Beranda / Thriller / Senõrita Sang Vampir Mafia / 3. Beauty and the Brute

Share

3. Beauty and the Brute

Penulis: Zenareth-Gdnvl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 06:56:39

"Cantik. Mawar cantik yang ingin kuhancurkan dalam genggamanku."

Raven suka mengamati Selenia. Sudah tiga hari gadis itu berada di kastil gelapnya yang mencekam, tanpa makanan. Raven ingin menguji sejauh mana gadis titisan dewi bisa bertahan. Hanya anggur yang sama yang selalu Raven berikan pada Selenia.

Anggur beracun.

Selenia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, tubuhnya terasa berat, seolah dunia di sekelilingnya berputar. Namun, satu hal yang ia sadari adalah sensasi aneh yang mengalir dalam darahnya. Dingin dan membakar sekaligus. Ia lupa kapan terakhir kali dirinya mengecap rasa makanan. Dan sialnya, sudah tiga hari dirinya disekap di tempat menyesakkan ini. Entah mengapa keluarga Vanderbilt tak kunjung menyelamatkannya. Padahal ia putri kesayangan Vanderbilt.

Di hadapannya, Raven Drachov berdiri dengan santai, mata merahnya mengamati setiap reaksi tubuh Selenia dengan intensitas berbahaya.

"Menarik," gumamnya, sudut bibirnya melengkung dalam seringai samar.

"Kau masih hidup."

Selenia mengerjap, mencoba memahami maksud perkataan pria itu. Ia masih bisa merasakan sisa rasa anggur yang pahit di lidahnya, mengingat bagaimana cairan merah pekat itu mengalir ke tenggorokannya. Namun, kini yang tersisa hanyalah sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menembus hingga ke tulangnya.

"Apa yang kau lakukan padaku?" suara Selenia bergetar, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kemarahan yang terpendam.

Raven hanya tertawa kecil. Ia berjongkok di hadapan Selenia yang masih terikat, jari-jarinya dengan lembut menyusuri garis rahang gadis itu sebelum berhenti di bawah dagunya. Ia mengangkatnya, memaksa Selenia menatapnya.

"Aku memberimu anggur istimewa," bisiknya, nyaris seperti rayuan.

"Namun, kau seharusnya mati setelah menelannya. Racun itu cukup untuk membunuh seratus manusia biasa dalam hitungan detik."

Mata Selenia membulat.

"Racun?"

Raven mengangguk, jempolnya mengusap perlahan bibir gadis itu, seolah ingin merasakan jejak sisa racun yang sempat menyentuhnya.

"Aku ingin melihat sendiri apakah mitos tentang dirimu itu benar atau hanya bualan para pendongeng tua." Ia mencondongkan tubuhnya, napas dinginnya menyapu kulit Selenia yang masih panas akibat efek racun.

"Dan ternyata kau bukan hanya dongeng. Kau hidup. Kau nyata."

Selenia merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena pesona pria ini, tetapi karena fakta mengerikan yang baru saja ia ketahui. Ia baru saja menenggak racun dan seharusnya mati. Namun sebaliknya, tubuhnya justru terasa lebih kuat. Luka-luka yang tadi ia rasakan perlahan menghilang, meninggalkan kulitnya tanpa cela seperti sebelumnya.

"Kau adalah titisan dewi, bukan?" suara Raven berubah lebih dalam, penuh ketertarikan yang berbahaya.

Selenia mengertakkan giginya.

"Aku bukan siapa-siapa," sahutnya tajam, mencoba menepis ketakutan yang mulai mengintai benaknya.

Raven tersenyum.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak mati?"

Ia merunduk lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Mata merahnya menyelidik, mencari kebenaran yang tersembunyi dalam iris biru pucat Selenia. Gadis itu menolak mengalihkan pandangannya, meski ia tahu betapa berbahayanya pria ini.

"Lepaskan aku," desisnya.

