LOGINLuka tak berdarah, membawanya melesak dalam lamunan. Tidak salah lagi, memang Kak Saga yang tengah menatapnya. Tapi kenapa dia bisa ada di sini. Apa katanya? Menjadi pemateri di sini? Sungguh hari-hari yang buruk bagi Nada. Bagaimana pria brengsek itu bisa dipilih mengisi workshop. Arkhhk ... sialan!
Nada tidak mendengarkan sama sekali ketika pria itu tengah memberikan sambutan. Dia hanya mengingat point pentingnya dan langsung membuatnya muak seketika mengingat peristiwa kemarin. Mendadak perut Nada mules mengingat itu semua. Wajahnya nampak pucat dan tidak berkonsentrasi sama sekali. "Da, kamu kenapa?" tanya Nimas memperhatikan wajahnya yang memucat. Sementara pria di depannya masih terus berbicara dengan bahasa yang jelas bisa diterima dengan menarik. Mereka tidak menyangka sekali kalau Kak Saga yang didapuk mengisi materi. "Nggak apa-apa," jawabnya mencoba tenang. Tidak mau terlalu terlihat di matanya yang jelas-jelas tidak diinginkan. Nada ingin sekali keluar dari ruangan itu. Mendadak sangat tidak nyaman. Apalagi ketika ia mengangkat kepalanya lalu tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Dia terdiam sejenak dengan mata memanas, sementara cowok di depan sana terlihat datar. Saga terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali menyerukan sambutan perkenalan diri secara akrab. Lalu meminta Satu persatu anak-anak diminta untuk memperkenalkan diri secara berurutan. "Baiklah, bisa dimulai dari yang paling belakang sebelah kiri!" seru Sindu mempersilahkan. Kalau biasanya dimulai dari depan, kali ini Sindu menggunakan lajur yang sedikit berbeda. "Silahkan sebut nama lengkap, asal fakultas dan tahun angkatan!" ujarnya kembali berseru. Jujur, Nada masih lumayan ngeblank. Belum apa-apa sudah tidak minat mengikuti workshop yang bahkan baru saja dimulai. Apakah dia bisa mundur dari kepanitiaan ini? Atau justru terus melangkah maju mengabaikan pria itu. Satu-satunya hal yang harus Nada ingat, bahwa mereka tidak mengenal sama sekali. Tetapi kenapa dipertemukan dengan keadaan yang membuatnya semakin ingin meneriakinya dengan perasaan marah. Dia sudah mengambil apa yang paling berharga dalam dirinya. "Nad, Nada, giliran kamu," kata Nimas sampai menyikutnya karena tidak fokus. Raganya di sana, tetapi pikirannya justru melang-lang entah ke mana. Gadis itu langsung tersadar dari lamunan sesaatnya, lalu segera menyerukan nama perkenalan yang cukup disimak Saga. Bahkan pria itu terlihat menatapnya begitu lekat. Entah itu perasaannya saja, atau dia yang terlalu parno efek insiden yang pernah mereka lalui. "Kurang keras, tolong ulangi!" seru pria itu sepertinya sengaja membuat Nada kesal. Sudah jelas dia berbicara dengan volume yang cukup jelas terdengar. "Nada Zachira Aryanto, fakultas Ekonomi, angka—" "Sudah cukup, silahkan sebelahnya," potong Saga tidak sopan sekali. Tadi menyuruh mengulang, sekarang seenak kata mengalihkannya. Gadis itu menghela napas panjang. Menelan ludah dengan sabar. Sadar betul dia dalam situasi yang mendadak diperhatikan. "Nad, sepertinya Bang Saga nandain kamu deh, sampai-sampai disuruh mengulang perkenalan," bisik Nimas mengerling. "Nggak mungkin lah, orang seperti dia notice ke aku," jawabnya yakin. Semakin mengenalnya, semakin tidak ingin dekat atau tahu tentang pria itu. Dia malah takut kalau diam-diam Saga menyadari Nada