Share

5. Titisan Dewi?

Penulis: Zenareth-Gdnvl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 16:23:36

"Lelah."

Selenia terbaring lesu di dinding batu yang dingin, tubuhnya masih tertinggal bekas-bekas perlawanan yang sia-sia melawan Raven. Setiap sendi, setiap serat ototnya seolah-olah berteriak dalam penderitaan, namun di balik kesakitan itu, ada percikan keberanian yang masih tersisa. Di ruang tahanan kastil Raven yang suram, waktu seakan berjalan lambat, menghitung detik-detik penderitaan dan penantian yang tiada henti.

Raven telah membawa Selenia ke sebuah ruangan yang berbeda, lebih sempit dan kelam, di mana cahaya lilin hanya menari-nari di dinding dengan bayangan yang menyeramkan. Kali ini, Selenia tidak lagi diizinkan untuk duduk atau berbaring dengan nyaman, ia hanya dibelenggu menempel ke dinding dengan tangan dan kaki yang terikat erat, sebuah posisi yang memaksa ia menyaksikan setiap gerakan sang vampir dengan mata yang penuh perlawanan.

Raven mendekati dengan langkah yang berat, namun setiap langkahnya dipenuhi dengan keangkuhan dan kekejaman. Tatapannya tajam menelusuri tubuh Selenia yang rapuh, sesekali tersipu geli oleh tingkah-tingkah kecil gadis itu, meski di tengah penderitaan. Ada momen ketika Selenia, dalam kelelahan, menggumam kata-kata sinis tentang keanehan nasibnya

"Sialan, katanya aku gadis titisan dewi, malah terjebak seperti boneka santet yang tak berdaya." Mendengar itu, Raven sesaat tak bisa menahan tawa kecil yang menggelegar dalam hati yang kejam. Baginya, tingkah laku Selenia yang kadang lucu dan menyentak itu menjadi hiburan tersendiri di tengah kegelapan tak berujung.

“Apa, kau pikir dunia ini adil, Selenia? Bahwa dewi Librae akan melindungimu?” tanya Raven dengan nada mengejek, sambil mendekat dan menyeka sisa darah di pipi Selenia dengan ujung jarinya yang dingin. Suaranya tidak lagi manis, melainkan kasar, penuh dengan ejekan yang menusuk.

---

Di sudut ruangan yang remang-remang, bayangan masa lalu dan takdir mulai terbuka. Raven memandang ke langit-langit sejenak, seolah mencari jawaban dalam keheningan. Dalam benaknya, terbayang sosok yang telah lama menjadi momok dan sekaligus simbol penghakiman.

Dewi Librae.

Raven pernah menyimpan dendam yang mendalam terhadap Librae. Konon, ratusan tahun lalu, ketika kekuasaan dunia gelap masih dipertaruhkan dalam peperangan antara makhluk fana dan dewa-dewi, Raven pernah mencoba menentang kehendak Librae. Ia merasa bahwa keadilan yang diwakili oleh sang dewi hanyalah kepalsuan yang membelenggu kekuatan sejati, yaitu kekuasaan tanpa batas.

"Wahai dewi penghakiman, bukankah keadilan hanyalah bualan semata? buktinya Engkau ada di dunia ini, memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa, sedang manusia rendahan begitu lemah. Bukankah itupun bentuk ketidak adilan? Hamba juga ingin kekuasaan tanpa batas"

"Sungguh lancang nian engkau Raven, mempertanyakan kekuasaanku. Baiklah, aku akan meminta pada sang pencipta kekuasaan yang luas bagimu di bumi, namun kau akan hidup bak penghuni neraka"

"Apa maksud anda, Dewi?"

"Kesepian dan duka akan menjadi sahabat karibmu, Raven"

Sejak saat itu, setiap hela nafas Raven dipenuhi dengan kebencian terhadap Librae, meski di saat bersamaan ia juga merasa terpikat oleh kekuatan ilahi yang menyelimuti dewi tersebut. Ironisnya, darah Selenia, yang diyakini sebagai titisan Librae, adalah pengingat hidup akan takdir yang ia coba hindari.

