Home / Thriller / Senõrita Sang Vampir Mafia / 4. Menangislah, Selenia

Share

4. Menangislah, Selenia

last update Last Updated: 2025-03-04 20:28:34

"Mengapa nasibku begini? Mengapa aku bisa ada di sini? Apa salahku?"

Selenia duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Sudah berhari-hari ia disekap di tempat ini, dan tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan serta hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Namun, bukan berarti ia menyerah. Tidak. Dalam diam, ia mengamati, menganalisis. Jika Raven ingin mengujinya, maka ia akan melakukan hal yang sama.

Ia memperhatikan setiap kebiasaan pria itu, bagaimana Raven tidak pernah benar-benar meninggalkannya tanpa pengawasan, bagaimana setiap pintu yang ia lewati dikunci dengan sistem yang lebih kompleks dari yang terlihat. Tapi ada satu kelemahan, tangguhnya Raven sering kali disertai dengan kepercayaan dirinya yang berlebihan. Ia menganggap dirinya tak terkalahkan, dan itu bisa menjadi celah bagi Selenia.

Ketika Raven kembali malam itu dengan segelas anggur yang sama, Selenia sudah siap.

“Kau tahu? Aku hampir bosan melihatmu di sini” ujar Raven santai, mendekatkan gelas anggur ke bibir Selenia. Mata merahnya berkilat dalam cahaya redup.

"Tolong lepaskan aku sebentar saja. Tangan dan kakiku kebas, rasanya aku bisa mati karena peredaran darahku tak lancar"

"Mana mungkin kau mati hanya karena itu"

"Hey Tuan vampir, aku ini manusia biasa. Beda denganmu. Kami bisa mati dengan mudah, dan aku tahu karena aku ini Mahasiswi kedokteran"

Raven memutar bola mata malas, melepaskan Selenia dari belenggu dalam sekejap. Selenia cerewet, dan itu membuat telinganya gatal. Ia yakin gadis itu takkan bisa melarikan diri.

"Puas?"

Selenia hanya menatapnya, menyembunyikan niatnya di balik wajah datar. Ia mendekatkan wajah ke gelas anggur itu, pura-pura enggan, lalu menyesap sedikit.

“Begitu menurutmu?” tanyanya pelan, lidahnya menyapu sisa cairan di bibirnya. Ia bisa merasakan racun yang mulai meresap dalam aliran darahnya. Namun Selenia tahu racun itu takkan membunuhnya sekarang juga. Kali ini, ia yang akan mengendalikan permainan.

Beberapa menit berlalu, dan seperti yang ia harapkan, tubuhnya mulai melemah, atau setidaknya itulah yang ia tunjukkan.

Napasnya tersengal, tangannya gemetar. Ia menutup matanya seolah racun itu akhirnya bekerja.

Raven tersenyum tipis, berpikir bahwa eksperimennya akhirnya berhasil.

Namun, saat Raven mendekat untuk memeriksa, itulah saat Selenia bertindak.

Dengan gerakan cepat, ia menusukkan pecahan kaca dari gelas anggur yang telah ia pecahkan secara diam-diam ke lengan Raven.

"MATI KAU!"

Raven meringis.

Luka itu tidak akan bertahan lama bagi vampir, tetapi cukup untuk memberi Selenia waktu. Gadis itu bertindak cepat.

Selenia segera mengambil kunci dari saku Raven dengan kasar. Gadis bersurai putih itu berlari ke pintu, mengabaikan rasa mual akibat racun yang masih mengendap di tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Hanya ada hitungan detik sebelum Raven pulih sepenuhnya.

Saat kunci berputar dan pintu terbuka, ia melesat keluar tanpa menoleh ke belakang.

"Selenia"

---

Udara malam menggigit kulitnya ketika Selenia akhirnya mencapai hutan di luar kastil. Napasnya terengah, tubuhnya lelah, tetapi semangatnya tak luntur. Ia tahu Raven tidak akan tinggal diam.

Dan benar saja.

Suara langkah kaki berat di belakangnya membuatnya panik. Ia menoleh dan melihatnya—Raven, dengan wajah gelap dan ekspresi penuh amarah. Mata merahnya menyala di antara bayangan pohon-pohon besar.

