MasukSetelah Miko menutup telepon, suasana kamar seketika sunyi.
Marsha masih duduk di tepi ranjang, masih memegangi dadanya yang naik turun karena panik tadi.Rafi duduk di sampingnya, tampak memikirkan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada yang ia tunjukkan.Beberapa detik berlalu tanpa kata. Hingga Marsha akhirnya angkat bicara, suaranya pelan namun penuh beban lama yang belum pernah surut.“Oh iya Pa… gimana soal Mika? Apa sudah ada kabar lagi?” Nada suaranya penuh harap dan lelah.Rafi mengangkat wajah, tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas panjang… napas yang sudah terlalu sering ia buang setiap kali topik itu muncul.“Datanya… sudah tidak tercatat di sana.” Jawabannya berat, seperti keluar dengan susah payah.Marsha memejamkan mata, menahan rasa pahit yang kembali mengalir.“Terus gimana?”Rafi menatap istrinya lama. Di balik sorot matanya, ada kepedihan dan kegagalan yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun.“Aku masih berusaha,‘’Apa dia habis makan sesuatu?’’‘’Ah iya Dok, dia baru saja makan buah persik,”“Iya, kemungkina besar, dia alersi buah persik,’’ jawab dokter tenang. “Tapi syukurlah cepat diketahui, jadi bisa segera ditangani.”Kata-kata itu menghantam Marsha begitu keras. Tubuhnya langsung mematung.Buah persik.Tangannya refleks menatap buah yang masih ada di piring kecil di atas meja. Wajahnya pucat, dadanya sesak. Ingatannya melayang jauh ke masa lalu ke ruang UGD lain, ke bau antiseptik yang sama, ke dirinya sendiri yang terbaring lemah bertahun-tahun lalu karena reaksi alergi yang sama.“Alergi… persik…” gumamnya lirih, nyaris tak bersuara.Kenapa sama? Kenapa Kayla memiliki alergi yang sama persis dengannya?Marsha terduduk lemas di kursi. Tangannya gemetar hebat, napasnya tak beraturan. Hatinya berdegup tak karuan, bukan hanya karena panik tapi karena ketakutan yang jauh lebih dalam, lebih mengerikan.Matanya menatap Kayla yang kini mulai stabil, n
Di dalam kamar yang sunyi, Miko bersandar pada pintu. Dadanya naik turun, napasnya masih tidak beraturan. Amarah, kecewa, dan rasa sakit bercampur jadi satu, menyesakkan dada.Tangannya gemetar saat merogoh ponsel dari saku celana. Tanpa ragu, ia menekan satu nama yang sejak dulu selalu jadi tempatnya mencari jawaban, Om Edwin.Panggilan tersambung setelah beberapa dering.“Hemm, kenapa Miko?” suara di seberang sana terdengar tenang, tapi ada nada heran.“Om,” suara Miko terdengar berat dan tertahan.Edwin langsung mengernyit, firasat buruk menyelusup. “Kenapa kamu? Suara kamu nggak beres.”Miko mengusap wajahnya kasar. Matanya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena rasa dikhianati.“Om… emang dia beneran adik Miko?” suaranya menurun, nyaris berbisik. “Di mana sebenarnya Om nemuin dia?”“Siapa?” Edwin terdiam sejenak. “Mikha?”“Hemm…” jawab Miko singkat.“Kalian berantem?” tanya Edwin hati-hati.Miko tertawa kecil, getir.
