Beranda / Romansa / Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK / Bab 15: Gaun Merah dan Kebohongan Putih

Share

Bab 15: Gaun Merah dan Kebohongan Putih

Penulis: Tinta Senyap
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-13 15:33:52

​Jam dinding di kamar kontrakan menunjukkan pukul setengah empat sore. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan bias oranye yang masuk melalui celah jendela, menerangi gaun merah marun yang tergeletak di atas kasur busa Soraya.

​Gaun itu indah. Terbuat dari bahan satin sutra yang jatuh dengan lembut, dengan potongan leher rendah dan belahan paha yang cukup tinggi. Ada label harga yang baru saja digunting Soraya, angka yang setara dengan biaya makan dia dan ibunya selama dua bulan.

​Itu adalah "seragam dinas" pilihannya untuk sore ini. Permintaan khusus sang Tuan Besar.

​Soraya berdiri di depan cermin lemari yang retak di sudut. Dia baru saja selesai memoles make-up. Bukan make-up tipis ala mahasiswi yang biasa dia pakai ke kampus, tapi make-up yang lebih berani. Lipstik merah bata, eyeliner tajam, dan sedikit shading untuk menonjolkan tulang pipinya.

​Dia menatap pantulan dirinya. Cantik. Sangat cantik. Tapi asing.

​"Ini bukan aku," bisiknya pada cermin. "Ini boneka mereka.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 24: Kerikil Tajam di Jalan Mendaki

    ​Alarm di ponsel Soraya bergetar tepat pukul 04.45 pagi. ​Tidak ada tombol snooze. Soraya langsung melompat turun dari kasur seolah ada pegas yang melontarkannya. Jantungnya berpacu, bukan karena semangat pagi, tapi karena takut. Di rumah ini, keterlambatan satu detik adalah dosa besar. ​Dia membasuh wajahnya dengan air keran yang sedingin es, membuat matanya yang masih lengket langsung terbuka lebar. Dia mengenakan setelan training panjang yang dia bawa, satu-satunya pakaian sporty yang dia miliki lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi. ​Saat dia membuka pintu kamar tamu dan melangkah ke teras depan, kabut masih sangat tebal. Jarak pandang tidak lebih dari lima meter. Udara Puncak yang menusuk tulang langsung menembus jaket tipisnya. ​Dosen Brata sudah ada di sana. ​Dia sedang melakukan peregangan di halaman rumput yang basah oleh embun. Dia mengenakan kaos lari lengan panjang ketat yang memperlihatkan postur tubuhnya yang tegap dan celana lari hitam. Sepatu larinya terlihat

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 23: Sup Hangat di Meja Dingin

    ​Air dingin membasuh wajah Soraya, melunturkan sisa-sisa bedak tebal dan lipstik merah yang tadi menjadi topengnya. Di wastafel porselen putih itu, air keruh berwarna kecokelatan mengalir berputar menuju lubang pembuangan, membawa serta citra "wanita penggoda" yang dipaksakan Brata. ​Soraya mengangkat wajahnya, menatap cermin. ​Wajah aslinya terlihat pucat. Ada lingkar hitam di bawah mata yang tidak bisa disembunyikan lagi. Tanpa make-up, dia terlihat jauh lebih muda, lebih rapuh, dan... lebih polos. Seperti anak SMA yang tersesat di dunia orang dewasa. ​Dia sudah mengganti gaun satin merah itu dengan setelan piyama panjang berbahan katun motif kotak-kotak. Baju yang sangat biasa, tidak seksi, bahkan cenderung kedodoran. Tapi anehnya, Soraya merasa lebih telanjang sekarang daripada saat memakai gaun itu. Karena sekarang, tidak ada lagi lapisan kepalsuan yang melindunginya. ​"Udah, Soraya. Jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak," bisiknya menguatkan diri. ​Dia menghela n

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 22: Rumus di Balik Sutra Merah