“Selenia...”

Suara pria itu rendah, mengandung bahaya yang tak tersamarkan. Selenia selalu merinding kala mendengar suara Raven menyebut namanya.

“Kau benar-benar ingin membuatku marah, ya?”

Selenia menggertakkan giginya dan terus berlari. Ia mencoba memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan tubuhnya sendiri, mencoba mengendalikan adrenalinnya agar tetap bertahan. Namun, lawannya bukan manusia biasa.

Dalam sekejap, Raven sudah ada di hadapannya, menghalangi jalannya dengan postur dominan dan berbahaya. Selenia mencoba berbelok ke arah lain, tetapi tangannya telah dicengkeram dengan kasar.

“Kau pikir bisa kabur?” bisik Raven di telinganya, napasnya dingin seperti kematian.

Selenia meronta, memukuli pria itu. Menendang, meninju, bahkan menggigit tangannya. Akan tetapi, genggaman pria itu tak tergoyahkan. Dengan mudahnya, ia diseret kembali ke dalam pelukannya, tangannya ditarik ke belakang hingga ia meringis kesakitan.

"Kau akan kembali ke kastilku"

“A-aku lebih baik mati daripada kembali ke sana!” desisnya, masih berusaha melawan.

Raven tertawa sinis.

“Oh, sayangku, kau tak akan mati. Tidak di tanganku.”

Tanpa peringatan, ia mendorong Selenia ke batang pohon dengan kekuatan yang cukup untuk membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Selenia mengerang, tubuhnya terasa nyeri akibat benturan. Sebelum ia bisa bergerak, tangan dingin Raven telah mencengkeram dagunya, memaksanya menatap wajah pria itu.

“Kau telah membuatku kesal,” ujar Raven, ekspresinya gelap dan dingin.

“Tapi... aku suka melihat ekspresi itu di wajahmu.”

Selenia menggigit bibirnya, matanya berkilat dengan kemarahan dan ketakutan. Ia tahu Raven menikmati ini, perubahan ekspresinya, rasa sakitnya, ketidakberdayaannya.

Raven menekan kedua tangan Selenia ke batang pohon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyusup masuk ke dalam pakaian gadis itu. Membubuhkan cakaran kasar yang membekas di kulit halus dan putih sang hawa.

Mata merah itu mempelajari setiap gerakan kecilnya, setiap tarikan napasnya.

“Takut, marah, putus asa... semuanya sangat cantik di wajahmu.” Jarinya menelusuri pipi Selenia, sentuhan yang seharusnya lembut tetapi terasa seperti belenggu dingin yang tak bisa ia lepaskan.

Air mata menggenang di mata Selenia, tetapi ia menolaknya. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu.

Namun, Raven mempererat cengkeramannya pada rahang gadis itu, cukup kuat untuk membuatnya meringis.

“Menangislah, Selenia.”

Selenia menggeleng dengan keras, matanya menantang.

Raven menyeringai.

“Ah, tapi aku ingin melihat air mata itu.” Dengan satu gerakan cepat, ia menarik rambut Selenia ke belakang dengan kasar, memaksanya mendongak dan akhirnya, setetes air mata jatuh dari sudut mata gadis itu.

"Kau jahat" cicit Selenia.

Raven tersenyum puas.

“Cantik.”

Selenia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi tidak ada gunanya. Raven lebih kuat. Ia tahu ia telah kalah dalam pertarungan ini.

Raven menatapnya lama sebelum akhirnya berbisik di telinganya,

“Aku akan memastikan kau tidak pernah bisa kabur. Selamanya”

Kemudian, tanpa kata lain, ia menggigit leher pucat gadis itu dengan brutal, menghisap darahnya dengan penuh kenikmatan. Setelah puas, ia menyeret Selenia di sepanjang jalan penuh kerikil. Untuk kembali ke kastil, ke dalam kegelapan yang tidak bisa ia hindari.

Dan kali ini, ia tak ragu untuk membiarkan gadis itu lepas lagi. Karena ia tahu, sejauh apapun Selenia berlari dan mencoba lepas, pada akhirnya akan tertangkap olehnya. Bak kelinci kecil dalam perburuan, Raven sangat menikmatinya.

