Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya.
“Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya.Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar.
“Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar.“Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik.
Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kaca, ia meremas kedua tangan ketika orang-orang mulai berkumpul. Mereka semua menatapnya dengan berbagai ekspresi, tidak sedikit yang melempar tatapan mencemooh serta tak suka.“Ada apa ini? Masih pagi kalian sudah ribut saja,” ucap Asta sembari bersedekap dada. “Pak, Binar ceroboh sekali. Dia menabrak saya sampi laptop saya terjatuh,” adu Ratna sedih. Asta melihat laptop mahal itu di lantai dalam keadaan mengenaskan, atensi lelaki itu beralih pada Binar yang berdiri kaku dengan wajah pucat pasi.“Bisa kamu jelaskan mengapa membuat kekacauan pagi-pagi seperti ini?” tanya Asta dengan aura intimidasi.
Binar menatap liar ke sekitar, tatapan menghakimi yang semua orang layangkan padanya membuat nyali perempuan itu menciut.“Jawab, malah diam saja!” Salah satu diantara mereka berseru, membuat keringat dingin mulai bercucuran pada pelipis Binar.
“Baik, mungkin kamu butuh ruang untuk berbicara,” kata Asta. Ia mengalihkan pandangan pada Ratna. “Kamu juga, mari ikut saya. Dan kalian semua, kembali ke ruangan masing-masing.”
***“Jadi, kamu tetap meminta laptop baru?” tanya Asta sekali lagi. “Benar, Pak. Saya tidak mau jika diperbaiki,” balas Ratna sambil melihat ke arah Asta.Asta terdiam sejenak, mengalihkan pandangan pada Binar. “Lalu apakah kamu siap menggantinya?”
Perempuan itu menggeleng kuat. “Saya hanya mampu untuk memperbaiki Pak, jika Mbak Ratna tidak keberatan. Ayo, kita ke tempat service. Agar tahu apa saja yang rusak, dan saya bisa menyiapkan dananya,” imbuh Binar. Walau tidak yakin sisa uang tabungannya mencukupi.“Lho, kenapa kamu yang ngatur? Itu laptop punya saya, dan kamu sebagai pelaku di sini. Jadi, kalau saya minta ganti, ya ganti. Tidak ada tapi-tapian!” serunya tak suka. Binar menggigit bibir bawah, meremas rok yang dikenakan. Perempuan itu mulai memikirkan pekerjaan sampingan apalagi yang harus dikerjakan setelah ini.“Saya setuju dengan Ratna, ini memang hak dia untuk meminta pertanggung jawaban darimu,” cetus Asta.
Sontak mata perempuan itu berbinar tatkala dibela oleh sang atasan, ia mengulum bibir. Menatap Asta menggoda, sayangnya atensi lelaki itu sedang fokus pada Binar.“Saya memang salah karena ceroboh, tapi seharusnya Anda cek dulu CCTV. Apakah Mbak Ratna saat menuruni tangga juga sedang terburu-buru sehingga tidak melihat keberadaan saya. Jangan langsung menjatuhkan kesalahan di satu orang saja,” timpal Binar mencoba berani.
Ratna melotot, tak menyangka perempuan yang sering dibully ini bisa membela diri. Lain halnya dengan Asta yang sedang memasang seringai, lelaki itu bersedekap. Menatap lurus pada Binar. “Ya, sudah. Mana bukti CCTV-nya, saya mau lihat.”Binar membeku, matanya memanas—ia seperti dipermainkan sekarang. “Di tangga tidak ada CCTV, Pak. Kalau di koridor baru ada, maafkan Binar karena sudah sok tahu. Maklum dia anak baru.” Ratna tersenyum simpul, puas sekali melihat perempuan itu dipojokkan.Asta mengangguk-anggukan kepala. “Kamu benar juga, jalan satu-satunya dia harus ganti rugi.”
Jadi, begini rasanya di saat tak ada yang berpihak padanya? Binar tersenyum getir, ia sudah mulai terbiasa menerima ketidakadilan dalam hidup. “Kalau begitu, saya tunggu laptop barunya besok pagi.” Ratna berucap ceria. “Terima kasih juga untuk Pak Asta karena sudah bersikap adil, saya permisi dulu, Pak.” Perempuan itu bangkit dan berlalu pergi, Binar pun dengan cepat mengikuti langkah Ratna. Tidak ingin berlama-lama di ruangan Asta. Namun, ketika hendak mencapai pintu. Suara lelaki itu menghentikan langkahnya. “Bagaimana jika saya membantumu?” tanya Asta tersenyum miring. Bangkit dari duduknya sembari mendekat ke arah Binar. Ia berdiri di belakang perempuan itu, menundukkan badan seolah memeluk Binar dari belakang. Lantas berbisik lirih penuh godaan, “Layani saya malam ini, saya ingin melihat sehebat apa dirimu.”Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk