LOGINSungguh kehilangan yang paling berharga dalam dirinya itu sangat menyakitkan. Nada tidak punya keberanian untuk speak up. Berharap kejadian itu tidak meninggalkan jejak yang akan membuatnya semakin hancur.
"Astaghfirullah ...," ucap Nada mengingat sesuatu. Bergegas bangkit dari pembaringan lalu segera menyambar ponsel dan juga kunci motornya. Hal pertama yang dia lakukan adalah ke apotik. Membeli pil kontrasepsi darurat untuk berjaga-jaga. Sudah jatuh, jangan sampai ketiban tangga. Setidaknya dia tidak ingin ada jejak apa pun setelahnya. Apakah ini efektif? Lebih baik berusaha lebih dulu daripada kebanyakan mikir. Tunggu, Nada menghentikan langkahnya di depan pintu kosan. Dia kembali berbalik karena merasa ada yang harus disembunyikan. Ya, penampilan dirinya terlalu kentara. Gadis itu kembali masuk, mengenakan hodie dan masker untuk menutupi penampilannya. Tentu saja tidak boleh ada yang tahu kalau dia membeli pil kontrasepsi darurat. "Ya begini lebih baik," batin gadis itu menerjang rintik gerimis sore itu. Sepanjang melajukan motornya, Nada tidak tenang sekali. Beberapa kali beristighfar karena merasa tidak fokus membawa motornya. "Ya Tuhan ... kenapa aku sekacau ini. Apakah keputusanku lari kemarin sudah benar." Nada yang merasa dirugikan, dia juga yang harus memikirkan konsekuensi setelahnya. Bukankah seharusnya pria itu bertanggung jawab? Nada justru tidak yakin Saga tahu kalau itu dirinya. Bisa saja pria itu menganggap semua itu hal biasa yang tidak menarik untuk diingat. Sesampainya di depan apotik yang paling dekat dengan kosan. Justru Nada ragu untuk masuk ke dalam. Ada ketakutan mana tahu ada orang yang mengenalnya. Suasana di apotik juga terlihat ramai. Nada semakin tidak percaya diri untuk membelinya. "Harusnya aku online saja. Tapi kan aku butuhnya sekarang. Apakah efektif menundanya beberapa hari setelah kejadian," batin Nada galau. Menimbang dari semua kemungkinan, Nada akhirnya memberanikan diri untuk tetap membeli barang itu. Kepalanya celingukan sejenak, lalu turun setelah merasa aman. Walaupun agak canggung menyebutnya merk sesuai petunjuk yang dia dapatkan dari mbah g****e. Akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menebusnya sebagai bentuk pencegahan. Brak! Tanpa sengaja gadis itu menabrak seseorang akibat jalannya menunduk kelewat serius. "Maaf," ucap Nada tak melihatnya dengan jelas. Dia ingin segera melesat dari sana. "Nggak jelas banget tuh cewek," batin pria itu berlalu. Menatap punggung mungil yang menjauh di depan pintu masuk. Nada langsung meninggalkan halaman apotik. Sebelum pulang sekalian membeli makanan mumpung sudah di luar. Saat tengah menunggu pesanan, bukan gerimis lagi, melainkan hujan cukup besar hingga membuatnya tertahan di sana. Sempat berniat untuk makan di sana saja, tetapi terbesit dalam hati untuk menerjangnya. Seolah tidak peduli dengan derasnya air yang mengguyur tubuhnya. Motor Nada melaju pelan, membiarkan air hujan itu membasahi seluruh tubuhnya. Seolah tengah membersihkan diri dari sisa-sisa noda kotor yang menempel di tubuhnya. Menghapus jejaknya yang sulit dilupakan. Sesampainya di kosan, seluruh tubuh Nada basah tak tersisa. Dia hanya sedang merasa putus asa. Marah dengan takdir yang membuatnya kehilangan sesuatu yang paling dia jaga. Tubuh dinginnya tak lagi