Ratusan panitia ospek sudah berkumpul di lapangan kampus tengah menanti dibukanya acara pagi ini. Nada yang sedikit terlambat langsung berlari bergabung menyambung barisan. Untung saja belum dimulai, dan sialnya dia dibarisan belakang yang sekitarnya tidak ada yang mengenalnya.
"Nad, telat? Tumben di belakang?" tanya Rani malah baru bergabung setelahnya. Napasnya masih tersengal seperti sehabis lari maraton saja. Itu artinya, dia tidak sendirian di barisan paling belakang yang isinya hampir cowok semua. "Dikit, baru nyampai juga tadi terjebak macet di jalan," jawabnya sembari mengarah depan. Sepertinya acara akan segera dimulai setelah Pak Rektor nampak memasuki area. Suasana hiruk pikuk pagi ini sudah kental terasa. Walaupun hawa-hawa liburan akhir semester masih belum sepenuhnya menghilang. Tetapi para panitia sudah stay di sana berjibaku dengan teman-teman yang saat ini tengah berjuang mensukseskan untuk ospek tahun ini. Acara dimulai dengan sambutan pihak petinggi kampus, kemahasiswaan, presma BEM dan terakhir ketua panitia pelaksana sebagai koordinator umum. "Nad, Zian," bisik Rania mengerling. Saat Mas Presma idaman sejuta mahasiswi normal tengah memberikan sambutan. Auranya langsung awur-awuran. Membuat yang lainnya menatap dengan semangat jatuh cinta terkagum-kagum dengan prestasinya pastinya. "Hmm, jauh Ran, takut nggak nyampai kalau ketinggian," jawabnya berseloroh. Siapa sih yang tidak kenal Mas Zian ini, sejak didapuk menjadi Presma BEM KM, sosoknya menjadi idola ciwik-ciwik seantero kampus. Belum lagi perawakannya yang tampan dan humble. Membuat nilai plus tersendiri bagi standarisasi cowok keren masa kini. "Haha ... tahu diri itu perlu nggak sih," bisik gadis itu kembali fokus melihat podium. Pidato didepan sudah berganti dari devisi PSDM yang sedang menjelaskan presentasi kinerja mereka. Progress apa saja yang telah mereka lakukan selama kurun waktu social project hingga pertemuan hari ini. Acara ditutup dengan pengumuman agar seluruh panitia berkumpul sesuai subdivisi masing-masing. Nada langsung bergabung dengan teman-teman panitia di salah satu sudut lapangan. Mereka tengah menunggu agenda pembagian cluster yang sebelumnya sudah ditentukan dari pihak penyelenggara. "Yes," batin Nada setelah lembaran fotocopyan dibagi sampai di tangannya ada nama dirinya di cluster shosum. Sejak awal mengikuti open recruitmen, dia sudah berharap di cluster shosum. Gadis itu tersenyum sembari bersiap membubuhi tandatangan. "Eits, jangan ditandatangani dulu," seru Rania membuatnya terkesiap dengan tatapan tanda tanya. "Apa Ran, bikin kaget orang saja," protes Nada mencebik kesal. "Kamu di cluster apa?" tanya Rania tidak sesuai dengan harapan. Nada dengan senang hati menunjukkan lembar fotokopiannya tanpa harus menjawab. "Wah ... tukeran yuk! Aku bayar berapa pun deh kalau mau," ujarnya mendrama. Lebay tingkat provinsi memang satu temannya ini. "Emang bisa? Sorry tapi aku nggak minat. Haha ... tidak apa-apa di cluster teknik, mana tahu di sana dapat pengalaman baru yang lebih seru." Nada memberikan semangat sembari mengepalkan tangannya. "Oh my ... aku aminin dulu lah walau agak berat ini. Biasanya cenderung mimpin anak-anak cowok semua." Dia sudah membayangkan moving yang berat menyapa di depan mata. "Sabar Buk, jalani prosesnya ini masih hari pertama," ujar Nada menyemangati temannya. Padahal diri sendiri juga sedang down akibat mentalnya diuji habis gegara insiden kemarin. Mengingat itu, dia serasa tidak ingin bertemu