"Lelah."
Selenia terbaring lesu di dinding batu yang dingin, tubuhnya masih tertinggal bekas-bekas perlawanan yang sia-sia melawan Raven. Setiap sendi, setiap serat ototnya seolah-olah berteriak dalam penderitaan, namun di balik kesakitan itu, ada percikan keberanian yang masih tersisa. Di ruang tahanan kastil Raven yang suram, waktu seakan berjalan lambat, menghitung detik-detik penderitaan dan penantian yang tiada henti. Raven telah membawa Selenia ke sebuah ruangan yang berbeda, lebih sempit dan kelam, di mana cahaya lilin hanya menari-nari di dinding dengan bayangan yang menyeramkan. Kali ini, Selenia tidak lagi diizinkan untuk duduk atau berbaring dengan nyaman, ia hanya dibelenggu menempel ke dinding dengan tangan dan kaki yang terikat erat, sebuah posisi yang memaksa ia menyaksikan setiap gerakan sang vampir dengan mata yang penuh perlawanan. Raven mendekati dengan langkah yang berat, namun setiap langkahnya dipenuhi dengan keangkuhan dan kekejaman. Tatapannya tajam menelusuri tubuh Selenia yang rapuh, sesekali tersipu geli oleh tingkah-tingkah kecil gadis itu, meski di tengah penderitaan. Ada momen ketika Selenia, dalam kelelahan, menggumam kata-kata sinis tentang keanehan nasibnya "Sialan, katanya aku gadis titisan dewi, malah terjebak seperti boneka santet yang tak berdaya." Mendengar itu, Raven sesaat tak bisa menahan tawa kecil yang menggelegar dalam hati yang kejam. Baginya, tingkah laku Selenia yang kadang lucu dan menyentak itu menjadi hiburan tersendiri di tengah kegelapan tak berujung. “Apa, kau pikir dunia ini adil, Selenia? Bahwa dewi Librae akan melindungimu?” tanya Raven dengan nada mengejek, sambil mendekat dan menyeka sisa darah di pipi Selenia dengan ujung jarinya yang dingin. Suaranya tidak lagi manis, melainkan kasar, penuh dengan ejekan yang menusuk. --- Di sudut ruangan yang remang-remang, bayangan masa lalu dan takdir mulai terbuka. Raven memandang ke langit-langit sejenak, seolah mencari jawaban dalam keheningan. Dalam benaknya, terbayang sosok yang telah lama menjadi momok dan sekaligus simbol penghakiman. Dewi Librae. Raven pernah menyimpan dendam yang mendalam terhadap Librae. Konon, ratusan tahun lalu, ketika kekuasaan dunia gelap masih dipertaruhkan dalam peperangan antara makhluk fana dan dewa-dewi, Raven pernah mencoba menentang kehendak Librae. Ia merasa bahwa keadilan yang diwakili oleh sang dewi hanyalah kepalsuan yang membelenggu kekuatan sejati, yaitu kekuasaan tanpa batas. "Wahai dewi penghakiman, bukankah keadilan hanyalah bualan semata? buktinya Engkau ada di dunia ini, memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa, sedang manusia rendahan begitu lemah. Bukankah itupun bentuk ketidak adilan? Hamba juga ingin kekuasaan tanpa batas" "Sungguh lancang nian engkau Raven, mempertanyakan kekuasaanku. Baiklah, aku akan meminta pada sang pencipta kekuasaan yang luas bagimu di bumi, namun kau akan hidup bak penghuni neraka" "Apa maksud anda, Dewi?" "Kesepian dan duka akan menjadi sahabat karibmu, Raven" Sejak saat itu, setiap hela nafas Raven dipenuhi dengan kebencian terhadap Librae, meski di saat bersamaan ia juga merasa terpikat oleh kekuatan ilahi yang menyelimuti dewi tersebut. Ironisnya, darah Selenia, yang diyakini sebagai titisan Librae, adalah pengingat hidup akan takdir yang ia coba hindari. Keabadian yang sepi dan Kematian yang menyakitkan. Librae menghadiahkan Raven dengan keabadian