"Entah kapan terakhir kali, hidup rasanya semenyenangkan ini"

Melihat tubuh Selenia yang ia seret sepanjang jalan, Raven mengernyit. Berdarah, terluka. Tak langsung sembuh. Kemana hilangnya kekuatan titisan dewi itu? mengapa lukanya tak beregenerasi?

Raven suka bermain-main dengan bahaya. Dan Selenia berbahaya, karena diramalkan sebagai pembunuhnya kelak, bukan?

Dan Raven takut mainan kecilnya rusak.

Karena itulah, Vampir tersebut mengangkat tubuh mungil Selenia yang seringan bulu baginya. Sepanjang jalan, ia menggigiti setiap bagian tubuh Selenia yang bisa dijangkau oleh mulutnya, bak camilan. Padahal vampir sepertinya bisa tiba di kastil dalam sekejap, namun ia memilih berjalan santai dengan kecepatan manusia. Ia ingin menikmati Selenia sepenjang jalan.

Menatap miris wajah letih Selenia di gendongannya, Raven berdecih dengan maksud menghina.

Kasihan, tubuh sekecil itu harus melawan vampir dengan tubuh kekar berkekuatan setara lima puluh orang dewasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    71. Delusional

    Malam tiba tanpa memberi kabar. Langit kini telah sepenuhnya gelap, namun seorang wanita bersurai putih pendek dengan gaun marun mengendap-endap keluar dari sebuah mansion raksasa.Selenia Vanderbilt.Wanita itu celingukan, memastikan segalanya aman. Sebelum akhirnya berjalan keluar dengan cepat.Dingin menusuk kulitnya, namun Selenia tak peduli. Napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk melarikan diri. Dengan langkah ringan namun tergesa, ia menyusuri halaman bersalju. Rantai yang dulu melilit pergelangan tangannya kini tak ada lagi, berkat kewaspadaannya yang meningkat setiap hari. Ia telah menyiapkan ini. Satu langkah lagi. Namun, sebelum ia benar-benar bisa merasakan kebebasan, suara familiar membekukan tubuhnya di tempat. "Satu langkah lagi, dan aku akan patahkan kedua kakimu, sayang." Darah Selenia seolah menguap. Dengan sangat pelan, ia menoleh ke belakang. Seorang pria berdiri di ambang pintu mansion, bers

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    70. Sesuatu Yang Asam

    Selenia gemetar."Tidak... Aku tidak bisa..." Namun tubuhnya berkata lain. Ia haus. Ia butuh. Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia akan menyerah.Di tengah dilema itu, Selenia tetap menolak fakta.Ia tak ingin meminum darah, tak ingin menjadi seperti Raven.Wanita itu terguncang, keadaannya saat ini benar-benar membingungkan. Tanpa sadar, ia mulai menangis."Sialan... Aku tak mau meminum darah... Kenapa tidak kau saja yang mengandung sih?" Gerutunya dengan nada frustasi.Raven mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh."Lucu sekali, sayang. Aku yakin aku akan terlihat menggemaskan dengan perut membesar." Selenia mendengus frustrasi, sementara air matanya tetap mengalir. Ia menggigit bibirnya, menolak untuk membuka mulut, meskipun rasa haus itu semakin menyiksa. Tubuhnya mulai gemetar, dan pandangannya berkunang-kunang. Raven mengamatinya dalam diam, senyum tipis tersungging di wajahnya."Kau keras kepala, sepertinya Selenia-ku yang dulu sudah kembali," gumamnya. Tiba-tiba, ia berge

