"Cantik. Mawar cantik yang ingin kuhancurkan dalam genggamanku."
Raven suka mengamati Selenia. Sudah tiga hari gadis itu berada di kastil gelapnya yang mencekam, tanpa makanan. Raven ingin menguji sejauh mana gadis titisan dewi bisa bertahan. Hanya anggur yang sama yang selalu Raven berikan pada Selenia. Anggur beracun. Selenia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, tubuhnya terasa berat, seolah dunia di sekelilingnya berputar. Namun, satu hal yang ia sadari adalah sensasi aneh yang mengalir dalam darahnya. Dingin dan membakar sekaligus. Ia lupa kapan terakhir kali dirinya mengecap rasa makanan. Dan sialnya, sudah tiga hari dirinya disekap di tempat menyesakkan ini. Entah mengapa keluarga Vanderbilt tak kunjung menyelamatkannya. Padahal ia putri kesayangan Vanderbilt. Di hadapannya, Raven Drachov berdiri dengan santai, mata merahnya mengamati setiap reaksi tubuh Selenia dengan intensitas berbahaya. "Menarik," gumamnya, sudut bibirnya melengkung dalam seringai samar. "Kau masih hidup." Selenia mengerjap, mencoba memahami maksud perkataan pria itu. Ia masih bisa merasakan sisa rasa anggur yang pahit di lidahnya, mengingat bagaimana cairan merah pekat itu mengalir ke tenggorokannya. Namun, kini yang tersisa hanyalah sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menembus hingga ke tulangnya. "Apa yang kau lakukan padaku?" suara Selenia bergetar, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kemarahan yang terpendam. Raven hanya tertawa kecil. Ia berjongkok di hadapan Selenia yang masih terikat, jari-jarinya dengan lembut menyusuri garis rahang gadis itu sebelum berhenti di bawah dagunya. Ia mengangkatnya, memaksa Selenia menatapnya. "Aku memberimu anggur istimewa," bisiknya, nyaris seperti rayuan. "Namun, kau seharusnya mati setelah menelannya. Racun itu cukup untuk membunuh seratus manusia biasa dalam hitungan detik." Mata Selenia membulat. "Racun?" Raven mengangguk, jempolnya mengusap perlahan bibir gadis itu, seolah ingin merasakan jejak sisa racun yang sempat menyentuhnya. "Aku ingin melihat sendiri apakah mitos tentang dirimu itu benar atau hanya bualan para pendongeng tua." Ia mencondongkan tubuhnya, napas dinginnya menyapu kulit Selenia yang masih panas akibat efek racun. "Dan ternyata kau bukan hanya dongeng. Kau hidup. Kau nyata." Selenia merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena pesona pria ini, tetapi karena fakta mengerikan yang baru saja ia ketahui. Ia baru saja menenggak racun dan seharusnya mati. Namun sebaliknya, tubuhnya justru terasa lebih kuat. Luka-luka yang tadi ia rasakan perlahan menghilang, meninggalkan kulitnya tanpa cela seperti sebelumnya. "Kau adalah titisan dewi, bukan?" suara Raven berubah lebih dalam, penuh ketertarikan yang berbahaya. Selenia mengertakkan giginya. "Aku bukan siapa-siapa," sahutnya tajam, mencoba menepis ketakutan yang mulai mengintai benaknya. Raven tersenyum. "Kalau begitu, kenapa kau tidak mati?" Ia merunduk lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Mata merahnya menyelidik, mencari kebenaran yang tersembunyi dalam iris biru pucat Selenia. Gadis itu menolak mengalihkan pandangannya, meski ia tahu betapa berbahayanya pria ini. "Lepaskan aku," desisnya. Alih-alih menuruti, Raven justru semakin menekan tubuhnya ke dinding. Jarinya beralih ke leher Selenia, kemudian turun ke bawah tulang selangka, menelusuri bekas luka halus yang nyaris tak terlihat setelah gigitan sebelumnya. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," bisiknya, suaranya penuh racun dan godaan. "Tentang darahmu, tentang tubuhmu, tentang seberapa jauh kau bisa bertahan." Dada Selenia naik turun dengan cepat. "Kau menjijikkan." Raven tertawa kecil, suara gelap yang menggema di ruangan yang dingin. Ia lalu menelusuri garis tulang selangka Selenia dengan punggung jarinya, membuat gadis itu bergidik. "Dan kau, gadis kecil yang sangat menarik." Raven menatap ekspresi Selenia dengan penuh kesenangan. Ia menikmati setiap perubahan yang terjadi. Dari ketakutan, kemarahan, kebencian, hingga keputusasaan yang mulai merayap ke dalam mata birunya. Ia ingin lebih. "Kau tahu," ucapnya lirih, jemarinya kini melayang di atas pipi Selenia. "Aku ingin melihat seberapa banyak ekspresi yang bisa kau tunjukkan padaku." Selenia menggertakkan giginya, menahan gejolak dalam dadanya. Namun, Raven tidak memberi jeda. Dengan satu gerakan, ia meraih dagu Selenia dengan kasar, memaksanya mendongak. Jari-jarinya menekan cukup kuat untuk meninggalkan bekas samar di kulit