Mata Nada mencoba memejam, tetapi justru hati dan pikirannya tidak bisa berdamai dengan rasa lelah yang seharusnya membawanya lelap. Mungkin karena suasana dingin yang begitu menyala membuatnya tidak nyaman. Nada kembali terduduk, menatap sisi ruangan yang nampak sepi. Terlihat Saga sudah lelap di ranjangnya tanpa memikirkan dirinya sedikit pun yang saat ini sedang berjuang menata hatinya. Tahu begini, mungkin besok dia lebih baik tinggi bersama kedua orang tuanya saja. Walaupun di sini mertuanya memperlakukannya dengan baik, tetapi tidak dengan suaminya. Nada beranjak mengambil pakaian hangat untuk menyelimuti tubuhnya agar terasa hangat. Dicari-cari remote AC karena menurutnya terlalu dingin, dia berniat mengatur suhunya agar lebih bersahabat dengan keadaan tubuhnya. Namun, seketika Nada menguntungkan niatnya karena terlalu berani. Sungguh dia dibuat tidak nyaman di hari pertama tidur di rumahnya. Entah di jam berapa Nada terlelap, dia meringkuk dengan tangan memeluk tubuhnya
Nada mengambil duduk di sofa kamar, bingung juga mau ngapain, sementara yang punya kamar sedang sibuk sendiri dengan ponselnya. Untungnya bertepatan waktu maghrib, Nada memutuskan untuk bersih-bersih lalu mengerjakan sholat. Seharian ini beraktivitas cukup padat, tubuhnya terasa begitu penat, jadi memutuskan mandi sekalian. Dia melangkah menuju koper miliknya yang masih tergletak begitu saja di samping tempat duduk. Nada mulai mengambil barang di sana, peralatan mandi dan juga pakaian ganti. Tanpa meminta izin darinya, Nada berniat langsung menuju kamar mandi. "Mau ngapain?" tanya Saga merasa perlu menggunakan kamar mandi juga. "Mandi," jawabnya lirih. Memang benar, seharusnya pria itu bisa menebak dengan peralatan yang dibawanya. "Cepetan, aku mau pakai," ujar pria itu memperingatkan. "Kakak duluan saja," ujar Nada mempersilahkan. Daripada nanti sedang di dalam dicepet-cepetin malah tidak tenang. Pria itu langsung masuk begitu Nada memberi jalan. Sepertinya Saga mandi jug
Nada tidak menyangka kalau dia dijemput secepat ini. Jujur, perkataan kedua orang tuanya masih membuat hatinya galau, bahkan saat kedua orang tua Saga berkunjung ke rumah menyampaikan maksud dan tujuannya, Nada masih belum siap walaupun tidak bisa menolak. Sekali lagi dia kecewa karena Saga tidak ikut datang, hanya kedua orang tua mereka saja sekaligus merencanakan pernikahan secepatnya. "Nada, nanti ikut tante ya, kita cari cincinnya," ujar Nyonya Zee lembut. Pertama melihat Nada entah kenapa hatinya berbeda dengan penilaian putranya. Dia merasa kalau anak ini tidak neko-neko. Bahkan tidak banyak bicara dan terkesan sangat sederhana. "Harus pakai cincin nikah ya Tante," tanya Nada merasa tidak penting. Karena jujur, dia pun tidak berharap apa pun dari pernikahan ini nantinya. "Iya dong, namanya juga nikah, masa polosan. Sekalian nyari gaunnya juga." Nyonya Zee yang akan mengurusnya. Merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat putranya. "Maafin Saga ya, hari
Nada kaget waktu kedua orangtuanya memberikan kabar tentang tamu yang berkunjung ke rumahnya. Dia tidak menyangka kalau ayah dan ibunya Saga ke rumah. Dari mana beliau tahu, apakah Saga menceritakannya pada orang rumah? "Nad, Mama sama Papa sudah tahu semuanya, orang yang menjebak kalian juga sedang diurus. Lusa kamu kami jemput pulang ya." "Maksudnya gimana sih, Pa, aku sudah mulai nyaman di sini." "Pulang Nad, ayah dari janin itu akan bertanggung jawab." "Kayaknya nggak perlu, Ma, Nada mau gedein sendiri saja," tolak Nada di ujung telepon. "Maksud kamu gimana sih? Kok kamu kaya nggak seneng gitu. Besok Mama sama Papa ke sana ya, biar kami jelaskan." Nada tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Jelas-jelas kemarin Saga menolaknya untuk bertanggung jawab, bahkan tega mau melenyapkan calon anaknya, kenapa pria itu tiba-tiba berubah. Dari mana juga kedua orang tuanya Saga tahu, apakah pria itu jujur Perempuan itu sudah mulai berdamai dengan keadaan. Semakin yakin akan m
Pak Arya sangat terkejut dengan kedatangan tamu tak terduga hari itu, yang ternyata sangat berkepentingan dengan putrinya. Beliau memang sedang mencari-cari siapakah pelaku dibalik musibah yang menimpa Nada. "Apa, jadi putra Anda yang melecehkan anak saya?" Pak Arya langsung berdiri dari duduknya penuh emosi. Ini dia yang beliau cari-cari dari kemarin tetapi belum menemukan bukti. "Tenang dulu Pak, biar kami jelaskan apa yang terjadi. Kronologinya bukan seperti yang Bapak pikirkan. Putri Bapak dan anak saya hanyalah korban, kendati demikian, jika benar kondisi Nada saat ini sedang hamil, putra kami akan bertanggungjawab," jelas Pak Bian menenangkan. Orang tua mana yang tidak emosi, tahu orang tua si pelaku menyerahkan diri, tentu dia akan memberi perhitungan yang setimpal. Berani-beraninya merusak putrinya. "Korban? Apa maksud Anda? Jangan basa-basi, anak kami yang paling dirugikan." "Biar kami jelaskan dan kami tunjukkan suatu hal. Di sini putri Bapak memang korban, tet
Sebenarnya berat bagi Nyonya Hira untuk meninggalkan putrinya di sini, apalagi dalam keadaan hamil seperti ini. Namun, dia tidak setega itu, membiarkannya tanpa pengawasan. Ada seseorang yang membantunya dan menemaninya di sana. "Nada, ini Bi Nana, dia akan menemanimu di sekalian membantu mengurus semua keperluan kamu di sini." "Hallo Bi Nana, salam kenal, saya Nada," sapanya ramah. "Salam kenal Non, semoga di sini betah ya." Nada mengangguk, betah tidak betah, dia akan menjalaninya dengan ikhlas. Tidak ada pilihan lagi selain berdamai dengan keadaan. "Mama dan papa akan mengunjungimu sebulan sekali. Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu, kabari saja." "Iya Ma, Pa, Nada akan baik-baik saja di sini." Pelukan hangat kedua orang tuanya mengantarkan perpisahan sore itu. Nada tersenyum menguatkan diri, tetapi begitu mobil yang ditumpangi ayah dan ibunya tak terlihat lagi, tangis Nada langsung pecah. Mewakili isi hatinya yang saat ini tengah rapuh. Di sini dia terasingkan, di te