Alih-alih menuruti, Raven justru semakin menekan tubuhnya ke dinding. Jarinya beralih ke leher Selenia, kemudian turun ke bawah tulang selangka, menelusuri bekas luka halus yang nyaris tak terlihat setelah gigitan sebelumnya.

"Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," bisiknya, suaranya penuh racun dan godaan.

"Tentang darahmu, tentang tubuhmu, tentang seberapa jauh kau bisa bertahan."

Dada Selenia naik turun dengan cepat.

"Kau menjijikkan."

Raven tertawa kecil, suara gelap yang menggema di ruangan yang dingin. Ia lalu menelusuri garis tulang selangka Selenia dengan punggung jarinya, membuat gadis itu bergidik.

"Dan kau, gadis kecil yang sangat menarik."

Raven menatap ekspresi Selenia dengan penuh kesenangan. Ia menikmati setiap perubahan yang terjadi. Dari ketakutan, kemarahan, kebencian, hingga keputusasaan yang mulai merayap ke dalam mata birunya. Ia ingin lebih.

"Kau tahu," ucapnya lirih, jemarinya kini melayang di atas pipi Selenia.

"Aku ingin melihat seberapa banyak ekspresi yang bisa kau tunjukkan padaku."

Selenia menggertakkan giginya, menahan gejolak dalam dadanya. Namun, Raven tidak memberi jeda. Dengan satu gerakan, ia meraih dagu Selenia dengan kasar, memaksanya mendongak. Jari-jarinya menekan cukup kuat untuk meninggalkan bekas samar di kulit gadis itu.

"Takut?" tanyanya, nada suaranya menggoda namun dingin.

Selenia menolak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot menantang, meski tubuhnya sedikit gemetar. Raven semakin tertantang untuk menghancurkan kecantikan surgawi itu, untuk merusak boneka manis dari Librae untuknya.

Raven menyeringai.

"Marah? Jijik? Atau... mungkin kau mulai menyerah?"

"Lepaskan!"

Tak ada komando bagi Raven. Pria itu malah menatap Selenia penuh kegelapan, kemudian tangan besarnya masuk ke dalam rok gadis itu, ke sela-sela yang harusnya tak ia jangkau. Bermain di sana, jemari kokohnya menjamah area yang harusnya terlarang. Sesuatu yang tak pernah tersentuh oleh siapapun selain gadis itu sendiri.

"Dasar.... Bajingan!" Selenia memberontak, tubuhnya meronta untuk menjauhkan diri dari pria itu.

PLAKK

"Jaga mulut kecilmu, berani-beraninya kau mengumpatku" Raven menampar wajah Selenia hingga tertoleh ke kiri.

Ia melepaskan cengkeramannya pada dagu si gadis, membiarkan wajah Selenia terkulai lemas menatap lantai batu yang dingin. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

Raven semakin tertantang. Pria itu menekan leher Selenia ke dinding batu, merasakan kulit halusnya, dan nafas sesaknya di tangannya.

"H-Hentikan...."

Saat mulut Selenia terbuka untuk meraup oksigen, saat itulah Raven menyerang. Meraup kasar bibir merah muda, lidahnya menerobos masuk ke mulut gadis itu tanpa permisi. Brutal, kasar, hingga Selenia sesak nafas. Hal paling hina bagi seorang gadis yang menjaga diri dan berasal dari keluarga terhormat macam Selenia, dilecehkan.

"Mmmph!"

Manis. Selenia itu manis.

Raven tahu ia memenangkan permainan kali ini. Menghinakan gadis yang katanya akan membunuhnya kelak. Harga diri Selenia pasti porak-poranda. Benar saja, gadis itu bergetar. Matanya menunjukkan kedukaan dan ego yang hancur.

Masih belum mau menyerah? Baiklah, Raven bertindak lebih jauh. Kedua tangannya bermain dengan liar di sekujur tubuh Selenia yang hanya berlapis gaun putih tipis yang sederhana. Gaun cantik yang ia pakaikan untuk gadis itu.

"HENTIKAN!"

Raven tidak berhenti. Ia terus bergerak, menyentuh semua titik di tubuh sang gadis. Melecehkannya. Menorehkan luka pada harga dirinya.