gadis yang bersamanya malam itu. Entah kenapa ada kesedihan yang tidak bisa Nada ungkapkan. Jelas dia marah, tetapi tidak sanggup berurusan dengannya biarpun telah dirugikan. Dia masih tidak menyangka kalau Kak Saga yang telah merampas Kegadisannya. Sepertinya pria itu baik-baik saja walaupun telah melakukan kesalahan yang begitu fatal terhadap dirinya. Jangan-jangan hal itu sudah terlalu biasa baginya. Usai perkenalkan, langsung dilanjutkan materi. Pria itu menjelaskan bagaimana gambaran ospek secara umum. Sekiranya apa yang akan mereka hadapi di lapangan. Semua diorasikan secara terperinci. Hati Nada masih terasa dongkol, tetapi justru telinganya menyimak dengan seksama. Walaupun pandangannya tidak berniat melihatnya secara jelas. Nada lebih memilih melihat ke arah white board di depan sana. Setiap bertemu tatap dengannya, hatinya berkecamuk tidak karuan. "Apa ada yang lebih menarik selain omongan saya di depan!" ujarnya setengah menyindir. Saat melirik wajahnya tak mendapati gadis itu memperhatikan dirinya. Apakah diam-diam Saga melihatnya. "Tolong perhatikan dan bila perlu catat semua point-pointnya. Saya tahu di sini kalian adalah mahasiswa terpilih dan dengan kesadaran penuh bersedia mengikuti. Jadi, bersikaplah tanggung jawab dan serius," seru pria itu yang lebih terasa terdengar sindiran bagi Nada. Acara berlangsung hingga sore hari. Nada memutuskan langsung pulang ke kosan. Hari ini terasa penat dan berat gegara bertemu dengannya kembali dalam satu sesi. Sesampainya di parkiran kampus, Nada mendapati sisi kiri, kanan dan depan motornya terhalang motor lain. Mana motor besar lagi, itu jelas menyulitkan dirinya mengeluarkan motor miliknya. "Ya ampun ... gimana ngeluarin motornya ini," gumam Nada kerepotan sendiri. Dia jelas kesulitan menggeser-geser motor lainnya. Perempuan itu pun celingukan mencari pertolongan. Belum ada tanda-tanda pemilik motor mendekati. Bagaimana dia pulang kalau begini. "Nyusahin banget sih motor siapa," gerutu gadis itu kesal. Mencoba menggeser tetep kewalahan sendiri. Perempuan itu menunggu dengan tidak sabar. Cukup lama juga tidak ada yang datang. "Kak Zian!" seru Nada menebalkan muka. Sesungguhnya dia malu sekali menghampiri anak BEM itu. "Iya, kenapa?" tanya pria itu ramah. "Bisa minta tolong," ujarnya tak ada pilihan. Dia pria yang Nada temui paling dekat dengan parkiran. Yang lainnya banyak, tetapi karena ini juga sudah sore tentu sudah pada pulang. "Apa?" katanya mengikuti arahannya. "Bisa keluarin motor ini nggak ya, aku nggak kuat mau geser-geser. Berat, mana yang punya siapa nggak tahu," tunjuk Nada penuh harap. "Oalah ... kamu Nada anak fekon?" tebak cowok itu membuatnya ngangguk. "Iya, kok tahu," jawabnya jadi salah tingkah. "Iya, kenalin, aku Zian, udah tahu ya." Zian mengulurkan tangannya tanda perkenalan secara spesifik. "Siapa sih yang nggak tahu Kakak," balas Nada tersenyum sembari menerima uluran tangannya. "Zi! Ngapain?" seru seorang pria menghampiri. Melihat Zian hampir menggeser motornya. "Ga, motor lo nih nanggung. Dia nggak bisa keluar." "Ya elah ... gua atasin," ujar pria itu meliriknya dingin. Entahlah, melihatnya kesal sekali sekaligus penasaran. Nada hanya diam saat pria itu memindah motornya. Setelahnya Zian dan Saga terlibat obrolan yang jelas-jelas mengabaikan Nada di sana. Sebenarnya dia ingin mengucapkan terima