gadis itu. "Takut?" tanyanya, nada suaranya menggoda namun dingin. Selenia menolak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot menantang, meski tubuhnya sedikit gemetar. Raven semakin tertantang untuk menghancurkan kecantikan surgawi itu, untuk merusak boneka manis dari Librae untuknya. Raven menyeringai. "Marah? Jijik? Atau... mungkin kau mulai menyerah?" "Lepaskan!" Tak ada komando bagi Raven. Pria itu malah menatap Selenia penuh kegelapan, kemudian tangan besarnya masuk ke dalam rok gadis itu, ke sela-sela yang harusnya tak ia jangkau. Bermain di sana, jemari kokohnya menjamah area yang harusnya terlarang. Sesuatu yang tak pernah tersentuh oleh siapapun selain gadis itu sendiri. "Dasar.... Bajingan!" Selenia memberontak, tubuhnya meronta untuk menjauhkan diri dari pria itu. PLAKK "Jaga mulut kecilmu, berani-beraninya kau mengumpatku" Raven menampar wajah Selenia hingga tertoleh ke kiri. Ia melepaskan cengkeramannya pada dagu si gadis, membiarkan wajah Selenia terkulai lemas menatap lantai batu yang dingin. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Raven semakin tertantang. Pria itu menekan leher Selenia ke dinding batu, merasakan kulit halusnya, dan nafas sesaknya di tangannya. "H-Hentikan...." Saat mulut Selenia terbuka untuk meraup oksigen, saat itulah Raven menyerang. Meraup kasar bibir merah muda, lidahnya menerobos masuk ke mulut gadis itu tanpa permisi. Brutal, kasar, hingga Selenia sesak nafas. Hal paling hina bagi seorang gadis yang menjaga diri dan berasal dari keluarga terhormat macam Selenia, dilecehkan. "Mmmph!" Manis. Selenia itu manis. Raven tahu ia memenangkan permainan kali ini. Menghinakan gadis yang katanya akan membunuhnya kelak. Harga diri Selenia pasti porak-poranda. Benar saja, gadis itu bergetar. Matanya menunjukkan kedukaan dan ego yang hancur. Masih belum mau menyerah? Baiklah, Raven bertindak lebih jauh. Kedua tangannya bermain dengan liar di sekujur tubuh Selenia yang hanya berlapis gaun putih tipis yang sederhana. Gaun cantik yang ia pakaikan untuk gadis itu. "HENTIKAN!" Raven tidak berhenti. Ia terus bergerak, menyentuh semua titik di tubuh sang gadis. Melecehkannya. Menorehkan luka pada harga dirinya. Dan saat setetes air mata akhirnya jatuh, Raven terkekeh. "Indah sekali," gumamnya, seolah baru saja melihat seni yang paling memesona. "Air mata seorang dewi... seberapa langka dan berharganya, ya?" Selenia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan kemarahan yang membara. "Aku akan membunuhmu," desisnya. Raven tertawa kecil, lalu meraih dagunya sekali lagi, namun kali ini dengan lebih lembut. Ia mendekat, bibirnya nyaris menyentuh kening Selenia. "Aku tunggu, sayang," bisiknya sebelum akhirnya melepasnya dan berjalan menjauh. Selenia terisak, bukan karena lemah, tetapi karena frustrasi. Ia telah masuk ke dalam permainan mematikan milik Raven Drachov. Neraka dunia, yang ia pun tidak tahu mengapa bisa ada di dalamnya. Dan ia belum melihat adanya jalan keluar.Malam tiba tanpa memberi kabar. Langit kini telah sepenuhnya gelap, namun seorang wanita bersurai putih pendek dengan gaun marun mengendap-endap keluar dari sebuah mansion raksasa.Selenia Vanderbilt.Wanita itu celingukan, memastikan segalanya aman. Sebelum akhirnya berjalan keluar dengan cepat.Dingin menusuk kulitnya, namun Selenia tak peduli. Napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk melarikan diri. Dengan langkah ringan namun tergesa, ia menyusuri halaman bersalju. Rantai yang dulu melilit pergelangan tangannya kini tak ada lagi, berkat kewaspadaannya yang meningkat setiap hari. Ia telah menyiapkan ini. Satu langkah lagi. Namun, sebelum ia benar-benar bisa merasakan kebebasan, suara familiar membekukan tubuhnya di tempat. "Satu langkah lagi, dan aku akan patahkan kedua kakimu, sayang." Darah Selenia seolah menguap. Dengan sangat pelan, ia menoleh ke belakang. Seorang pria berdiri di ambang pintu mansion, bers
Selenia gemetar."Tidak... Aku tidak bisa..." Namun tubuhnya berkata lain. Ia haus. Ia butuh. Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia akan menyerah.Di tengah dilema itu, Selenia tetap menolak fakta.Ia tak ingin meminum darah, tak ingin menjadi seperti Raven.Wanita itu terguncang, keadaannya saat ini benar-benar membingungkan. Tanpa sadar, ia mulai menangis."Sialan... Aku tak mau meminum darah... Kenapa tidak kau saja yang mengandung sih?" Gerutunya dengan nada frustasi.Raven mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh."Lucu sekali, sayang. Aku yakin aku akan terlihat menggemaskan dengan perut membesar." Selenia mendengus frustrasi, sementara air matanya tetap mengalir. Ia menggigit bibirnya, menolak untuk membuka mulut, meskipun rasa haus itu semakin menyiksa. Tubuhnya mulai gemetar, dan pandangannya berkunang-kunang. Raven mengamatinya dalam diam, senyum tipis tersungging di wajahnya."Kau keras kepala, sepertinya Selenia-ku yang dulu sudah kembali," gumamnya. Tiba-tiba, ia berge