Dan saat setetes air mata akhirnya jatuh, Raven terkekeh.

"Indah sekali," gumamnya, seolah baru saja melihat seni yang paling memesona.

"Air mata seorang dewi... seberapa langka dan berharganya, ya?"

Selenia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan kemarahan yang membara.

"Aku akan membunuhmu," desisnya.

Raven tertawa kecil, lalu meraih dagunya sekali lagi, namun kali ini dengan lebih lembut. Ia mendekat, bibirnya nyaris menyentuh kening Selenia.

"Aku tunggu, sayang," bisiknya sebelum akhirnya melepasnya dan berjalan menjauh.

Selenia terisak, bukan karena lemah, tetapi karena frustrasi. Ia telah masuk ke dalam permainan mematikan milik Raven Drachov. Neraka dunia, yang ia pun tidak tahu mengapa bisa ada di dalamnya.

Dan ia belum melihat adanya jalan keluar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    77. Siapa Yang Akan Terlahir

    Salju yang tersisa menutupi tanah seperti selimut tipis, mencair perlahan di bawah sinar matahari yang mulai menghangat. Udara masih menggigit, tetapi angin yang berhembus tak lagi sekejam sebelumnya. Musim dingin akan segera berakhir, digantikan oleh awal musim semi yang baru. Di taman belakang mansion, dua sosok terlihat di antara pohon-pohon yang daunnya belum kembali. Selenia duduk di bangku kayu dengan kedua tangan bertumpu pada perutnya yang semakin besar. Usia kandungannya kini dapat terlihat dari ukuran perutnya, dan gerakan sang bayi mulai terasa. Gaun hangat membalut tubuhnya, dan mantel bulu menyelimuti bahunya. Napasnya membentuk uap tipis di udara saat ia menghela napas panjang. Raven berdiri tak jauh darinya, bersandar pada pohon dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengenakan mantel gelap dengan syal tersampir longgar di lehernya. Kedua tangannya tersimpan di saku celana, tetapi sesekali pandangannya melirik ke arah wanita yang sedang membelai perutnya itu. "Aku in

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    76. Nama

    Malam itu, salju turun lebih lebat dari biasanya. Api di perapian berkobar pelan, menciptakan kehangatan yang kontras dengan hawa dingin di luar jendela. Selenia duduk di sofa panjang dengan selimut menutupi kakinya, sementara Raven berdiri di dekat jendela, tangannya menyelip di saku celana panjangnya. Tak ada suara selain api yang berderak dan detik jam yang berdenting pelan. “Sudah semakin besar,” gumam Selenia tiba-tiba, matanya menatap kosong ke arah perutnya yang semakin membesar. Raven meliriknya sekilas.“Dan?” Selenia mendesah.“Kita belum membahas nama.” Pria itu diam sejenak, lalu berbalik, berjalan mendekat hingga akhirnya duduk di kursi di seberangnya.“Kau ingin memberi nama seperti apa?” tanyanya, suaranya datar seperti biasa. Selenia menatapnya lama, sebelum tersenyum miring.“Kau serius bertanya? Kukira kau akan langsung memaksakan nama yang kau inginkan.” Raven menyandarkan punggungnya, menatapnya tanpa ekspresi.“Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan lebih du

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    75. Kepalsuan

    Suatu malam, di dalam kamar... Selenia sedang duduk di tempat tidur, membaca sebuah buku, ketika ia merasakan sesuatu. Gerakan kecil. Selenia terdiam. Tangannya secara refleks bergerak ke perutnya. Lagi. Kali ini lebih jelas. Ia menelan ludah, perasaannya campur aduk. Tanpa sadar, bibirnya sedikit melengkung ke atas. Namun, senyum itu lenyap saat pintu kamar terbuka, dan Raven masuk. Pria itu berjalan dengan langkah santai, hendak melepas mantel hitamnya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Selenia memanggilnya. “Raven.” Pria itu berhenti, menoleh.“Apa?” Selenia terdiam sejenak, menimbang apakah ia benar-benar ingin mengatakan ini padanya. Tapi akhirnya, ia menghela napas, dan mengulurkan tangan. “Ke sini.” Mata merah itu menyipit, penuh kewaspadaan.“Kenapa?” Selenia menatapnya tajam.“Kau mau ke sini atau tidak?” Raven mendekat, masih dengan sikapnya yang dingin. Namun, saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan meletakkannya di perutnya, pria itu membeku. H