dengan hari esok. Setelah menandatangani surat pernyataan kesanggupan, mereka langsung mengumpulkan dan bergabung dengan cluster masing-masing. Saling berkenalan satu sama lain. Apalagi di antara mereka akan menjadi tim yang solid untuk anggota dari masing-masing gugus yang nantinya akan dipandu. "Gue Sindu, management, salam kenal," ucap seorang pria mengulurkan tangannya. "Nada, Ekonomi," jawab gadis itu sembari menyambut uluran tangan Sindu. Mereka bercakap-cakap nampak akrab dengan anak-anak lainnya juga. Sindu adalah kakak tingkat satu angkatan di atasnya dan kebetulan menjadi subkoor cluster shosum. Dia langsung membuat jaringan komunikasi kelompok di grub WA agar memudahkan sesama anggotanya berkomunikasi di mana pun. "Nanti habis dzuhur kita kumpul ya! Lebih detailnya chek grub WA masing-masing. Ada yang belum masuk grub!" seru Sindu memastikan. "Sudah," jawab teman-teman hampir bersamaan. Sindu terlihat sibuk mengetik pesan, lalu mengirim beberapa point ke dalam grub WA yang baru saja dibentuk. Mengkoordinir anggotanya agar berkumpul kembali untuk pertemuan pertama sekaligus sesi perkenalan serempak. Berhubung masih ada waktu, Nada menyempatkan diri untuk sholat dzuhur lebih dulu. Ia bergegas menuju masjid kampus yang tempatnya tidak begitu jauh dari lapangan. "Nim, mau nitip nggak?" "Seblak cuy, laper banget, kantin yuk!" "Aku tinggal aja, mau curhat dulu, nanti nyusul. Kantin fakultas, 'kan?" sahut Nada mendahulukan kewajibannya lebih dulu. "Ya, jangan lupa doain kita ya." "Siap lah, nanti aku selipin doa yang paling baik buat kalian." "Terbaik, doain Nimas biar tidak jomblo lagi." "Dih ... yang punya pacar, percaya deh, percaya." Mereka semua terdengar berisik yang tidak ditanggepi sama sekali. Pacar? Dia bahkan tidak percaya diri lagi menjalin hubungan dengan siapa pun setelah kejadian kemarin. Entah suatu kebetulan atau tidak, sebatas dalam ingatan seperti melihat punggungnya yang jangkun. Sepertinya Nada sudah mulai gila karena di mana-mana dihantui sosoknya yang dingin dan menyebalkan itu. Bayangan Kak Saga seolah mengintai dirinya. "Fokus, Nad, tujuan kamu ke sini apa coba?" batin gadis itu mengomel. Rasanya kenapa dia semakin susah menghilangkan ingatannya bahkan setelah sholat sekali pun. Sampai-sampai dia hampir lupa rakaat akibat terlalu banyak pikiran. "Nad, udah?" sapa Sindu dari tempat yang sama. Nada tengah duduk di undakan tangga masjid sedang memakai sepatunya. "Iya, baru sholat juga?" Pertanyaan yang sudah pasti tahu jawabannya. Membuatnya nyengir sendiri karena memang sebatas basa-basi. "Sudah makan? Bareng yuk!" ajak Sindu ramah. Sepertinya dia akan menjadi teman yang baik di cluster shosum. "Ini mau ke kantin Kak, sudah ditunggui teman-teman," jawab Nada mengingat tadi sebelumnya telah membuat janji. Mereka berjalan bersama sambil mengobrol. Kedatangannya yang bersamaan langsung membuat beberapa anak lainnya menatap dengan godaan. "Du, belum ada sehari loh," seloroh yang lainnya nampak heboh. Mereka menanggapinya dengan santai dan datar. Ikut bergabung bersama teman-temannya mengisi perutnya di salah satu kantin favoritnya. Dari kantin langsung berkumpul di gedung fakultas. Mereka ada pertemuan setelah kelompok terbentuk tadi. Sindu lebih dulu membuka forum lalu memperkenalkan diri. Saling mengakrabkan dengan masing-masing panitia. Sesi selanjutnya diisi materi oleh kakak tingkat yang sudah didapuk menjadi pemateri tetap selama workshop di cluster shosum ini berlangsung. "Teman-teman