yang didambakannya, harusnya itu berkah. Namun Dewi penghakiman itu berseru bahwa keabadian Raven akan dipenuhi kesepian dan kematiannya akan sangat menyakitkan kala ia menemukan arti hidupnya kelak. “Librae… kau pikir engkau bisa menghakimiku dengan peraturan surgawi itu?” bisik Raven pelan pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada bayangan sang dewi yang hanya bisa didengar oleh hati yang tersiksa. Namun, di sisi lain, ada benih keingintahuan, apakah benar Selenia, gadis yang terikat di dinding ini, adalah perwujudan dari keagungan dan keadilan sang dewi? Apakah dalam dirinya tersembunyi kekuatan yang mampu mengguncang dunia kegelapan Raven? Selenia, di balik mata yang basah dan penuh penderitaan, juga tak lepas dari pengaruh dewi tersebut. Sejak kecil, ia mendengar bisikan tentang titisan Librae, sebuah kepercayaan yang selalu ia tolak dengan nalar kedokterannya. Namun, saat racun yang seharusnya mematikannya justru membuatnya bangkit, ia mulai mempertanyakan segalanya. Adakah benih keilahian yang menunggu untuk bangkit? Ataukah ini hanya ilusi dari sistem tubuh yang belum sepenuhnya hancur? Raven mendekat kembali, kali ini dengan tujuan yang lebih gelap. Ia mengulurkan tangan kekarnya ke wajah Selenia, menyentuh bibirnya yang basah oleh air mata dengan kejam. “Lihatlah, titisan Librae. Betapa lemah engkau. Begitu rapuh, namun sangat menggoda,” ucapnya dengan nada serakah, sementara matanya menyala merah seperti bara api. Dalam sekejap, ia menundukkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh kulit Selenia yang halus, lalu perlahan menghisap darah dari sudut bibir gadis itu. Di saat itulah, seluruh dunia Raven seolah membeku. Ia merasakan aliran darah Selenia menyatu dengan dirinya, setiap tetesnya seakan membawa keajaiban sekaligus kutukan. Rasanya seperti melarutkan segala penolakan, menghadirkan kenikmatan yang pahit dan manis bersamaan. Darah itu memiliki aroma yang khas, seperti embun pagi di ladang yang basah, namun dengan sentuhan kematian yang selalu mengintai. “Ini… ini lebih dari sekadar darah,” gumam Raven, suaranya pecah oleh emosi campuran antara kekejaman dan keinginan yang mendalam. “Dalam darahmu, ada kebangkitan yang kutakuti, dan sekaligus aku yang sangat menginginkannya.” Raven merasakan getaran aneh di seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap tetes darah Selenia memanggil kenangan masa lalu, tentang waktu ketika ia masih berjuang melawan kekuasaan dewi, dan bagaimana Librae pernah menghukumnya dengan keadilan yang kejam. Namun di balik kepedihan itu, ada pula secercah kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia membiarkan darah mengalir, menikmati setiap momen di mana ia merasa menjadi pemilik sejati atas takdirnya, sekaligus menggores luka dalam pada dirinya sendiri. “Sungguh, betapa lucunya nasibmu, Selenia,” lanjut Raven, nada suaranya berubah menjadi kasar dan tak tertahankan. “Kau mencoba melawan, mencoba kabur seperti manusia yang putus asa, dan justru membuatku semakin haus. Aku tak akan membiarkan kekonyolanmu itu berlalu begitu saja.” Meskipun Selenia berusaha menolak, tubuhnya tak lagi mampu menampung perlawanan. Dalam keputusasaan, ia memuntahkan kata-kata tajam, “Kau ini… kau bodoh atau bagaimana?! aku tidak memiliki hubungan dengan ramalan, kau, ataupun dewi gilamu itu!” Namun, ucapannya hanya tertelan oleh keheningan gelap ruangan. Raven tertawa