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    74. Memilikimu

    Hari-hari berlalu dalam keheningan yang aneh bagi Selenia dan Raven. Hubungan mereka masih diliputi gengsi, kebencian yang samar, tetapi juga keintiman yang tak bisa dihindari. Mereka tak pernah benar-benar membahas apa yang ada di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang menjelaskan perasaan yang mulai berubah, tidak ada deklarasi cinta yang manis atau momen penuh gairah seperti kisah romantis lainnya. Namun, dalam hal-hal kecil yang mereka lakukan, perasaan itu ada. Seperti saat Raven akan selalu ada di sisinya ketika morning sickness menyerang. Tidak ada komentar sinis, tidak ada ejekan, hanya sebotol air di meja samping tempat tidur, handuk dingin di dahinya, dan kehadiran diam-diam pria itu di kursi ujung kamar. Atau saat Selenia, tanpa sadar, mulai meraih lengan Raven ketika musim dingin menjadi terlalu kejam bagi tubuhnya yang semakin berat. Ia tak pernah meminta bantuan secara langsung, tapi jemari mungilnya akan mencengkeram lengan pria itu dengan halus, dan tanpa berkata a

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    73. Paranoia

    Mansion Drachov Pintu kayu besar itu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan mantel panjang yang diselimuti hawa dingin dari luar. Beberapa pelayan yang kebetulan berada di dekatnya langsung menunduk, mata mereka membelalak tak percaya. Raven Drachov pulang. Lebih awal dari yang seharusnya. Biasanya, ia akan kembali menjelang fajar atau bahkan berhari-hari kemudian. Tapi kini, malam bahkan belum terlalu larut, dan sang pemilik kediaman sudah menjejakkan kaki di dalam mansion. Para pengawal yang berjaga pun saling bertukar pandang, namun tak satu pun dari mereka berani menanyakan alasannya. Para pekerja seharusnya bekerja bagai bayangan, tak terlihat. Dan dengan kepulangan sang Tuan, mereka segera menyingkir dalam sekejap.Langkah Raven mantap, tidak tergesa-gesa, namun penuh tekad. Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, pikirannya terus dipenuhi oleh satu orang. Selenia. Wanita itu kini hamil, tubuhnya semakin lemah, dan meskipun sang hawa mungkin masih membencinya, enta

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    72. Pulang

    Selenia meraup salju, melemparkannya ke mulut Raven yang masih terbahak. Wanita itu kembali menikmati perang salju seperti dulu.Raven tersedak sedikit ketika segumpal salju menghantam mulutnya. Ia mengusap bibirnya dengan kening berkerut.“Selenia, kau—” Namun, wanita itu sudah melompat mundur, mengambil lebih banyak salju, matanya berkilauan seperti dulu, seperti saat dia masih bersama Lucas. Raven mengamati wajahnya dengan tajam. Tawa itu… bukan untuknya. Tatapan itu… bukan melihat dirinya. Selenia benar-benar tenggelam dalam delusinya. “Ayo, Luke! Kau mulai lamban!” serunya, melempar bola salju lagi dengan semangat. Raven menangkap bola salju itu dengan satu tangan, tidak berniat membalas. Sebaliknya, ia berjalan mendekat, perlahan, hingga wanita itu sadar bahwa sesuatu terasa aneh. Selenia mengerjap, tawanya meredup. Ia memandangi wajah pria di depannya, memaksakan delusinya tetap bertahan, namun semakin lama, semakin sulit… semakin kabur… Mata merah itu menembus imajinas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status