saya akan memperkenalkan pemateri kita, pastinya kakak senior ya, dan beliau ini sangat terkenal di kampus kita. Kalian semua pasti tahu orangnya. Beliau ini sudah malang melintang di dunia kepanitiaan, BEM dan sekarang Senat. Masuk Bang, langsung saja!" seru Sindu menginterupsi. Seketika seluruh isi ruangan langsung tertuju pada seseorang yang baru masuk. Suasana ruangan langsung heboh melihat sosok pria yang berdiri gagah di depan sana. Dia berdiri tenang mengedarkan pandangan ke seluruh anak-anak dengan senyuman. "Terima kasih Sindu," ucap pria itu menunduk ramah. Kembali mengalihkan tatapannya kepada seluruh panitia. "Siang semuanya!" sapa pria itu terdengar ramah. "Siang!" koor anak-anak seluruh isi ruangan menyambutnya antusias. Berbeda dengan Nada yang sedari tadi nampak shock melihat orang yang baru saja datang seraya menebar senyuman ke seluruh peserta. "Kak Saga," batin gadis itu sangat mengingatnya dengan baik. Dia terdiam kaku saat tatapannya bertemu. Apakah pria itu tahu kalau Nada wanita malam itu?Sejak kedatangan Saga, Nada sudah mencium aroma tidak setuju, sayangnya jawaban Saga di luar ekspektasinya. Pria itu justru mengiyakan dengan senang hati. Hal itu membuat Nada makin bersusah hati. "Terima kasih banyak Kak, atas waktunya. Jadi ini kapan nih bisa mulai langsung kontek Kak Saga." "Mulai besok juga bisa, siapa yang buat script." "Nada Kak, mungkin nanti Nada akan wawancarai Kakak juga. Untuk waktunya lebih cepat lebih baik." "Owh Nada yang jadi penulisnya, oke, nanti bisa dibicarakan kapan waktunya. Nada sudah tahu nomor saya kan?" tanya pria itu terseyum manis sekali. "Iya," jawab Nada mengangguk datar. Tadi pagi saja bikin dia nangis-nangis, eh sekarang malah harus ketemu di kampus, parahnya menjadi Nara sumber projectnya. Apakah dunia sebecanda ini. Di dunia ini ada banyak sekali orang pintar dan sangat berkompeten, kenapa harus suaminya yang minim akhlak, galak, dan menyebalkan ini. Seketika anak-anak di sana merasa bersyukur karena Kak Saga menerimanya
Gegara kamar dikuasai pemilik rumah, Nada jadi tidak leluasa di ruang kamarnya. Dia sedang bersiap-siap pergi ke kampus. Memastikan barang bawaan hari ini tidak ada yang ketinggalan. "Aku juga mau ke kampus, tungguin Nad, berangkatnya bareng." "Bukannya Kak Saga sakit?" "Tadi pagi iya, tapi sekarang aku sehat walafiat." "Bisa gitu ya? Jangan-jangan tadi cuma acting." "Acting sakit untungnya apa, kalau ada obatnya mending aku bayar mau berapa pun. Atau tukar posisi deh, aku yang hamil kamu yang ngalamin semua gejalanya." "Sudah gitu tahu susahnya calon ibu kenapa masih suka ngeles kalau ini anak kamu." "Ragu boleh kan? Eh, ya ngomong-ngomong, kamu sudah putusin Aksa kan?" tanya pria itu kepo maksimal. "Hmm, bukan karena kamu," ralat Nada cepat. Jujur, jika ada kesempatan kedua di masa yang akan datang, Nada ingin mengulang kisah romantis bersama Aksa dalam balutan cinta yang halal. Walaupun saat ini dia sama sekali tidak berani berharap. Apalagi memberikan celah unt