kasih pada Zian, tapi niatnya terhalang karena ada cowok brengsek itu. "Nada, udah mau pulang?" seru pria itu notice dengannya juga. "Iya Kak, makasih ya, Nada duluan," ujarnya mengangguk sopan. Sama sekali tidak berniat menatap pria di sampingnya yang jelas-jelas tengah menatapnya juga. Hatinya selalu membara setiap kali bertemu tatap dengannya. "Suka?" celetuk Saga demi melihatnya terus menatap hingga motor Nada berlalu. "Haha ...," jawab pria itu tersenyum. Tidak mengiyakan pun tidak menolak. "Hati-hati," kata pria itu mengarah ke Nada seolah tengah memperingatkan sahabatnya. Perkataan Saga membuat Zian bingung tentunya. Kenapa dia harus berhati-hati, apakah Nada gadis cukup berbahaya untuk didekati?"Ada apa? Cerita jangan diem aja.""Pulang sekarang, aku nggak mau di sini.""Kenapa sayang? Apa yang terjadi? Aku nggak mau pulang kalau kamu nggak jelas gini."Nada bukannya menjelaskan malah menangis sesenggukan. Rasanya sakit sekali dituduh seperti ini. Raisa benar-benar kemakan omongannya Aksa dan berhasil menciptakan prahara di antara keduanya. Saga yang melihat istrinya menangis tidak bisa berkata-kata. Bingung, pasalnya Nada tidak pernah seperti ini. "Kalau kamu nggak cerita, aku nggak tahu masalahnya apa," kata Saga sembari menarik beberapa lembar tisu lalu memberikannya. Sejenak membiarkan istrinya menangis, mengeluarkan uneg-uneg hatinya. Mungkin setelah ini Nada mau berbicara. "Tiba-tiba banget Raisa sinis ke aku, dia nuduh banyak hal. Mengira aku masih suka sama Aksa, bahkan yang mempengaruhi dia untuk tidak datang. Dia kaya marah banget sama aku, Mas, padahal aku nggak ngomong apa pun. Pasti ini kerjaannya Aksa, yang udah ngadu macem-macem.""Sialan Aksa, dia playing
Nada dan Saga sampai menepi agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain. Bagaimana pun, seharusnya keduanya tidak terlibat terlalu jauh urusan mereka, tetapi Aksa yang memancing perkara sendiri sampe belum datang di tengah acar yang begitu penting. Nada menceritakan perihal tadi sembari mengawasi Zea yang tengah bermain di sekitarnya. Dia tidak habis pikir kenapa Aksa jadi nekat begini. "Jangan datang, apalagi sendiri. Untuk apa dia meminta menemui, harusnya dia yang ke sini melangsungkan pernikahannya dengan Raisa. Minimal tanggung jawab jelasin kalau mau dibatalkan, jangan seenaknya begini membuat orang menunggu." "Tapi dia ngancem Mas, kayaknya Aksa tahu tentang masa lalu kita. Dia ngancem masalah itu, terus ngancem nggak mau datang juga kalau aku nggak datang." "Itu cuma akal-akalan dia saja, bisa jadi ini jebakan buat kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa, pokoknya nggak boleh nemuin Aksa." "Terus kalau dia beneran nggak datang gimana? Kasihan banget Raisa, past
Salah siapa dulu jahat, Nada memang sudah berdamai dengan masa lalunya, tetapi sejarah itu tak dapat dihapus dari ingatan. Sekarang hampir lupa dengan perlakuannya lantaran dia memberikan kasih sayang lebih dan terbukti menebusnya dengan limpahan kebaikan. "Zea, diajak Dek? Atau gimana?" tanya Saga memastikan. "Iya Mas, diajak aja, nanti kita bisa gantian jagain," ujar Nada membagi tugas. Kasihan kalau harus ditinggal-tinggal terus. Mereka tengah bersiap-siap ke acara walimahan sahabatnya. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Raisa. Walaupun kemarin sempat ragu dengan ucapan calon suaminya, Raisa menyakinkan diri untuk melanjutkan apa yang sudah direncanakan. Tentu saja karena semua persiapan hampir seratus persen, dan Raisa tidak mau mengecewakan orang tuanya.Raisa berharap kemarin hanya sebuah ucapan emosi sesaat. Setelah menikah mereka bisa saling terbuka dan belajar untuk saling mencintai."Cantik sekali," puji Nimas memperhatikan waja
