Masuk"Sentuh aku!" "Kamu gila! Kamu itu pacar sahabatku!" "Sahabat kamu yang gila! Dia yang mulai berkhianat, dan kamu juga tahu itu!" Arabella tak pernah menyangka, hidupnya akan berubah hanya karena satu orang, anak angkat yang tiba-tiba datang dan mencuri segalanya keluarga, perhatian, dan cinta pertamanya. Tersesat dalam kemarahan dan rasa sakit, Ara mencari pelarian. Tapi pelariannya bukan sekadar pelampiasan, melainkan dosa yang tak bisa dihapus, mencintai sahabat pacarnya sendiri. Ini bukan hanya kisah tentang cinta dan pengkhianatan. Ini tentang perempuan yang kehilangan segalanya, lalu memilih untuk menghancurkan apa pun yang tersisa.
Lihat lebih banyak“Ah… Kak Rafi, lebih cepat...!”
Suara desahan dan erangan yang saling bersahutan dari dalam kamar hotel itu membuat tubuh Ara mematung di depan pintu. Jantungnya berdegup cepat. Dadanya terasa sesak dan tubuhnya langsung bergetar hebat. “Oh… kamu cantik sekali, Sayang. Kamu sangat seksi!” Tangan Ara terkepal kuat mendengar suara familiar itu. Suara yang selama ini memanggil namanya penuh cinta, kini terdengar begitu menjijikkan. Brak! Begitu Ara menyentak pintu hingga terbuka, pemandangan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Rafi, kekasih yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil, sedang bersenggama mesra di atas ranjang dengan Ana—adik angkat Ara sendiri. Mata Rafi membelalak kaget, sementara Ana hanya menunduk dengan senyum tipis yang justru membuat darah Ara mendidih. “Ini yang kamu bilang nggak enak badan?” tanya Ara dengan suara getir. “A-Ara, ini nggak seperti yang kamu pikir—” Rafi tergagap, segera bangkit dan memungut pakaiannya yang tercecer di lantai. “Stop!” sela Ara sambil mundur satu langkah. Ia menggeleng sambil menahan air mata. “Aku nggak mau dengar apapun.” “Tunggu dulu, Sayang, dengerin penjelasan aku!” teriak Raffi segera mengenakan pakaiannya dan mengejar Ara. Tapi Ara tidak peduli. Ia pergi meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat, hampir berlari menembus koridor hotel. Ia langsung mencegat taksi yang berhenti di lobi. “StarClub!” ucap Ara lirih namun tegas pada sopir taksi, suaranya bergetar seperti menahan sesuatu yang nyaris pecah. Di dalam taksi, Ara menatap kosong ke luar jendela. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa ia bisa hentikan. Tangannya gemetar di pangkuan, dan napasnya berat, terputus-putus. Tadinya ia, Rafi, dan Ana menghadiri acara reuni SMA yang diadakan di hotel tersebut. Namun, di tengah acara, Rafi mengeluh tidak enak badan sehingga Ara menyarankannya untuk beristirahat di kamar. Tapi ternyata Rafi malah sibuk bermain api di belakangnya, dengan adik angkatnya sendiri! Tak butuh waktu lama, taksi itu pun tiba di sebuah club. Musik dentuman bass dari dalam terdengar hingga ke jalan, membuat dada bergetar. Ara segera turun setelah membayar, dan melangkah cepat menuju pintu masuk. Aroma parfum bercampur alkohol langsung menyergap hidungnya. Lampu-lampu stroboskop menari di udara, menyorot wajah-wajah orang yang sedang larut dalam musik dan tawa. “Vodka, yang paling kuat,” katanya singkat pada bartender. Gelas pertama ia tenggak habis dalam sekali teguk. Panas alkohol mengalir di tenggorokannya, memberi rasa perih yang entah mengapa terasa cocok dengan hatinya saat ini. “Brengsek! Bajingan! Kalian berdua jahat!” maki Ara di sela isak tangisnya. Ia memesan minuman lagi. Tangannya sedikit gemetar saat menuang. Sesekali ia mengumpat, sesekali ia hanya diam sambil menatap kosong ke arah botol-botol berderet di rak. “Ara?” “Apa?!” jawabnya ketus, suaranya serak. Ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di sampingnya. “Kamu! Kamu temennya si brengsek itu, ‘kan!?” tudingnya dengan pandangan tidak fokus. “Kamu mau ngetawain aku, iya, hah?!” Namun, pria itu tampak tenang. “Lagi ada masalah sama Rafi?” tanyanya. Suara musik keras di belakang membuatnya sedikit harus membungkuk agar terdengar. “Puas kamu, hah?! Kamu puas?!” racau Ara sambil berteriak. Air mata kembali mengalir, membuat riasan di pipinya semakin berantakan. Aga—pria itu—menggelengkan kepala tidak mengerti. Ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. “Aku telepon Rafi sekarang.” “Enggak! Jangan!” Ara segera mencengkeram lengan kekar Aga dengan kuat. “Jangan telepon dia… jangan kasih tahu dia aku di sini…” Suaranya pecah di akhir kalimat, seperti tali yang sudah terlalu sering ditarik hingga nyaris putus. “Kamu mabuk, Ra!” suara Aga meninggi, bukan karena marah, tapi karena frustrasi melihat kondisi gadis di hadapannya. “Aku nggak mabuk!” seru Ara, menatapnya tajam walau matanya sudah berat. “Dan aku sadar… aku nggak mau sama bajingan kayak dia!” Aga menghela napas berat. Dia memandang Ara cukup lama, seolah mencoba membaca isi kepalanya yang kusut. Musik, tawa, dan denting gelas di sekitar seperti tak berarti dibanding tatapan dua pasang mata itu. “Aga…” suara Ara lebih pelan kali ini, tapi masih mengandung getir. Ia mengedipkan mata perlahan, mencoba fokus. “Kamu temannya Rafi… apa kamu juga bajingan kayak dia?” Aga mengusap wajahnya kasar, mencoba mengumpulkan kesabaran yang sudah nyaris habis. “Ikut aku sekarang!” Aga langsung menarik lengan Ara. Gadis itu menolak di awal, menggumamkan kata-kata yang tak jelas, tapi akhirnya membiarkan Aga menuntunnya keluar dari klub. “Aku nggak mau pulang! Aku udah nggak punya rumah!” Aga tidak menjawab dan terus menuntun Ara menuju parkiran. “Oh, kamu mau bawa aku check in ya? Sama kayak mereka?” goda Ara sambil terkekeh. “Terserah!” cetus Aga sekadarnya. Ia membawa Ara masuk ke dalam mobil dan memasangkan seat belt. Mobil melaju menembus jalanan kota yang mulai lengang. Sepanjang perjalanan, Ara tak berhenti bicara. Kadang ia mengumpat nama Rafi, kadang ia memuji wajah Aga, kadang ia tertawa sendiri. Tapi yang paling membuat Aga tidak tenang adalah ketika Ara mulai memiringkan tubuhnya, mendekat ke kursi pengemudi. “Aga…” bisiknya, jarak wajah mereka hanya beberapa senti. “Kalau dilihat-lihat, kamu itu ternyata lebih ganteng dari Rafi…” Aga menelan ludah, matanya tetap fokus ke jalan. “Ara, duduk yang benar.” Namun, Ara justru menyentuh lengannya, jemarinya menyusuri perlahan otot di bawah kaus yang tipis. “Wah… keras banget Ga…” katanya sambil tertawa kecil. Suaranya terdengar berat… dan menggoda. “Hentikan, Ra!’’ Aga merapatkan rahangnya. Konsentrasinya buyar. Ia mencoba memusatkan perhatian ke jalan, tapi ketika tangan Ara berpindah menyentuh pahanya, ia spontan menginjak rem. “Arabella!” Ara terkekeh senang melihat Aga tampak panik. Gadis itu semakin memajukan tubuhnya hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. “Aga, kiss me, please?”Feby menelan ludah. “Tuh cewek… duduk sebangku sama Miko.”Dinda masih diam.Tapi bahunya tegang.Jarinya yang memegang sedotan bergetar sedikit.Feby melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi jelas berbahaya.“Dan… gue dengar dari anak-anak tadi pagi… Miko yang anterin cewek itu ke ruang guru.”Dinda membeku.“Banyak yang lihat mereka deket banget,” tambah Feby, semakin menjerumuskan suasana.Keheningan turun ke meja kecil itu. Kantin tetap bising, tapi semua suara seolah meredup di telinga Dinda.Ia menatap jusnya, tapi pikirannya tidak di sana. Rahangnya mengeras. Nafasnya naik turun perlahan, menahan sesuatu dalam dirinya.Satu kalimat akhirnya keluar pelan, dingin, dan menusuk.“Miko nganterin dia?” Feby mengangguk cepat, takut sekaligus penasaran.Dinda menggigit bibir bawahnya, matanya meredup dengan emosi yang sulit ditebak cemburu, marah, atau merasa tersaingi.Ia diam. Beberapa detik. Beberapa detik yang panjang. Feby menela
Tubuh Kayla terpental sedikit, dan ia terjatuh ke lantai dengan kedua telapak tangan menahan tubuhnya. Kaget, malu, dan sakit bercampur jadi satu. Ranselnya tergelincir ke depan, dan rambutnya menutupi sebahagian wajahnya.“Aduh…” gumamnya pelan.Saat ia hendak bangkit sendiri, sebuah tangan terulur ke arahnya. Tangan besar, tegap, dengan jari-jari panjang yang menunjukkan pemiliknya sering beraktivitas fisik. Sentuhan udara dari tangan itu membuat Kayla mendongak.Begitu melihat wajah pemiliknya, matanya langsung melebar dan senyumnya muncul begitu cepat, begitu tulus.“Miko!” serunya tak bisa menahan rasa senang itu.Wajah Miko yang semula datar berubah menjadi sedikit terkejut, kemudian melunak. Suaranya keluar dengan nada yang tidak menyembunyikan keheranan.“Lo ngapain kesini?” tanyanya.Kayla hampir ingin tertawa saking leganya bertemu orang yang ia kenal. Di kota besar seperti Jakarta, di sekolah sebesar ini, bertemu Miko terasa sepe
