
Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK
Raya (19) adalah mahasiswi dengan kecantikan bidadari dan IPK 4.0 sempurna. Tapi semua itu palsu. Dia adalah "Putri Cendana" yang jatuh miskin setelah ayahnya (Faisal) wafat karena kanker.
Kini, Raya punya "beasiswa" khusus, demi membiayai kuliah, ibunya (Wati) yang hanya buruh cuci, dan adiknya (Dimas). Beasiswa itu dia dapatkan dari "sentuhan" para dosennya.
Mangsanya eksklusif: Pak Rian yang manipulatif, Pak Baskoro yang doyan mengancam, hingga Profesor Dharmawan yang paling berkuasa. Semua demi nilai 'A' dan lembaran rupiah. Bagi keluarganya, dia anak teladan; bagi dirinya, dia merasa kotor.
Jejak gelap ini dimulai sejak SMA. Dibully geng Bianca dan putus asa, Raya nyaris bunuh diri sebelum bertemu PSK (Mona) yang memberinya "solusi". Target pertamanya: Pak Tio, gurunya sendiri.
Semua rahasianya aman, sampai Gilang, aktivis kampus yang tulus mencintainya, mulai curiga. Gilang tahu segalanya, tapi cintanya tak luntur.
Raya, yang telanjur jijik pada dirinya, menolak cinta suci Gilang. Dia bersumpah hanya akan fokus pada karier.
Bertahun-tahun kemudian, Raya sukses. Dia bertemu lagi Gilang—yang kini sudah menikah. Sadar dia tidak pantas mendapatkan cinta yang utuh, Raya menerima takdirnya. Dia rela menjadi simpanan Gilang. Baginya, itu satu-satunya wujud cinta yang pantas dia berikan: cinta yang kotor, sama seperti dirinya.
Baca
Chapter: BAB 6: Kursi Bus BersebelahanMesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. Hanya berjarak lima sentimeter. Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m
Terakhir Diperbarui: 2025-12-08
Chapter: BAB 5: Tatapan MembunuhMatahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. "Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat
Terakhir Diperbarui: 2025-12-08
Chapter: BAB 4: Kopi Pahit di PoskoAroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. "Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. "Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang
Terakhir Diperbarui: 2025-12-07
Chapter: BAB 3: Matahari Pagi yang MenusukHujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. "Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." "Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet
Terakhir Diperbarui: 2025-12-06
Chapter: BAB 2: Hujan yang Tak Kunjung RedaSuara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. "Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. "Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa
Terakhir Diperbarui: 2025-12-06
Chapter: BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor LimaSisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas."Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung."Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak."Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny
Terakhir Diperbarui: 2025-12-04