terbahak-bahak, namun tawa itu bukanlah tawa kebahagiaan. Tawa itu adalah cerminan dari jiwa yang terluka dan penuh dendam. “Librae? Engkau masih tak mempercayai tentang keberadaan dewi itu?” tanyanya dengan sinis. “Dengarkan aku. Librae bukanlah sosok yang lemah. Dia adalah penguasa keadilan, yang mengatur neraca dunia. Tapi, seperti yang kau tahu, dunia ini tidak adil bagi makhluk sepertiku. Aku adalah bayang-bayang yang selalu tertinggal, selalu dihina oleh cahaya yang seharusnya melimpah. Aku benci dia, namun di saat yang sama, aku tak bisa lepas dari pesonanya.” Tatapan Raven menggelap. Pria itu menekan tubuh Selenia ke dinding dengan tubuh besarnya, menghimpit tubuh mungil yang tak seberapa itu. Di mata rubi sang Vampir, muncul sekelebat kabut nafsu.Salju yang tersisa menutupi tanah seperti selimut tipis, mencair perlahan di bawah sinar matahari yang mulai menghangat. Udara masih menggigit, tetapi angin yang berhembus tak lagi sekejam sebelumnya. Musim dingin akan segera berakhir, digantikan oleh awal musim semi yang baru. Di taman belakang mansion, dua sosok terlihat di antara pohon-pohon yang daunnya belum kembali. Selenia duduk di bangku kayu dengan kedua tangan bertumpu pada perutnya yang semakin besar. Usia kandungannya kini dapat terlihat dari ukuran perutnya, dan gerakan sang bayi mulai terasa. Gaun hangat membalut tubuhnya, dan mantel bulu menyelimuti bahunya. Napasnya membentuk uap tipis di udara saat ia menghela napas panjang. Raven berdiri tak jauh darinya, bersandar pada pohon dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengenakan mantel gelap dengan syal tersampir longgar di lehernya. Kedua tangannya tersimpan di saku celana, tetapi sesekali pandangannya melirik ke arah wanita yang sedang membelai perutnya itu. "Aku in
Malam itu, salju turun lebih lebat dari biasanya. Api di perapian berkobar pelan, menciptakan kehangatan yang kontras dengan hawa dingin di luar jendela. Selenia duduk di sofa panjang dengan selimut menutupi kakinya, sementara Raven berdiri di dekat jendela, tangannya menyelip di saku celana panjangnya. Tak ada suara selain api yang berderak dan detik jam yang berdenting pelan. “Sudah semakin besar,” gumam Selenia tiba-tiba, matanya menatap kosong ke arah perutnya yang semakin membesar. Raven meliriknya sekilas.“Dan?” Selenia mendesah.“Kita belum membahas nama.” Pria itu diam sejenak, lalu berbalik, berjalan mendekat hingga akhirnya duduk di kursi di seberangnya.“Kau ingin memberi nama seperti apa?” tanyanya, suaranya datar seperti biasa. Selenia menatapnya lama, sebelum tersenyum miring.“Kau serius bertanya? Kukira kau akan langsung memaksakan nama yang kau inginkan.” Raven menyandarkan punggungnya, menatapnya tanpa ekspresi.“Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan lebih du
Suatu malam, di dalam kamar... Selenia sedang duduk di tempat tidur, membaca sebuah buku, ketika ia merasakan sesuatu. Gerakan kecil. Selenia terdiam. Tangannya secara refleks bergerak ke perutnya. Lagi. Kali ini lebih jelas. Ia menelan ludah, perasaannya campur aduk. Tanpa sadar, bibirnya sedikit melengkung ke atas. Namun, senyum itu lenyap saat pintu kamar terbuka, dan Raven masuk. Pria itu berjalan dengan langkah santai, hendak melepas mantel hitamnya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Selenia memanggilnya. “Raven.” Pria itu berhenti, menoleh.“Apa?” Selenia terdiam sejenak, menimbang apakah ia benar-benar ingin mengatakan ini padanya. Tapi akhirnya, ia menghela napas, dan mengulurkan tangan. “Ke sini.” Mata merah itu menyipit, penuh kewaspadaan.“Kenapa?” Selenia menatapnya tajam.“Kau mau ke sini atau tidak?” Raven mendekat, masih dengan sikapnya yang dingin. Namun, saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan meletakkannya di perutnya, pria itu membeku. H