dirasa, seolah tidak peduli dampak dari kelakuannya setelah ini. Tiba-tiba dia merasa sangat lapar setelah mandi. Usai menghangatkan tubuhnya dengan pakaian panjang dan minuman yang baru saja dibuat, Nada langsung meminum obat yang tadi dibeli dengan penuh perjuangan. Tentu saja sesuai petunjuk setelah banyak membaca. Berharap setelah ini baik-baik saja. Karena sudah kelewat sehari sejak kejadian itu. "Bismillah," batin gadis itu dengan perasaan was-was. Jangan sampai menyesal untuk kehidupan setelahnya. Masa depannya masih panjang, tidak boleh membuat kedua orang tuanya bersedih atas nasibnya yang malang. Sedikit lebih baik walaupun hatinya tidak pernah tenang. Merasa berdosa dengan Tuhan, kedua orang tua, dan diri sendiri. Sungguh dia tidak ada niatan untuk melakukan perbuatan itu. Bagaimana pun dia hanyalah korban, dari pria tidak bertanggung jawab itu. Nada mencoba melupakan kejadian naas itu. Berdamai dengan keadaan dirinya yang sekarang tidak baik-baik saja. Ke mana dia harus mengadu hal semenyakitkan ini. Malu, marah, bingung sendiri pastinya. "Tidur Da, ingat, besok kamu ada pertemuan di kampus," batin gadis itu tidak lupa dengan schedule yang sudah diagendakan oprec kepanitiaan. Dalam hati ada ketakutan untuk pergi ke kampus, tetapi optimis tidak bertemu dengan pria itu mengingat area kampus yang cukup luas. Hingga larut malam, matanya tidak mengantuk sama sekali, tetapi dia memaksakan untuk terpejam. Agar besok cukup punya tenaga memulai hari. Bolak-balik Nada memposisikan tidurnya tetapi tidak menemukan kenyamanan. Hatinya dirundung gelisah sejak kejadian itu. Entah gadis itu terlelap di jam berapa, dia terjaga oleh alarm ponsel yang membangunkannya. Pagi ini ada second gath, pertemuan seluruh panitia Ospek Universitas yang pertama setelah liburan semester kemarin. Dia yang sebenarnya masih malas bangun mencoba menyemangati diri untuk ke kampus dan berjibaku dengan aktivitas yang akan memberikannya pengalaman baru. "Tenang Nada, tidak ada yang berubah dari diri kamu. Kamu tetap cantik, manis, dan menawan. Lakukan sesuatu yang membuat harimu bahagia," batin Nada menyemangati diri. Walaupun dalam hati ada ketakutan yang besar. Bagaimana kalau ternyata Kak Saga mengingat kejadian malam itu. Nada tidak tahu apakah pria itu melakukannya dengan sadar. Atau justru sama seperti dirinya yang menjadi korban. Nada tidak punya keberanian untuk menemuinya. Berharap di kampus nanti tidak pernah melihat sosoknya. Jujur, dia takut membayangkan itu semua. Setelah merapihkan rambutnya serta memberikan make up tipis di wajahnya, Nada segera bergegas meninggalkan kosan. Mengendarai si kuda matic kesayangannya yang sudah menemaninya selama setahun ini menjadi mahasiswi. Pagi itu langganan macet, entah bagaimana ceritanya dia memilih jalan utama daripada yang biasa dia lewati untuk mempersingkat jarak. Tepat di lampu merah, saat dia tengah menunggu lampu traffic light berganti hijau, tak sengaja menoleh ke samping kiri yang ternyata malah dipertemukan dengan sosoknya yang dingin. "Kak Saga," batin Nada menatapnya dengan amarah yang menyala. Bagaimana bisa dia setenang itu setelah melakukan pelecehan terhadap dirinya. Apakah pria itu tidak mengingat apa pun yang terjadi di antara mereka. seketika Nada menyadari betul siapa dirinya. Mereka