Selenia terbangun dengan tarikan napas tajam. Rasa sakit langsung menyerangnya dari segala penjuru. Perutnya, tubuhnya yang lemah, luka-lukanya yang terbuka. Pandangannya buram, tetapi ia bisa mencium bau logam yang tajam. Darah. Tangannya menyentuh perutnya yang masih ada kehangatan samar di dalamnya, masih bertahan.Dan Selenia merasakan jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup. Selenia mengerang, mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia merasa lemas, namun tak ada pilihan lain. Perlahan, ia memaksa dirinya bangkit, meski nyeri menyerangnya tanpa ampun. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Lucas sudah mengorbankan nyawanya untuknya. Ia akan membalas semua ini. Dengan atau tanpa bantuan siapa pun.Raven berdiri di ambang pintu, menatap tubuh Selenia yang seolah berusaha bangkit dari genangan darahnya sendiri. Matanya yang berkilat merah gelap tak menampilkan emosi yang mudah dibaca, tapi cengkeraman tangannya pada kusen pintu mengkhianati sesuatu. Kemarahan, frustrasi, atau mungkin.
Raven berjalan cepat, nyaris seperti bayangan yang melintas di lorong-lorong mansion. Derak rantai yang mengikat Selenia kini bersatu dengan suara langkahnya yang berat. Tangan yang menekan luka di perut wanita itu semakin berlumuran darah, tapi Raven tidak peduli. Ia menerobos masuk ke salah satu kamar yang lebih hangat, menendang pintu hingga terbuka lebar. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih menyambutnya, tapi Raven hanya peduli pada satu hal, menjaga wanita itu tetap hidup. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkan Selenia di ranjang, jari-jarinya bergerak cepat untuk menyingkirkan rambut yang menempel di wajahnya. "Sialan..." gumamnya, nada suaranya kasar namun terdengar begitu marah pada dirinya sendiri. Ia berbalik, menggapai lonceng kecil di atas meja, membunyikannya dengan kasar. Tak butuh waktu lama sebelum seorang pria tua dengan pakaian rapi muncul dari balik pintu. "Dokter," suara Raven penuh perintah, dingin, dan tak terbantahkan. Pria tua itu hanya perlu
Raven berdiri kaku, menatap Selenia yang kini terpuruk di lantai. Tangis tanpa suara itu lebih menyakitkan daripada jeritan atau makian apa pun yang pernah ia dengar darinya. Dadanya terasa sesak, ada sesuatu yang menghimpit di sana, sesuatu yang tak ingin ia akui. Ia harusnya merasa puas. Bukankah ini yang ia inginkan? Selenia dalam genggamannya, tak bisa lari, tak bisa melawan, tak bisa mencintai pria lain selain dirinya? Lalu kenapa perasaan ini terasa… salah? Tangan Raven mengepal, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Ia mencoba menenangkan diri, membungkus emosinya dalam dingin yang selama ini menjadi tamengnya. Tapi tatapan kosong Selenia menusuk ke dalam dirinya, merusak ilusi kepemilikan yang selama ini ia agung-agungkan. Kemarahan, frustrasi, dan… sesuatu yang menyerupai rasa bersalah berputar dalam kepalanya. Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya rapuh. Kebingungan itu ia kubur dalam-dalam. Jika ia harus menjadi monster agar Selenia tetap di sisin
Jantung Selenia berdegup lebih kencang. Dingin menjalari tubuhnya. Ia bisa merasakan ketakutan mencekiknya. Jika kemungkinan itu benar, maka ini bukan lagi sekadar mimpi buruk. Ini adalah neraka tanpa jalan keluar."Hah! Itu mustahil... Aku.. Tidak, aku harus memastikannya dulu.." Racau Selenia.Raven tertawa kecil, sebuah suara rendah yang terdengar lebih seperti ejekan daripada hiburan."Memastikannya?" ulangnya, masih dengan cengkeraman di dagu Selenia, mempermainkannya seolah wanita itu hanyalah boneka porselen rapuh yang berada sepenuhnya dalam genggamannya. Selenia menepis tangannya dengan kasar, terengah. Napasnya berat, dadanya naik turun dalam kepanikan. Baru terlewat dua minggu sejak kejadian mengerikan selama tiga hari yang dialaminya, mana mungkin..."Aku... Aku butuh waktu," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya mencengkeram perutnya, masih berusaha memahami segala kemungkinan yang berputar liar di kepalanya. "Tidak ada waktu untuk kebimbangan, sayang," suara