Keabadian yang sepi dan Kematian yang menyakitkan.

Librae menghadiahkan Raven dengan keabadian yang didambakannya, harusnya itu berkah. Namun Dewi penghakiman itu berseru bahwa keabadian Raven akan dipenuhi kesepian dan kematiannya akan sangat menyakitkan kala ia menemukan arti hidupnya kelak.

“Librae… kau pikir engkau bisa menghakimiku dengan peraturan surgawi itu?” bisik Raven pelan pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada bayangan sang dewi yang hanya bisa didengar oleh hati yang tersiksa. Namun, di sisi lain, ada benih keingintahuan, apakah benar Selenia, gadis yang terikat di dinding ini, adalah perwujudan dari keagungan dan keadilan sang dewi? Apakah dalam dirinya tersembunyi kekuatan yang mampu mengguncang dunia kegelapan Raven?

Selenia, di balik mata yang basah dan penuh penderitaan, juga tak lepas dari pengaruh dewi tersebut. Sejak kecil, ia mendengar bisikan tentang titisan Librae, sebuah kepercayaan yang selalu ia tolak dengan nalar kedokterannya. Namun, saat racun yang seharusnya mematikannya justru membuatnya bangkit, ia mulai mempertanyakan segalanya. Adakah benih keilahian yang menunggu untuk bangkit? Ataukah ini hanya ilusi dari sistem tubuh yang belum sepenuhnya hancur?

Raven mendekat kembali, kali ini dengan tujuan yang lebih gelap. Ia mengulurkan tangan kekarnya ke wajah Selenia, menyentuh bibirnya yang basah oleh air mata dengan kejam.

“Lihatlah, titisan Librae. Betapa lemah engkau. Begitu rapuh, namun sangat menggoda,” ucapnya dengan nada serakah, sementara matanya menyala merah seperti bara api. Dalam sekejap, ia menundukkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh kulit Selenia yang halus, lalu perlahan menghisap darah dari sudut bibir gadis itu.

Di saat itulah, seluruh dunia Raven seolah membeku. Ia merasakan aliran darah Selenia menyatu dengan dirinya, setiap tetesnya seakan membawa keajaiban sekaligus kutukan. Rasanya seperti melarutkan segala penolakan, menghadirkan kenikmatan yang pahit dan manis bersamaan. Darah itu memiliki aroma yang khas, seperti embun pagi di ladang yang basah, namun dengan sentuhan kematian yang selalu mengintai.

“Ini… ini lebih dari sekadar darah,” gumam Raven, suaranya pecah oleh emosi campuran antara kekejaman dan keinginan yang mendalam.

“Dalam darahmu, ada kebangkitan yang kutakuti, dan sekaligus aku yang sangat menginginkannya.”

Raven merasakan getaran aneh di seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap tetes darah Selenia memanggil kenangan masa lalu, tentang waktu ketika ia masih berjuang melawan kekuasaan dewi, dan bagaimana Librae pernah menghukumnya dengan keadilan yang kejam. Namun di balik kepedihan itu, ada pula secercah kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia membiarkan darah mengalir, menikmati setiap momen di mana ia merasa menjadi pemilik sejati atas takdirnya, sekaligus menggores luka dalam pada dirinya sendiri.

“Sungguh, betapa lucunya nasibmu, Selenia,” lanjut Raven, nada suaranya berubah menjadi kasar dan tak tertahankan.

“Kau mencoba melawan, mencoba kabur seperti manusia yang putus asa, dan justru membuatku semakin haus. Aku tak akan membiarkan kekonyolanmu itu berlalu begitu saja.”

Meskipun Selenia berusaha menolak, tubuhnya tak lagi mampu menampung perlawanan. Dalam keputusasaan, ia memuntahkan kata-kata tajam,

“Kau ini… kau bodoh atau bagaimana?! aku tidak memiliki hubungan dengan ramalan, kau, ataupun dewi gilamu itu!” Namun, ucapannya hanya tertelan oleh keheningan gelap ruangan.

