LOGINRuangan itu kembali bergerak setelah keterkejutan membeku beberapa detik. Midas sudah lebih dulu melangkah, seolah dunia di sekitarnya tak lagi bersuara. Tangannya bekerja cepat dan presisi, seperti mesin yang diciptakan hanya untuk satu tujuan.“Pasien satu, tekanan turun. Siapkan akses vena besar,” perintahnya tenang.Brian tersentak, lalu bergerak. Mita meraih infus tanpa diminta. “Angka menembus normal.” Brian menyebutkan angka monitor dengan suara bergetar namun terkontrol. Tak satupun bertanya lagi. Tidak ada keraguan. Semua mengikuti Midas.Ia menyuntikkan ramuan bening itu dalam dosis lebih besar dari sebelumnya. Cairan mengalir masuk ke tubuh pasien pertama. Monitor bergetar, lalu perlahan stabil. Napas yang semula tersengal mulai teratur. Warna kebiruan di bibir memudar.“Berikutnya,” ucap Midas singkat.Ia berpindah ke ranjang kedua, memeriksa pupil, refleks, lalu menyuntikkan ramuan dengan sudut sempurna. Tidak ada tangan yang gemetar. Tidak ada keraguan. Hanya fokus ding
Jian menjerit, suaranya pecah oleh ketakutan dan tekad. “Jangan berikan, Midas! Jangan!” Air mata mengalir, namun matanya menatap tajam, seolah memohon agar Midas tetap berdiri di sisi kebenaran.Mita menggenggam lengan Midas. “Jangan percaya padanya. Ini perangkap.”Clara mengangguk tegas. “Jika ramuan itu jatuh ke tangan mereka, semuanya berakhir.”Alma melangkah maju satu langkah. Wajahnya dingin, tak bergetar. “Aku sudah bilang. Berikan sekarang.” Tangannya terulur, mantap, tanpa ragu. “Atau dia mati.”Midas menahan napas. Detik terasa memanjang. Di sekeliling, mesin monitor berdenting cepat, pasien-pasien masih bertarung dengan hidupnya. Ramuan bening di tangan Midas berkilau di bawah lampu neon, harapan dan kehancuran dalam satu botol.Jian menggeleng keras. “Tolong… jangan.”Alma menoleh singkat, lalu berkata datar, “Tembak kakinya.”Semua membeku.Letusan terdengar keras, memekakkan. Jian tersentak dan jatuh, tubuhnya menghantam lantai dengan bunyi berat. Jerit terputus menjad
Clara melangkah mendekat, menahan bahu Midas yang tegang. “Tenang,” ucapnya pelan namun tegas. “Tamrin tidak akan lolos. Aku akan mengurusnya. Aku punya cara.”Midas tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke dinding, pikirannya berputar cepat. Di luar sana, namanya sedang dicabik-cabik. Tuduhan Tamrin seperti racun yang menyebar lebih cepat dari virus itu sendiri. Licik. Kejam. Terencana.Namun di sela kekacauan itu, suara Mita terngiang jelas di kepalanya, tenang, jujur, penuh keyakinan. Jika ingin membersihkan lumpur, ikuti orang yang melemparkannya. Midas harus mengikuti Tamrin untuk mencari bukti.Midas menarik napas panjang. Amarahnya mereda, digantikan fokus yang dingin. “Aku tidak akan bersembunyi,” katanya akhirnya. “Jika Tamrin ingin bermain kotor, aku akan mengikutinya sampai ke akar.”Clara menatapnya, lalu mengangguk. Ia tahu sorot itu. Bukan keputusasaan, melainkan awal perlawanan.Dua suster menerobos masuk dengan wajah pucat. “Dokter… pasien kejang. Busa keluar dari mul
Alma terkejut ketika pergelangan tangannya ditarik keras. Tubuhnya terseret ke lorong sempit, lalu masuk ke sebuah kamar kosong yang lampunya redup. Pintu dibanting. Suaranya menggema menyesakkan.“APA YANG KAU LAKUKAN?!” Brian berteriak, matanya merah, napasnya memburu. Wajahnya yang biasanya penuh ejekan kini hancur oleh amarah dan ketakutan. “Ibuku kemaren hampir sekarat! Dan kau masih berani berdiri di depan kamera!”Alma mencoba melepaskan diri. “Aku tidak—”“DIAM!” potong Brian kasar. “Aku tahu sekarang. Ada yang sengaja menularkan penyakit itu. Dan semua jejaknya mengarah ke permainan kotor kalian!”Alma mundur selangkah, punggungnya membentur dinding. “Aku hanya melakukan yang diperintahkan—”“Perintah?” Brian tertawa pahit. “Jadi ibuku cuma pion? Pasien-pasien itu cuma properti panggungmu?”Alma menutup telinga, suaranya pecah. “Aku tidak punya pilihan!”Brian mendekat, suaranya bergetar oleh amarah yang nyaris berubah menjadi tangis. “Setiap pilihan ada harganya. Dan kau mem
Alma berdiri di tengah ruang isolasi dengan napas terengah, matanya menatap pasien-pasien yang kini semakin kritis. Monitor berbunyi tak beraturan, angka-angka turun perlahan namun pasti. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Ini tidak seperti yang dijanjikan.Tamrin mondar-mandir dengan wajah tegang. “Kita tidak bisa mengusir mereka,” bentaknya pada tim medis. “Kalau pasien-pasien ini dikeluarkan, reputasi rumah sakit hancur. Wartawan masih menunggu di luar!”Tomi menekan pelipisnya, berusaha tampak tenang. “Mereka menuntut hasil,” katanya rendah pada Alma. “Kau bilang ramuan itu bekerja.”Alma menggenggam sarung tangannya. Tangannya sedikit bergetar. Ia mengangguk kaku. “Aku… aku sedang mencoba menstabilkan. Ini hanya reaksi awal.”Namun monitor kembali berbunyi nyaring. Salah satu pasien kejang, nafasnya tersengal hebat. Perawat menjerit meminta bantuan. Alma bergerak cepat, menyuntikkan cairan yang sama, berharap keajaiban terjadi lagi.Tidak terjadi apa-apa.“Kenapa tidak bekerja
Midas menatap layar yang kini gelap dengan rahang mengeras. Dadanya naik turun perlahan, bukan karena panik, melainkan karena amarah yang ditahan rapat. Ia tidak percaya atau lebih tepatnya, menolak percaya bahwa Clara bisa dipaksa sejauh itu. Clara yang selalu berdiri di garis depan. Clara yang berani. Namun ancaman Tamrin dan Tomi ternyata lebih kejam dari yang ia perkirakan.“Dia tidak punya pilihan,” gumam Midas dingin.Ardi mengangguk pahit. “Tamrin menekan lewat dewan. Tomi… lewat hal-hal kotor yang tidak bisa dibuka ke publik.”Di layar lain, potongan video beredar cepat. Alma terlihat berdiri di samping Tamrin, tubuhnya tegak, wajahnya tenang, bahkanterlalu tenang. Luka dan kelemahan yang dulu membuatnya terbaring kini seolah tak pernah ada. Namun Midas melihatnya jelas, tatapan Alma tidak hidup. Senyum itu bukan miliknya.Ia tahu kebenarannya. Alma tidak bergerak sendiri.Orang-orang ayahnya berdiri di luar bingkai kamera, bayangan yang mengendalikan setiap langkah. Mereka me