Hari-hari berlalu dalam keheningan yang aneh bagi Selenia dan Raven. Hubungan mereka masih diliputi gengsi, kebencian yang samar, tetapi juga keintiman yang tak bisa dihindari. Mereka tak pernah benar-benar membahas apa yang ada di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang menjelaskan perasaan yang mulai berubah, tidak ada deklarasi cinta yang manis atau momen penuh gairah seperti kisah romantis lainnya. Namun, dalam hal-hal kecil yang mereka lakukan, perasaan itu ada. Seperti saat Raven akan selalu ada di sisinya ketika morning sickness menyerang. Tidak ada komentar sinis, tidak ada ejekan, hanya sebotol air di meja samping tempat tidur, handuk dingin di dahinya, dan kehadiran diam-diam pria itu di kursi ujung kamar. Atau saat Selenia, tanpa sadar, mulai meraih lengan Raven ketika musim dingin menjadi terlalu kejam bagi tubuhnya yang semakin berat. Ia tak pernah meminta bantuan secara langsung, tapi jemari mungilnya akan mencengkeram lengan pria itu dengan halus, dan tanpa berkata a
Mansion Drachov Pintu kayu besar itu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan mantel panjang yang diselimuti hawa dingin dari luar. Beberapa pelayan yang kebetulan berada di dekatnya langsung menunduk, mata mereka membelalak tak percaya. Raven Drachov pulang. Lebih awal dari yang seharusnya. Biasanya, ia akan kembali menjelang fajar atau bahkan berhari-hari kemudian. Tapi kini, malam bahkan belum terlalu larut, dan sang pemilik kediaman sudah menjejakkan kaki di dalam mansion. Para pengawal yang berjaga pun saling bertukar pandang, namun tak satu pun dari mereka berani menanyakan alasannya. Para pekerja seharusnya bekerja bagai bayangan, tak terlihat. Dan dengan kepulangan sang Tuan, mereka segera menyingkir dalam sekejap.Langkah Raven mantap, tidak tergesa-gesa, namun penuh tekad. Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, pikirannya terus dipenuhi oleh satu orang. Selenia. Wanita itu kini hamil, tubuhnya semakin lemah, dan meskipun sang hawa mungkin masih membencinya, enta
Selenia meraup salju, melemparkannya ke mulut Raven yang masih terbahak. Wanita itu kembali menikmati perang salju seperti dulu.Raven tersedak sedikit ketika segumpal salju menghantam mulutnya. Ia mengusap bibirnya dengan kening berkerut.“Selenia, kau—” Namun, wanita itu sudah melompat mundur, mengambil lebih banyak salju, matanya berkilauan seperti dulu, seperti saat dia masih bersama Lucas. Raven mengamati wajahnya dengan tajam. Tawa itu… bukan untuknya. Tatapan itu… bukan melihat dirinya. Selenia benar-benar tenggelam dalam delusinya. “Ayo, Luke! Kau mulai lamban!” serunya, melempar bola salju lagi dengan semangat. Raven menangkap bola salju itu dengan satu tangan, tidak berniat membalas. Sebaliknya, ia berjalan mendekat, perlahan, hingga wanita itu sadar bahwa sesuatu terasa aneh. Selenia mengerjap, tawanya meredup. Ia memandangi wajah pria di depannya, memaksakan delusinya tetap bertahan, namun semakin lama, semakin sulit… semakin kabur… Mata merah itu menembus imajinas