Raven tertawa terbahak-bahak, namun tawa itu bukanlah tawa kebahagiaan. Tawa itu adalah cerminan dari jiwa yang terluka dan penuh dendam.

“Librae? Engkau masih tak mempercayai tentang keberadaan dewi itu?” tanyanya dengan sinis.

“Dengarkan aku. Librae bukanlah sosok yang lemah. Dia adalah penguasa keadilan, yang mengatur neraca dunia. Tapi, seperti yang kau tahu, dunia ini tidak adil bagi makhluk sepertiku. Aku adalah bayang-bayang yang selalu tertinggal, selalu dihina oleh cahaya yang seharusnya melimpah. Aku benci dia, namun di saat yang sama, aku tak bisa lepas dari pesonanya.”

Tatapan Raven menggelap. Pria itu menekan tubuh Selenia ke dinding dengan tubuh besarnya, menghimpit tubuh mungil yang tak seberapa itu. Di mata rubi sang Vampir, muncul sekelebat kabut nafsu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    38. Remuk Redam

    Sementara itu, di lain sisi.... "Jadi dia SERING MENGGIGITMU?!" Tanya Lucas dengan amarah yang meluap. Selenia mengusap pelan dada suaminya, keduanya kini berada di dalam mobil yang melaju menuju kediaman Vanderbilt. "Yah, begitulah. Lagipula-" "AKU AKAN MEMBUNUHNYA! BERANINYA DIA MENYENTUH ISTRIKU!" "Sudahlah, Luke. Dia sudah tersegel. Oh iya!" Selenia merogoh saku mantel hitamnya, mengeluarkan sebuah syal berwarna biru tua dengan paduan putih. Syal yang rampung dengan sempurna, dirajut dengan cinta dan sepenuh hati. Bukan seperti milik Raven, yang bahkan tak rampung. "Untuk suamiku tercinta" Selenia tersenyum tulus. Lucas menerima pemberian istrinya dengan mata berkaca-kaca. Pria itu segera memeluk istri yang selama ini diculik, jauh darinya. "Terimakasih sayang" Pria itu memeluk hangat istrinya, mendekap wajah putih itu di dadanya. Sementara tatapannya tajam, memandang ponsel di tangan kanan. Sebuah perintah pada bawahannya terkirim dan baru saja akan dilaksanakan.

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    37. Pengkhianatan

    Raven memperhatikannya tanpa suara. Nafasnya nyaris tak terdengar, tubuhnya tetap membatu di tempatnya berdiri. Ia tidak percaya pada permohonan, pada harapan, atau pada keajaiban. Tapi melihat Selenia berdiri di tengah hamparan putih, dengan mata terpejam dan tangan yang tertangkup seperti seorang suci yang tengah berdoa—ia tak bisa mengalihkan pandangan. "Apa yang kau harapkan, Selenia?" suara beratnya akhirnya pecah dalam dinginnya udara. Selenia tidak langsung menjawab. Ia tetap dalam posisi itu, membiarkan angin menyentuh wajahnya, membiarkan dingin merayapi kulitnya. Lalu, perlahan, bibirnya yang merah ceri bergerak. "Sebuah keajaiban," katanya pelan. Mata birunya terbuka, bertemu dengan sepasang mata merah yang masih mengawasinya. "Sesuatu yang bisa mengembalikanku pada hidupku yang dulu." Raven menatapnya lama, lalu tersenyum miring. "Kau selalu memohon hal yang mustahil?" Selenia terkekeh pelan. "Boleh saja, kan?" Wanita itu segera menatap Raven dengan waj