Nada ragu-ragu untuk membukanya, tetapi karena penasaran akhirnya dia membuka pesan itu juga. Agak kaget juga dengan kalimat yang ditulis penuh nada perhatian itu. Pasalnya dia sendiri tidak pernah dulu mengirim pesan seakrab ini dengan dosennya. "Perhatian banget, emang gini ya cara mahasiswi menyampaikan terima kasih sama dosennya. Jaman aku dulu segan kali kalau tidak ada perlu," gumam Nada tak mau berpikiran buruk. Tidak mau kepikiran, nyatanya tetap kepikiran. Suaminya itu kan masih muda, tampan, dosen pula. Bisa jadi para mahasiswi bimbingannya itu sedikit banyak ada yang mengagumi. Jaman Nada kuliah dulu juga banyak fenomena seperti ini. Cuma tidak seberani itu sampai berkirim pesan segala. Apalagi yang tidak penting. "Eh, Buna sudah pulang." Saga dan Zea baru saja sampai. Dia baru saja memborong jajanan dari toko biru. "Iya, khawatir Zea rewel, ternyata malah pada nggak di rumah. Zea jajannya banyak banget." "Iya Bunda, Bunda mau," tawar gadis kecil itu membagi p
"Kalau ternyata telat gimana Mas?" tanya Nada khawatir. Dia merasa belum siap hamil lagi, jadi rasanya pasti akan sangat tidak nyaman. "Memangnya sudah telat berapa hari? Mau dianterin ke dokter saja?" tawar Saga mencari jalan yang terbaik. Kasihan juga kalau belum siap lahir batin, takutnya malah tertekan dengan keadaan. Dia juga harus memikirkan kesiapan calon ibu. "Baru beberapa hari, tapi biasanya kan udah tanggal segini. Mas sih waktu itu kelepasan, mana pas aku lagi subur lagi," ujar Nada mengingat tempo kemarin. Saga langsung merasa tidak nyaman melihat wajah merengut istrinya. Takut banget kalau membuat moodnya berantakan. "Maaf ya, lain kali aku akan lebih hati-hati. Belum tentu hamil, udah jangan mikirin yang belum terjadi. Bobo sayang, Zea sudah merem lagi tuh." "Nggak ngantuk, tadi kan sudah tidur," ujar wanita itu malah bangkit dari pembaringan. Padahal Saga sebenarnya sudah ngantuk. "Mau ke mana?" Saga ikut turun, mengekor istrinya yang berjalan menuju so
Sagara langsung pulang begitu urusannya di kampus selesai. Sedari tadi dia kepikiran rumah mengingat anaknya sedang sakit, ditambah telfon dan pesannya tadi tidak dibalas sama sekali. Mungkin saja Nada terlalu sibuk sehingga belum sempat menilik ponselnya. Pria itu sampai rumah mendapati ruangan yang berantakan. Bantal sofa tidak di tempatnya, kamar tidur yang belum dibereskan dan sprintilan mainan Zea yang lepas dari tempatnya. Ini pemandangan yang biasa sebenarnya, saat hari libur, rumah ini akan lebih berantakan karena dirinya menyaksikan langsung bagaimana putrinya berulah. Hanya saja Nada selalu telaten membereskannya. Namun, sore ini terlihat tidak tersentuh oleh tangan istrinya, dan Saga memahami itu. Saat pria itu membuka kamar putrinya, terlihat Nada tengah tidur di dekat Zea yang terlelap. Wajahnya terpantau begitu lelah, kasihan pasti seharian ini istrinya kecapean sampai ketiduran begitu tidak nyaman. Saga melangkah pelan menghampiri, mengulurkan punggung tangannya







