengepal kuat dan tubuhnya gemetaran. Namun, wanita itu masih berani mengangkat kepala.“Kami memiliki anak,
Sofia menoleh pada Galtero yang membelai luka di jarinya dengan pelan. Namun, tatapan pria itu tertuju tajam padanya, seolah menguliti isi pikirannya.Sofia menelan ludah saat Galtero mengecup dalam luka itu dan pandangan mereka masih terpaut sangat pekat. Ini jelas mengerikan. Luka sekecil itu, bagi Galtero lebih dari sekadar sayatan, tetapi pemberontakan. Jantung Sofia berdentam kuat bukan karena suka dengan sikap suaminya, melainkan otak dan hatinya sibuk merangkai alibi yang masuk akal agar pria itu percaya. Dia yakin, satu kata saja salah terucap, entah apa yang akan terjadi dengan hidup sialnya ini.“Katakan, siapa yang berani melukaimu!” tuntut Galtero, suaranya dalam dan menekan. Dia menarik pinggang Sofia dengan pelan bagai hewan buas yang sedang bersandiwara agar mangsanya luluh.Tidak. Sofia bukan luluh, justru bergidik ngeri. Pria itu memiliki temperamen yang buruk, suasana hatinya sulit diterka, meskipun mereka sudah tinggal di bawah atap yang sama.“Bagaimana kalau aku
Tangan wanita itu tidak lagi diam di atas perut liat Galtero. Menyusup ke tubuh kekar seolah tahu betul bagaimana membakar hasrat pria itu dengan mudah. Aroma parfum yang familiar menyeruak memenuhi indera penciuman. “Aku merindukanmu,” bisik suara mendayu manja dari balik punggung. Dalam satu gerakan cepat, Galtero membalikkan tubuh, mendorong wanita itu hingga jatuh terduduk di sofa. Mata mereka bertaut, begitu panas dan tajam. “Kenapa datang ke sini?” Suara Galtero terdengar dingin dan tegas. “Di mana Carlitos?” “Kami membutuhkanmu, Galtero. Carlitos mencarimu,” ucap wanita itu dengan wajah berubah sendu. Namun, jemari nakalnya masih sempat menyusuri dada bidang Galtero, mencoba mengulang percikan yang dulu pernah mereka rajut. “Dia jatuh dari tangga,” lanjut Isabel, kali ini air mata benar-benar mengalir di pipinya. “Dia ingin kamu di rumah sakit. Sebagai papanya.” Galtero terdiam. Tangannya mengepal dan pandangannya lurus ke dinding, pada retakan di sudut yang dia b
Sofia terus memandangi suaminya yang menjengkelkan itu. Bukan karena terpesona pada penampilan Galtero mengenakan celana jeans hitam panjang dan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku. Semua kancing dibiarkan terbuka, memamerkan dada bidang dan perutnya yang liat.Oh … sungguh keterlaluan!Kenapa dia justru memperhatikan sedetail itu? Sofia mengepalkan tangan dan menghunuskan tatapan tajam.Galtero berdiri santai, tangan di saku celana, dagu terangkat, dan hanya menaikkan sebelah alis saat Sofia menggantung ucapannya."Jangan-jangan Tuan Muda Kedua Torres ... kamu bekerja untuknya?" bisik Sofia di akhir kalimat, buru-buru menutup mulutnya. Pantas saja suaminya itu bisa membeli rumah besar dan mobil mewah. Ternyata ….Galtero hanya menatap tanpa menjawab. Bibirnya berkedut seolah mengejek, dan Sofia bagai sedang bicara pada tembok. Kalau bisa dia ingin menampar wajah tampan itu yang tanpa ekspresi. Namun
“Apa aku tidak salah baca, Tuan?” Sofia menggenggam map itu erat-erat. Napasnya tercekat dan pandangan mulai memburam. Dia buru-buru menyeka sudut matanya sebelum air bening jatuh dan membasahi kertas penting dalam tangannya. “Tidak,” jawab Direktur Jose, duduk agak jauh darinya, tetapi pandangannya tetap mengamati Sofia dengan serius. “Tapi ... kenapa aku yang menerima ini, Tuan?” Tatapannya kembali turun, membaca ulang setiap kata yang tercetak jelas di atas kertas. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan membuncah di dadanya. “Kamu beruntung mendapat kontrak eksklusif Torres Lumière. Bahkan para seniormu belum pernah mendapat kesempatan ini. Baru kamu, Sofia.” Jose tersenyum, bangga. Tidak pernah terlintas di benak Sofia bahwa akan mendapat kesempatan sebesar ini. Menjadi model eksklusif untuk brand nomor satu itu seperti mimpi. Dulu, setiap kali melihat model-model Torres Lumière di kantor, rasa iri menyelusup diam-diam. Mereka semua tampak sempurna, sedangkan dia hanya bisa be
"Itu cucuku, kamu tunggu di sini sebentar." Abuela segera bangkit dan melangkah ke depan.Rasa penasaran Sofia melambung tinggi. Dia memberanikan diri mengintip melalui pilar besar yang mampu menyembunyikan tubuhnya.Sosok itu berdiri dengan punggung membelakangi arah pandangnya, membuat Sofia tidak dapat melihat wajah cucu Abuela. Namun, dari caranya berdiri tegak, kaku, dan penuh tekanan, dia merasa seperti mengenali postur itu.‘Tidak mungkin. Bukan dia, ‘kan?’ batin Sofia, sambil tetap mencuri dengar percakapan mereka.Dia ingin memastikan apa dugaannya benar. Itu saja."Usir perempuan itu!" Suara familiar kembali terdengar, kali ini Sofia menahan napas karena bertanya-tanya siapa perempuan yang dimaksud pria itu."Kenapa diusir? Dia bantu aku. Kalau tidak ada dia, aku pasti di penjara karena tidak bayar makan." Intonasi Abuela meninggi. "Pergilah kamu dari sini, dasar cucu nakal.""Dia pura-pura baik, karena mengincar uangmu!" Suara menyebalkan itu kembali berdengung, kali ini me