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    36. Salju Pertama

    Raven mendengus, separuh geli, separuh kesal. "Kalau butuh satu tahun, aku bisa saja membekukanmu di ruang bawah tanah sampai selesai," gumamnya dengan nada setengah bercanda. Selenia mendelik tajam."Silakan coba," tantangnya, meski tubuhnya sudah sedikit bergidik membayangkan kemungkinan itu. Raven hanya tersenyum miring."Aku lebih suka melihatmu meringkuk di sofa seperti anak kucing kedinginan." Selenia menghela napas panjang, memilih untuk mengabaikan ucapannya. Ia kembali merajut, sementara Raven tetap bersandar, memperhatikannya dengan mata yang berkilat-kilat dalam gelapnya malam.Keheningan menyergap. Selenia merasa tak nyaman menyadari vampir itu masih memperhatikan kegiatannya."Kau mau aku menambahkan detail kecil di syalmu?" Tanyanya, memecah keheningan.Raven mengangkat sebelah alisnya, sedikit terkejut karena Selenia yang lebih dulu membuka percakapan. "Detail kecil?" ulangnya, suaranya terdengar malas namun tetap penuh perhatian. Selenia mengangguk, jari-ja

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    35. Hadiah untuk Vampir

    "Ingin... Melarikan diri?" Selenia membeo ucapan Raven. "Maunya sih begitu, tapi aku yakin itu sia-sia. Aku tahu kau akan menikmatinya, dan aku tak ingin memberimu kepuasan saat memburuku" Selenia menatap dedaunan yang gugur. Matanya menunjukkan kesenduan. "Aku akan bertanya satu hal yang serius padamu" Wanita itu menatap langsung ke mata merah delima pria di hadapannya, mata yang selalu membuatnya bergidik ngeri. "Apa sejauh ini... kau memiliki niat untuk membunuhku? Atau memanfaatkanku?" Raven terdiam, menatap Selenia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang mulai gundul. Lalu, pria itu menyeringai tipis. "Sebuah pertanyaan yang menarik," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati permainan catur yang menantang. "Tapi apakah jawaban yang jujur akan membuatmu lebih tenang atau justru lebih takut?" Selenia tetap menatapnya, tak bergeming. Raven menghela nap

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    34. Akhir musim gugur

    "Lapar." Raven sangat lapar malam ini. Aroma darah menguar di seluruh kastil. Selenia tengah menstruasi, dan sialnya itu adalah malapetaka bagi Raven. Penciumannya yang jauh lebih tajam dari manusia tentu membuatnya mampu mencium aroma darah Selenia. Ia melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti sejenak. Vampir itu mendapati Selenia tengah duduk santai di sofa ruang tengah, merajut syal yang tak kunjung rampung. Melihat wanita itu menggelung rambutnya, Raven menelan saliva dengan kasar. Lihatlah leher putih nan jenjang milik sang hawa, Raven sangat ingin menggigitnya dan merasakan darah mengalir ke mulutnya. "Sedang apa disana?" Ucap Selenia tanpa menoleh, menyadari derap langkah Raven yang terhenti. Raven tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada denyut halus di leher Selenia yang terekspos, bergerak seiring aliran darah di bawah kulitnya. Napasnya sedikit berat, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Godaan ini hampir menyiksa. Sial. “S

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    33. Barang Rahasia

    Pagi yang sejuk, dengan cuaca berawan.Selenia duduk di taman belakang kastil seorang diri. Rambut putih panjangnya tergerai bebas, tak lagi tertata dengan rapi. Tangannya masih sibuk merajut syal."Aku tidak bisa menentukan panjang syal yang pas kalau Lucas tidak ada disini... Bagaimana caranya aku mengukurnya?" Gumam Selenia pada dirinya sendiri.Sebuah daun kering gugur, bergerak lembut dan tersangkut di rambut putih Selenia. Namun wanita itu tak menyadarinya.Selenia menghela napas, menatap rajutannya dengan ekspresi tak puas. Ia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk ini, tapi tanpa Lucas, semuanya terasa setengah hati. Sambil terus menggerakkan hakpen di jemarinya, ia melirik ke langit yang mendung. Musim dingin sebentar lagi datang. Syal ini harus selesai sebelum saat itu tiba, agar Lucas bisa memakainya. Tiba-tiba, hembusan angin mengusik ketenangannya. Ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status