Rasanya Saga sudah tidak tahan dan hampir menelfon ibunya tentang kondisinya saat ini. Sekaligus mengadukan kelakuan Nada yang tidak bersikap layaknya seperti istri. Namun, semua itu Saga urungkan sebab posisi mereka sekarang pisah kamar. Orang tuanya pasti akan mengomel balik lantaran tidur sendiri-sendiri. Saat situasi seperti ini, jelas dia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri. Dengan tertatih pria itu mengetuk pintu kamar Nada yang masih terkunci. Sebenarnya Nada malas sekali keluar. Apalagi hati ini memang tidak ada kuliah pagi. "Apalagi sih tuh orang, tidak pagi, siang, malam, nggak bisa apa tenang sedikit," dumel Nada kesal. Biarpun demikian, Nada tetap membukan pintu untuknya. Menyiapkan hati dan telinganya lantaran pria itu suka berkata yang kemungkinan akan menyakitinya lagi. Baru juga membuka pintu, Nada dikagetkan dengan wajah Saga yang pucat pasi. Terlihat tidak baik-baik saja di depannya. "Nad," panggilnya lirih tak ada tenaga. "Kak Saga sakit?" tanya Nada iba. K
Nada itu ibaratnya sudah di level pasrah, mau Saga melakukan apa pun dia tidak mau melarang atau pun memohon. Sama saja toh kalau seandainya bubaran sekarang sama nanti setelah melahirkan, ujung-ujungnya tetap hanya istri sementara. Bukan itu sebenarnya yang Nada khawatirkan, dia sudah cukup aman dengan status pernikahannya walaupun sebentar. Setidaknya menyelamatkan kehamilannya dari gunjingan banyak orang walaupun pasti mentalnya dipermainkan. Itu lah sebabnya Nada tidak ingin menyembunyikan status pernikahan mereka dengan siapa pun. Ya, walaupun tetap, dia tidak mempublikasikan hubungannya dengan Saga. yang penting tahunya Nada sudah menikah walaupun tidak jelas suaminya siapa. Berat jadi dia, tentu tidak ada orang yang mau dalam posisinya sekarang. Kehilangan sesuatu paling berharga dengan orang yang tidak dikenal, ditambah meninggalkan jejak di rahimnya. "Yakin banget kalau orang tua kamu nggak akan marah sama kelakuan putrinya. Bagaimana kalau hal itu membuat orang tuaku
"Nad, kenapa diem aja, tolong jangan nangis," ucap Aksa mendekat. Tidak bisa menahan diri untuk membiarkan kekasihnya bersedih. Pria itu mengusap air mata yang membasahi pipinya, tetapi justru itu yang membuat Nada makin terasa lara. Dia sedikit memberi jarak, takut tidak bisa menahan perhatian yang makin membuat hatinya nelangsa. "Katakan sesuatu, kenapa ini bisa terjadi? Musibah apa, Nad? Apa kamu dijodohkan?" tandas pria itu lembut. Berusaha menenangkan Nada yang semakin tergugu. Nada terdiam, tidak mungkin rasanya dia mengatakan aib dirinya. Biarpun itu tidak disengaja dan pyur musibah, tetap saja dia merasa rendah diri. Aksa pasti akan lebih kecewa kalau tahu kejadian yang sebenarnya. Biarlah tetap seperti ini, dia hanya ingin perpisahan secara damai. "Mas, itu ceweknya kenapa dibikin nangis gitu?" tanya seseorang yang kebetulan ada di sekitar sana. Rupanya sangat penasaran dengan pasangan muda mudi itu. Nada yang mendengar itu langsung tersadar bahwa dia sedang di
"Sama aja sih, punya istri sama tidak punya istri. Apa-apa juga masih ngelakuin sendiri. Ini malah berangkat tidak pamit sama sekali. Nada apaan sih, sengaja kayaknya nih anak bikin aku males sama dia." Pagi-pagi Saga sudah mendumel kesal, sepertinya dia harus laporan sama ibu dan mertuanya kalau ditelantarkan istrinya. Ya, dengan begitu bukan hanya dirinya yang disalahkan. Terutama Mom Zee kalau ada apa-apa suka sekali nyalahin dirinya. Pria itu tumben-tumbenan menelfon, entahlah, hati dan otaknya seolah memerintah tangannya untuk mendial nomor istrinya. *** "Di mana? Lama banget sih cuma angkat telfon doang." "Baru sampai kampus. Ada apa telfon?" "Ya kamu berangkat, berangkat aja, istri macam apa kamu ini. Pulang sekarang nggak mau tahu." "Aku ada kuliah Kak, lagian dalam perjanjian kita nggak ada tuh kegiatan urus mengurusi. Kenapa jadi kaya suami beneran yang mau diurusin istrinya. Kan Kak Saga yang nggak mau." Kenapa Saga bersikap demikian. Mungkin karena dia bi