“Tidak perlu terkejut, Nona Morales. Kamu modelku, sudah seharusnya aku memahami kamu, bukan?” Suara itu terlalu datar untuk pria yang baru saja menarik tubuhnya dari kecelakaan.Sofia menelan ludah. Tidak, semua ini tidak mungkin kebetulan. Namun, dia juga tidak tahu harus bicara apa. Senyum canggung akhirnya keluar dari bibirnya. “Umm … terima kasih, Tuan Marquez.”“Bagaimana dengan kandunganmu?” Nicolas melirik perutnya tanpa sungkan.Sofia refleks mengangguk. Jujur, dalam hati, dia mulai gelisah. Batin Sofia menolak semua ini. Dia tahu Nicolas bukan orang biasa. Pria itu licik, licin, dan terlalu manipulatif untuk situasi yang baru saja terjadi.Sebelum Sofia sempat menjauhkan badan, suara berat yang amat dia kenal menggema.“Sofia!”Intonasi Galtero terdengar lantang. Aura dingin seketika menyambar.Sofia menoleh kaget dan segera melepaskan tangan Nicolas yang masih menempel di pinggulnya.Dia hendak berjalan ke arah Galtero, tetapi pria itu sudah dikuasai amarah. Mata birunya m
Pagi ini, Sofia mengerjapkan matanya dengan perlahan. Dia langsung menyentuh bibir bawahnya yang dicumbu dengan lembut oleh Galtero semalam. Tidak dipungkiri hatinya menghangat, perutnya merasa geli seakan ada kupu-kupu beterbangan. Bahkan pipinya memerah.Akan tetapi, saat melihat ke samping, Galtero sudah tidak ada. Padahal pria itu semalam memeluknya dengan sangat erat. Sekarang, seperti biasa, menghilang tanpa kabar.“Kebiasaan,” gumam Sofia, agak sinis.Dia duduk di ranjang, menunduk sebentar. Pelan-pelan senyumnya memudar.Sofia mendadak muak pada dirinya sendiri. Mengapa hatinya bisa berdebar karena pria yang diam-diam ingin dia jebak? Rasa hangat itu datang menjengkelkan, dan lebih parah lagi, belakangan ini dia merindukannya.Sofia meragu. Dia tidak tahu mana yang lebih menyesakkan, perasaan hangat dari pelukannya semalam atau fakta bahwa dia sedang menyimpan kebohongan yang bisa menghancurkan kepercayaan Galtero sepenuhnya. Dia mengambil pisau cukur. Bahkan sudah punya ren
Isabel duduk di kursi kerjanya. Dia melirik rekan-rekannya yang baru saja datang. Mereka menyapanya dengan sungkan, tahu betul siapa yang duduk di meja paling depan itu—staf teristimewa, yang tak bisa disentuh atau diganggu.Keangkuhan membuatnya lupa bahwa hormat tak bisa dibeli. Sementara, pikirannya masih tenggelam dalam kata-kata Nicolas semalam."Benar. Bayimu tidak boleh lahir, Sofia," gumamnya pelan, bibirnya menekan geraham yang mengeras.Dia tahu Galtero mungkin tak akan meninggalkan wanita itu, sama seperti dirinya yang tak pernah bisa. Namun,i jika anak itu benar-benar lahir, maka ikatan mereka akan makin kuat. Sebaliknya, kalau Sofia jatuh karena keputusan Galtero sendir i... maka Isabel tidak perlu menyentuhnya sekalipun.Kekalahannya menyakitkan. Bahkan hak asuh Carlitos pun sudah lepas dari tangannya. Isabel mengepalkan tangan di atas pahanya yang masih pegal. Untuk mencari sekutu, dia harus menukar harga diri dan tubuhnya demi nafsu busuk Nicolas. Sekutu iblis.Lamuna
Setelah percakapan menakutkannya bersama Galtero, Sofia melangkah ragu ke kamar Carlitos. Ternyata anak itu sudah tertidur sambil memeluk bantal, tubuh kecilnya tidak menggunakan selimut. Mungkin gerah.Sofia mengatur suhu agar Carlitos nyaman. Dia menyelimutinya sebatas pinggang, lalu berdiri memandangi wajah polos anak itu.‘Apa kamu siap berbagi ayah? Di perutku ada adikmu,’ batinnya lirih. Dia hendak membelai rambut Carlitos, tetapi anak itu menggeliat kecil. Sofia mengurungkan niatnya. “Mimpi indah, Carlitos.”Dia pun masuk ke kamarnya. Menemukan Galtero baru saja selesai berbincang di telepon—entah dengan siapa. Mungkin sang mantan.Sofia menggembungkan pipi, darahnya berdesir panas, dada terasa sesak. ‘Ini pasti pengaruh bayi,’ pikirnya sambil melirik perut.Galtero mendekat. Pria itu langsung membelai perut sang istri. Meskipun garis wajahnya datar, sentuhannya terasa … hangat.Apa hormon kehamilan seperti ini? Apa bakal janin ini ingin dekat dengan ayahnya? Sofia menunduk. Ap
Sofia menyentuh tengkuknya yang berkeringat. Dia merasa merinding melihat wajah pria tambun itu, padahal ini pertengahan musim panas. Matahari sedang terik. Dia bukan takut pada Alonso, melainkan pada apa yang akan disampaikan. Tidak tahu kenapa, Sofia merasa ini ada hubungan dengannya. Alonso sempat menatap ke arahnya sejenak, lalu merangkul bahu Galtero dan mereka berbicara dengan suara pelan di tengah kebun anggur yang luas itu. Sofia tidak bisa mendengar perbincangan itu, hanya embus angin dan gemericik dedaunan yang sampai di telinganya. Sementara itu, Galtero merasa ini informasi penting. Alonso tidak mungkin repot mencarinya ke Costa Brava jika itu hanya urusan pekerjaan biasa. "Ada apa, Paman?" Alonso menahan napas sejenak, sebelum berbisik sangat hati-hati, "Tuan Nicolas Marquez ada di Costa Brava. Beberapa hari ini dia juga menginap di Barcelona." Darah Galtero seketika mendidih mendengarnya. Cuaca panas makin membakar energi amarah dari dalam raganya. Dia menoleh pada
“Mau ke mana?” Pria bertubuh tinggi dengan kaus hitam pekat seperti malam hari itu makin mendekat. Mata birunya bersinar di bawah cahaya bulan. Sofia merinding dibuatnya, dia sampai menahan napas. Refleks memegangi perutnya. “Apa Tuan Torres menahanmu, Nona Morales?” Suara itu terdengar dingin dan menyesakkan. “Kamu terlambat 30 detik.” Sofia menggeleng.“Maaf, saya terlambat, Tuan Marquez.” Nicolas tersenyum sinis. Lalu menggerakkan tangannya, mempersilakan Sofia berjalan di depan. Saat memasuki bangunan vila yang tidak terlalu besar itu, Sofia merasa ini sama sekali tidak cocok dikatakan milik seorang Tuan Muda. Namun, untuk apa dia mempertanyakannya? Nicolas mempersilakan Sofia untuk duduk di sofa besar biru tua. Pria itu menyodorkan segelas anggur. Refleks Sofia menjauh dan menatap Nicolas dengan bingung. Lagi-lagi dia melihat pria itu sedikit berbeda, ada sebuah rasa yang sulit dijelaskan. “Maaf, tapi … saya tidak bisa minum,” tolaknya lemah lembut. Tawa mengejek mengge