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    69. Darah

    Selenia terbangun dengan tarikan napas tajam. Rasa sakit langsung menyerangnya dari segala penjuru. Perutnya, tubuhnya yang lemah, luka-lukanya yang terbuka. Pandangannya buram, tetapi ia bisa mencium bau logam yang tajam. Darah. Tangannya menyentuh perutnya yang masih ada kehangatan samar di dalamnya, masih bertahan.Dan Selenia merasakan jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup. Selenia mengerang, mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia merasa lemas, namun tak ada pilihan lain. Perlahan, ia memaksa dirinya bangkit, meski nyeri menyerangnya tanpa ampun. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Lucas sudah mengorbankan nyawanya untuknya. Ia akan membalas semua ini. Dengan atau tanpa bantuan siapa pun.Raven berdiri di ambang pintu, menatap tubuh Selenia yang seolah berusaha bangkit dari genangan darahnya sendiri. Matanya yang berkilat merah gelap tak menampilkan emosi yang mudah dibaca, tapi cengkeraman tangannya pada kusen pintu mengkhianati sesuatu. Kemarahan, frustrasi, atau mungkin.

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    68. Pulanglah, Len.

    Raven berjalan cepat, nyaris seperti bayangan yang melintas di lorong-lorong mansion. Derak rantai yang mengikat Selenia kini bersatu dengan suara langkahnya yang berat. Tangan yang menekan luka di perut wanita itu semakin berlumuran darah, tapi Raven tidak peduli. Ia menerobos masuk ke salah satu kamar yang lebih hangat, menendang pintu hingga terbuka lebar. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih menyambutnya, tapi Raven hanya peduli pada satu hal, menjaga wanita itu tetap hidup. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkan Selenia di ranjang, jari-jarinya bergerak cepat untuk menyingkirkan rambut yang menempel di wajahnya. "Sialan..." gumamnya, nada suaranya kasar namun terdengar begitu marah pada dirinya sendiri. Ia berbalik, menggapai lonceng kecil di atas meja, membunyikannya dengan kasar. Tak butuh waktu lama sebelum seorang pria tua dengan pakaian rapi muncul dari balik pintu. "Dokter," suara Raven penuh perintah, dingin, dan tak terbantahkan. Pria tua itu hanya perlu

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    67. Anggur Dan Darah

    Raven berdiri kaku, menatap Selenia yang kini terpuruk di lantai. Tangis tanpa suara itu lebih menyakitkan daripada jeritan atau makian apa pun yang pernah ia dengar darinya. Dadanya terasa sesak, ada sesuatu yang menghimpit di sana, sesuatu yang tak ingin ia akui. Ia harusnya merasa puas. Bukankah ini yang ia inginkan? Selenia dalam genggamannya, tak bisa lari, tak bisa melawan, tak bisa mencintai pria lain selain dirinya? Lalu kenapa perasaan ini terasa… salah? Tangan Raven mengepal, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Ia mencoba menenangkan diri, membungkus emosinya dalam dingin yang selama ini menjadi tamengnya. Tapi tatapan kosong Selenia menusuk ke dalam dirinya, merusak ilusi kepemilikan yang selama ini ia agung-agungkan. Kemarahan, frustrasi, dan… sesuatu yang menyerupai rasa bersalah berputar dalam kepalanya. Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya rapuh. Kebingungan itu ia kubur dalam-dalam. Jika ia harus menjadi monster agar Selenia tetap di sisin

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    66. Hadiah Penuh Duka

    Jantung Selenia berdegup lebih kencang. Dingin menjalari tubuhnya. Ia bisa merasakan ketakutan mencekiknya. Jika kemungkinan itu benar, maka ini bukan lagi sekadar mimpi buruk. Ini adalah neraka tanpa jalan keluar."Hah! Itu mustahil... Aku.. Tidak, aku harus memastikannya dulu.." Racau Selenia.Raven tertawa kecil, sebuah suara rendah yang terdengar lebih seperti ejekan daripada hiburan."Memastikannya?" ulangnya, masih dengan cengkeraman di dagu Selenia, mempermainkannya seolah wanita itu hanyalah boneka porselen rapuh yang berada sepenuhnya dalam genggamannya. Selenia menepis tangannya dengan kasar, terengah. Napasnya berat, dadanya naik turun dalam kepanikan. Baru terlewat dua minggu sejak kejadian mengerikan selama tiga hari yang dialaminya, mana mungkin..."Aku... Aku butuh waktu," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya mencengkeram perutnya, masih berusaha memahami segala kemungkinan yang berputar liar di kepalanya. "Tidak ada waktu untuk kebimbangan, sayang," suara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status