memang sebelumnya tidak saling mengenal sama sekali. Tatapan dingin itu saling bertaut tanpa ada yang berniat untuk menghentikannya. Sampai lampu traffic light berganti warna dan menyisakan kemacetan karena tak kunjung melajukan mobilnya. "Woi, jalan dong!" seru pengendara lain tak sabar sembari mengklakson bersautan dari pengemudi di belakangnya. Menyadari itu, Saga langsung terhenyak menginjak gas untuk meninggalkan arus kemacetan yang dibuatnya. Disusul Nada dengan kecepatan sedang sembari menghafalkan rubicon di depannya. "Apakah pria itu mau ke kampus?" gumam Nada was-was. Takut sekali setelah ini malah mendapatkan masalah.Nada ragu-ragu untuk membukanya, tetapi karena penasaran akhirnya dia membuka pesan itu juga. Agak kaget juga dengan kalimat yang ditulis penuh nada perhatian itu. Pasalnya dia sendiri tidak pernah dulu mengirim pesan seakrab ini dengan dosennya. "Perhatian banget, emang gini ya cara mahasiswi menyampaikan terima kasih sama dosennya. Jaman aku dulu segan kali kalau tidak ada perlu," gumam Nada tak mau berpikiran buruk. Tidak mau kepikiran, nyatanya tetap kepikiran. Suaminya itu kan masih muda, tampan, dosen pula. Bisa jadi para mahasiswi bimbingannya itu sedikit banyak ada yang mengagumi. Jaman Nada kuliah dulu juga banyak fenomena seperti ini. Cuma tidak seberani itu sampai berkirim pesan segala. Apalagi yang tidak penting. "Eh, Buna sudah pulang." Saga dan Zea baru saja sampai. Dia baru saja memborong jajanan dari toko biru. "Iya, khawatir Zea rewel, ternyata malah pada nggak di rumah. Zea jajannya banyak banget." "Iya Bunda, Bunda mau," tawar gadis kecil itu membagi p
"Kalau ternyata telat gimana Mas?" tanya Nada khawatir. Dia merasa belum siap hamil lagi, jadi rasanya pasti akan sangat tidak nyaman. "Memangnya sudah telat berapa hari? Mau dianterin ke dokter saja?" tawar Saga mencari jalan yang terbaik. Kasihan juga kalau belum siap lahir batin, takutnya malah tertekan dengan keadaan. Dia juga harus memikirkan kesiapan calon ibu. "Baru beberapa hari, tapi biasanya kan udah tanggal segini. Mas sih waktu itu kelepasan, mana pas aku lagi subur lagi," ujar Nada mengingat tempo kemarin. Saga langsung merasa tidak nyaman melihat wajah merengut istrinya. Takut banget kalau membuat moodnya berantakan. "Maaf ya, lain kali aku akan lebih hati-hati. Belum tentu hamil, udah jangan mikirin yang belum terjadi. Bobo sayang, Zea sudah merem lagi tuh." "Nggak ngantuk, tadi kan sudah tidur," ujar wanita itu malah bangkit dari pembaringan. Padahal Saga sebenarnya sudah ngantuk. "Mau ke mana?" Saga ikut turun, mengekor istrinya yang berjalan menuju so
Sagara langsung pulang begitu urusannya di kampus selesai. Sedari tadi dia kepikiran rumah mengingat anaknya sedang sakit, ditambah telfon dan pesannya tadi tidak dibalas sama sekali. Mungkin saja Nada terlalu sibuk sehingga belum sempat menilik ponselnya. Pria itu sampai rumah mendapati ruangan yang berantakan. Bantal sofa tidak di tempatnya, kamar tidur yang belum dibereskan dan sprintilan mainan Zea yang lepas dari tempatnya. Ini pemandangan yang biasa sebenarnya, saat hari libur, rumah ini akan lebih berantakan karena dirinya menyaksikan langsung bagaimana putrinya berulah. Hanya saja Nada selalu telaten membereskannya. Namun, sore ini terlihat tidak tersentuh oleh tangan istrinya, dan Saga memahami itu. Saat pria itu membuka kamar putrinya, terlihat Nada tengah tidur di dekat Zea yang terlelap. Wajahnya terpantau begitu lelah, kasihan pasti seharian ini istrinya kecapean sampai ketiduran begitu tidak nyaman. Saga melangkah pelan menghampiri, mengulurkan punggung tangannya