    ​Di dalam kamar mandi lantai dua yang mewah, Soraya menatap pantulan dirinya di cermin besar. Gaun satin merah marun itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk pinggang dan pinggulnya, serta mengekspos sebagian besar dada dan punggung mulusnya. ​Kemarin sore, saat dia memakai gaun ini untuk Subagyo, dia merasa seperti wanita panggilan kelas atas. Mahal, diinginkan, dan berharga. Tapi hari ini, di bawah lampu neon kamar mandi vila yang dingin, dia merasa seperti badut. ​"Buat apa..." bisiknya pada bayangan di cermin. "Buat apa ngerjain soal statistik pake baju ginian?" ​Air matanya sudah kering. Yang tersisa hanya rasa lelah yang amat sangat. Pesan Gilang tentang pembakaran foto tadi masih membekas perih di ulu hati, tapi dia harus menyingkirkannya dulu. Di rumah ini, perasaan tidak ada gunanya. Yang berguna hanya logika dan kepatuhan. ​Soraya merapikan rambutnya, membiarkannya tergerai di bahu untuk menutupi sedikit kulitnya yang terekspos. Dia menarik napas panj

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   Bab 21: ​Pelajaran di Balik Kabut

    ​Kabut tebal menyelimuti hutan pinus di luar jendela, membuat dunia seolah tenggelam dalam warna putih susu yang dingin. Di dalam kamar utama vila yang asing, Soraya terbangun dengan sentakan hebat. Napasnya memburu, dan peluh dingin membasahi keningnya. ​Ia baru saja terjebak dalam mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Dalam mimpinya, ia berdiri di podium wisuda dengan toga kebanggaan. Ibunya datang membawa bunga dengan senyum tulus, namun saat Soraya menoleh ke arah para pimpinan kampus, wajah-wajah itu berubah. Rektornya adalah Subagyo, Dekannya adalah Rian, dan pria yang memindahkan tali toganya adalah Brata. Mereka semua tertawa, menunjuk ke arah tas branded dan ponsel mahal yang ia genggam, seolah benda-benda itu adalah noda yang tak bisa dihapus. ​Soraya mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir sisa mimpi itu. Ia melirik sisi ranjang di sebelahnya. Kosong. Sprei di sana sudah tertata sangat rapi, seolah tidak pernah disentuh. Brata sudah bangun lebih awal. ​"Ya Tuhan..." bi

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   Bab 20: Ruang Steril dan Dingin

    ​Lantai kayu di lorong lantai dua berderit pelan di bawah langkah kaki Soraya yang berat. Di tangannya, penggaris kayu itu terasa dingin dan licin karena keringat dingin yang terus mengucur. Di depannya, punggung tegap Dosen Brata bergerak stabil, tanpa keraguan, memimpin jalan menuju ruang yang terasa seperti akhir dari segalanya. ​Kamar utama vila itu terbuka lebar. Brata menyalakan lampu tidur di sisi ranjang yang memancarkan cahaya remang kekuningan. ​"Masuk," perintah Brata tanpa menoleh. ​Soraya melangkah masuk dengan ragu. Kamar itu beraroma kayu tua dan pinus yang maskulin. Ranjang king size dengan sprei abu-abu tua tampak begitu kaku dan rapi, tanpa kerutan. Tidak ada televisi, tidak ada lukisan, tidak ada kehangatan. Kamar ini seperti ruang operasi: steril dan dingin. ​"Tutup pintunya," suara Brata memecah keheningan. Ia melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja nakas. ​Soraya menutup pintu. Suara klik kunci terdengar seperti dentang lonceng kematian di telinganya

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 19: Hukuman Sang Eksekutor

    ​Hujan mulai turun di luar, mengetuk-ngetuk jendela kaca vila yang tinggi dengan irama monoton. Di dalam ruangan yang luas dan berlantai marmer itu, suara hujan kalah dominan dibandingkan suara gemetar Soraya yang sedang membacakan paragraf ketiga halaman 45. ​"...Hipotesis alternatif adalah pernyataan yang akan diterima jika data sampel memberikan cukup bukti bahwa hipotesis nol adalah salah..." ​Soraya berhenti sejenak untuk mengambil napas. Tenggorokannya kering kerontang. Sudah satu jam dia berdiri di posisi yang sama, membacakan diktat tebal itu seperti anak SD yang sedang dihukum guru. Kakinya mulai pegal karena memakai heels—Brata melarangnya melepas sepatu meski sudah di dalam rumah. ​"Terus," perintah Brata dari balik mejanya. Dia tidak melihat Soraya. Matanya terpejam, kepalanya bersandar di kursi kulit yang besar, seolah sedang mendengarkan musik klasik, padahal dia sedang mendengarkan teori statistik. ​"B-baik, Pak," Soraya menelan ludah, mencoba membasahi kerongkongan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status