Hari demi hari berlalu sejak kejadian di hutan itu. Kayla masih terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan intensif. Tubuhnya perlahan membaik, tapi bekas kejadian itu masih tertinggal bukan hanya di fisiknya, melainkan juga di hatinya.Hari ini, Marsha akhirnya menyempatkan diri datang ke rumah sakit.Sejak malam pertengkaran dengan Miko, satu kalimat itu terus terngiang di kepalanya: Kayla hampir mati.Entah kenapa, kalimat itu seperti menekan dadanya. Ada rasa sesak yang tidak bisa ia jelaskan. Padahal Kayla bukan siapa-siapa baginya hanya teman sekolah anaknya. Namun rasa khawatir itu terlalu nyata untuk diabaikan.Begitu melangkah masuk ke ruang perawatan, Marsha langsung melihat sosok Kayla yang terbaring pucat di ranjang rumah sakit. Tubuh gadis itu tampak jauh lebih kecil dari yang ia bayangkan. Selang infus terpasang di tangannya, napasnya teratur namun lemah.Hati Marsha langsung terenyuh.“Kayla…” panggilnya pelan, hampir berbisik
“Miko!!!” teriak Marsha histeris dari ujung lorong. “Astaga Miko, lepasin Mikha!”Marsha berlari tergesa ke arah mereka, wajahnya pucat karena panik.“Rafiiii! Cepetan naik!” teriaknya lagi dengan suara bergetar.Langkah kaki terdengar cepat dari lantai bawah. Rafi yang mendengar keributan itu langsung berlari naik ke lantai dua, wajahnya penuh kebingungan dan kaget melihat pemandangan di hadapannya.Miko yang dipenuhi amarah, Mikha yang menangis ketakutan, dan Marsha yang hampir kehilangan kendali.Setibanya Rafi di lantai dua Pemandangan di depannya membuat darahnya langsung mendidih.Miko berdiri dengan rahang mengeras, tubuhnya menegang penuh amarah, sementara Mikha terhimpit di sudut tembok, wajahnya pucat, air mata sudah membasahi pipinya.Rafi segera menarik tubuh Miko, berusaha memisahkan keduanya. Namun amarah Miko sudah terlanjur meledak. Tatapannya masih tertuju tajam pada Mikha, seolah menunggu satu pengakuan yang tak kunjung keluar dari bibir adik kembarnya itu.“Miko le
Camping itu akhirnya benar-benar berakhir dengan cara yang tak pernah dibayangkan siapa pun.Bukan dengan tawa, api unggun, atau kenangan manis seperti rencana awal melainkan dengan sirene ambulans yang meraung memecah hutan.Tubuh Kayla yang lemah segera ditangani oleh tim medis. Selimut darurat membungkusnya rapat, sementara infus dipasang dengan cepat. Arion tak pernah melepaskan genggaman tangannya sejak mereka ditemukan. Wajahnya pucat, matanya merah, napasnya masih belum stabil antara lega dan trauma yang belum sepenuhnya reda.Ambulans melaju membawa Kayla dan Arion menuju rumah sakit terdekat.Sementara itu, para siswa lain dipulangkan menggunakan bus sekolah.Tak ada yang bersuara.Tak ada yang bercanda.Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing.Di kejauhan, lampu ambulans yang membawa Kayla semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Dadanya terasa sesak.Ada lega karena Kayla selamat.Tapi juga ada rasa bersalah, marah, dan firasat buruk yang terus meng
Kayla menangis di pelukan itu. Tangis yang bukan hanya tentang malam tadi, tapi tentang rasa takut kehilangan, rasa malu, rasa tidak berdaya. Namun di antara isakannya, ada satu hal yang tetap ia rasakan Arion tidak menjauh. Tidak pergi. Tidak menghindar. Dan di gua kecil yang dingin itu, di tengah hutan yang masih membungkam mereka, dua hati yang sama-sama terluka hanya bisa saling berpegangan, menunggu hari benar-benar terang dan jawaban perlahan datang. ** Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, memantul di dinding gua dan menyusup di antara pepohonan hutan yang rapat. “Kaylaaaa…!” “Arionnn…!” Kayla yang sejak tadi bersandar lemah di dada Arion, refleks menegakkan tubuhnya meski rasa nyeri langsung menjalar di sekujur badan. Matanya membola, napasnya tercekat. “Itu…” suaranya nyaris tak terdengar, “…itu suara Miko.” Arion ikut menahan napas. Dia memejamkan mata sejenak, memusatk