Malam ini diajak begadang suaminya, tidak bisa menolak, apalagi setiap kali sentuhan-sentuhan lembut itu menyapa sekujur tubuhnya, Nada pasrah menerima setiap hujaman cinta darinya. "Dek, kamu kok wangi banget, pakai apa sih?" bisik pak suami masih bermanja-manja di dekatnya. Setelah melewati sesi panas beberapa menit yadi, keduanya sama-sama berselimut mesra. "Hah, sesuatu deh," jawab Nada diam-diam rajin olahraga setiap kali ada kesempatan. Olahraganya di rumah saja, via youtube dan di kamar pastinya, biar tidak ketahuan orang-orang. "Hem, kalau kaya gini kan bikin aku makin gteget," kata pria itu mencium-cium mesra pipinya. "Ish, geli Mas, hari ini aku capek banget," keluh Nada merubah posisi tubuhnya hingga saling berhadapan. Tangan kanannya melingkarkan dalam pelukan. "Karena bantuin mama? Kan aku udah nyuruh pulang ada Bik Surti juga." "Bukan, di rumah mama aku malah nggak begitu bantuin. Cuma ngerasa capek aja," keluh perempuan itu mendusel manja di dada bidang
Padahal cuma perkataan kecil tapi mampu membuat seorang Sagara tersenyum bahagia. Jadi gemesh sendiri kan, pingin ngurungin tapi mau balik lagi mengajar. "Mau pulang atau jemput Zea?" tanya pria itu memberikan pilihan. "Jemput Zea, nanti pulangnya naik taksi aja, Mas kalau mau langsung ke kampus tidak apa-apa.""Kalau dibolehin mama sih, soalnya kan sekarang Zea betah banget di rumah omanya.""Jadi ngerepotin mama terus nggak enak," jawab Nada benar adanya. "Ya nggak apa-apa, orang yang direpotin aja malah senang. Mama tuh jadi tidak kesepian katanya kalau ada Zea."Sampai di rumah ibu mertuanya, Zea sedang asyik ngerecokin omanya di dapur. Dibantuin Bik Surti yang tengah membuat jajanan. Nada langsung menyambut ibu mertuanya dengan salam. "Mau ada acara, Ma? Kok banyak banget makanan?" tanya Saga melihat snack yang sudah terbungkus rapih. "Iya, nanti sore ketempatan PKK di sini. Jadinya bikin banyak jajanan.""Aduh ... maaf ya Ma, sedang repot malah ketitipan Zea. Kenapa tadi ng
Nada memang tidak memperhatikan Aksa sedikit pun, tetapi akibat tatapan dalam pria itu, jelas membuat Saga yang melihatnya kesal sendiri. Bisa-bisanya di sampingnya ada istrinya matanya tertuju pada istri orang. Ingin Saga colok pakai sambal di depannya. "Astaghfirullah ... Aksa bener-bener lu ya," batin Saga geram. "Sayang, habis ini aku antar ya," ucap Saga sembari mengelap bibir Nada dengan tisu. Padahal makannya rapih, biar kelihatan perhatian saja. Sengaja biar orang yang di depannya itu tahu kalau keduanya sekarang hidup bahagia dan harmonis. Jadi, tidak berharap lagi dengan cinta orang lain. "Iya Mas, kamu harus balik ke kampus ya?" "Iya, tidak apa-apa, aku anterin kamu dulu.""Atau mau bareng aku aja Nad. Sekalian ini nganterin Raisa pulang. Kalian nggak jadi shoping bareng?" Aksa ikut angkat bicara. Tadinya memang ada rencana, tapi melihat Aksa, Nada tidak minat melakukan apa pun lagi. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Untung saja suaminya peka, gercep menjemputnya