Hari pertama masuk sekolah.Kayla Anastasia hampir tidak bisa tidur semalaman karena terlalu bersemangat. Begitu alarm berbunyi pukul lima pagi, ia langsung bangun, merapikan kosan kecilnya yang hanya berisi tempat tidur single, lemari plastik, dan meja lipat sederhana. Udara pagi masih lembap ketika Kayla keluar sambil menuntun sepeda tuanya sepeda yang ia bawa jauh dari kampung halaman sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa ia andalkan.“Bismillah,” gumamnya pelan sebelum mengayuh pedal.Perjalanannya menuju sekolah memakan waktu sekitar lima belas menit, melewati ruko-ruko yang baru buka, beberapa pedagang sarapan, dan jalan besar yang mulai ramai oleh mobil para pekerja. Meski sesekali ia harus menepi karena motor dan mobil yang saling berebut jalan, Kayla tetap tersenyum. Hari ini adalah permulaan baru sekolah unggulan, beasiswa penuh, dan kesempatan mengubah hidup.Ketika gerbang sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kayla melambatkan kayuhan sepeda. Matanya membesa
“Assalamualaikum! Mamaaa, anaknya pulang nih!” Suara Miko menggema memenuhi ruang tamu begitu pintu utama dibuka. “Waalaikumsalam! Kenapa sih harus teriak begitu? Heran deh ah!” Marsha yang sedang memotong buah di meja makan langsung menoleh dan mengomel, walau tatapannya tetap lembut. “Hehehe, maaf Ma.” Miko nyengir, menurunkan tas sekolahnya ke sofa, lalu menggaruk tengkuk tanpa rasa bersalah. “Buruan mandi sana, abis itu makan. Mama masak sop ayam kesukaan kamu.” ucap Marsha sambil berjalan menghampiri anak semata wayangnya. “Papa belum pulang?” tanya Miko sambil melepas sepatu dan melemparkan tubuhnya ke sofa. “Besok,” jawab Marsha singkat. Miko langsung memutar kepala. “Loh, kok besok? Katanya hari ini?” Marsha menghela napas panjang. Nampak jelas wajah lelah seorang istri yang sudah terlalu sering mendengar kata “besok” dari suaminya. “Ada urusan mendadak di sana.” “Apa lagi sih, Ma?” Miko bangkit duduk. “Papa tuh terlalu sibuk di luar.” “Miko.” Nada Marsha mengeras.
“Udah, ayo gue anter. Lo mau kemana? Gue baik, gue bukan preman. Gue masih sekolah, nih seragam gue.” Miko sampai membuka jaketnya sambil memaksa gadis itu melihat logo SMA Gaharu di dada kirinya. “Kalau gue macem-macem, lo bisa laporin ke polisi!” Dia bicara cepat, panjang, dan terlihat sangat ingin membuktikan dirinya bukan penjahat. Gadis itu terpaku beberapa detik. Matanya meneliti seragam Miko, lalu beralih ke wajahnya. “Kamu anak Gaharu?” tanya Kayla sedikit terkejut. “Nah!” Miko mengangkat tangan, lega. “Lo tahu sekolah gue?” Gadis itu mengangguk pelan, meski ekspresinya masih waspada. “Ya udah ayo gue bantu. Gue cuma mau tanggung jawab doang elah!” kata Miko setengah mengeluh, tapi tetap menunduk mengambil kardus gadis itu. ‘’Tapi—“ ‘’Gak usah tapi-tapian. Masih untung lo ketemunya sama malaikat kaya gue, sama kaya yang lo bilang, Jakarta itu keras. Daripada lo nanti ketemu preman beneran, mending gue anter, ayo buruan!’’ Akhirnya, setelah tarik ulur bati
Pulang sekolah, halaman parkiran sudah mulai lengang. Beberapa murid bergegas pulang, beberapa nongkrong sambil memesan es teh di kantin kecil dekat gerbang. Di antara deretan motor yang berjejer, Miko baru saja mengeluarkan helm dari dalam jok ketika dua sahabat karibnya, Rizky dan Ryan mendekat sambil mengunyah permen karet. Rizky menyikut lengan Miko dengan gaya sok akrab. “Gimana tadi pagi? Cancel lagi putusnya?” Miko menghembuskan napas, memasang wajah bangga. “Iyalah. Sampai mati juga gak bakal gue biarin kita putus!” jawabnya mantap sambil mengetuk dadanya sendiri. Ryan langsung tertawa pecah. “Hahahaha! Lo gak capek apa, Mik? Putus nyambung mulu!” Rizky ikut menimpali sambil menyandarkan diri ke motor Miko. “Gue hitung-hitung, dari SMP sampai sekarang… kayaknya udah lewat seratus kali kalian putus-nyambung. Sumpah! Seratus, Mik! Harusnya kalian bikin kartu stamp gitu, setiap sepuluh kali putus dapat voucher baikan!” “Asli! Drama kalian tuh lebih panjang dari e
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen