"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."
Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku."Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up."Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan."Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami sehari-hari.Ah, ini akan menarik sekali. Kamu akan merasakan bagaimana rasanya, Mas. Aku tersenyum tipis."Silakan untuk Bu Arini membacakan siapa yang di PHK." Panitia menatapku, Bang Fino juga menganggukkan kepala dan tersenyum padaku."Karena ini lumayan banyak, saya hanya memanggil yang jabatannya paling tinggi saja, ya."Aku mulai memanggil nama mereka satu per satu, kemudian saat sampai di nama Mas Guntur, aku menghela napas pelan. Menatap semua pengunjung yang datang."Bapak Guntur."Pandanganku tertuju ke Mas Guntur yang terkejut sekali mendengar namanya dipanggil. Dia terlihat pucat, menatap sekitarnya linglung."Silakan pada Bapak Guntur untuk naik ke atas panggung."Mas Guntur gemetar naik ke atas panggung. Aku tersenyum di balik masker. Ini menarik sekali. Harusnya ini momen paling menyenangkan di hidupku. Aku akhirnya bisa membalaskan rasa sakit yang aku terima selama ini."Maaf, Bu. Apa salah saya, ya? Saya gak merasa melakukan hal buruk pada perusahaan ini. Kalau iya, saya minta maaf, tapi jangan PHK saya, Bu. Mau makan apa anak dan istri saya nanti?"Hah?! Gimana pertanyaannya? Mau makan apa aku dan Putra? Dia saja memberi nafkah hanya sepuluh ribu setiap hari. Lalu dia bertanya kami mau diberi makan apa?Aku memasang wajah biasa saja. Bang Fino juga ikut berdiri di atas panggung, dia berdiri di sebelahku."Karena Bapak Guntur adalah manager di perusahaan ini, dengan jabatan yang tidak kecil, maka kami akan memberikan alasan kenapa dia sampai terkena PHK." Bang Fino lebih dulu menjelaskan, membuatku menganggukkan kepala."Saya atau Bu Arini yang menjelaskan.""Saya saja, Pak. Terima kasih." Aku menganggukkan kepala ke Bang Fino.Bang Fino tersenyum, kemudian menganggukkan kepala, aku mengambil alih microphone. Kemudian menatap Mas Guntur yang sejak tadi bertanya-tanya apa salahnya.Apa salah dia? Tentu saja banyak."Laporan keuangan yang memang seharusnya dipegang oleh bagian keuangan, ternyata sudah melewati manager dan ada bagian data yang terganti. Kami menyelidikinya lewat data yang masuk. Ternyata memang terganti di manager. Apa yang Bapak Guntur lakukan? Mencoba melakukan korupsi?"Mas Guntur tampak kaget mendengar perkataanku barusan. Aku tersenyum tipis. Memang selain kami membuat kejutan, kami juga punya alasan lain."Tidak menghargai terhadap karyawan lain, merasa jabatan paling tinggi. Bahkan Bapak pernah tidak menghargai karyawan perempuan, mengajaknya untuk jalan bareng. Sebenarnya, bapak ini punya istri atau tidak?" tanyaku membuat wajah Mas Guntur memerah.Aku menggelengkan kepala melihat catatan merah yang ada di kertas ini. Ada banyak sekali catatan Mas Guntur.Itu yang membuat performa perusahaan juga menurun. Ini buruk sekali."Saya rasa tidak perlu menyebutkan alasan lain. Kedua fakta tadi saja seharusnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya Bapak ini tidak layak lagi memegang jabatan manager." Aku berkata tegas.Meskipun yang lain melihatku kagum, tetapi aku sebenarnya geram sekali pada Mas Guntur yang saat ini menundukkan kepalanya. Dia malu sekali dengan kelakuannya sendiri."Bapak kira kami tidak bisa menelusurinya? Bapak kira seluruh staff dan petinggi di perusahaan ini bodoh? Meskipun bapak manager, tapi harusnya bapak sadar kalau masih ada yang lebih tinggi dari bapak.""Juga kesalahan lainnya. Bahkan Bapak tidak ingat istri di rumah dengan menggoda orang lain. Laki-laki macam apa itu?"Bang Fino langsung memegang tanganku. Hampir saja aku kelepasan. Aku menghela napas pelan."Cukup. Saya rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."Aku turun dari atas panggung."Keren, Sayang."Eh? Aku menatap kedua orang tua ku yang berdiri di dekat panggung. Ternyata mereka sudah sampai sejak tadi."Kamu berani membela keadilan. Mama sama Papa bangga, Arini."Banyak yang masih memperhatikan kami. Aku langsung memeluk Mama dan Papa. Mereka tampak senang sekali."Dimana Rumi?" tanya Mama berbisik."Di ruang khusus, gak mau ikut, takut ngerusak rencana." Aku juga balas berbisik."Adikku ini hebat loh, Om, Tante. Pidatonya keren, membela kebenaran lagi."Aku kembali menatap ke atas panggung. Mas Guntur masih duduk di sana, dia sepertinya masih meratapi nasibnya."Kamu kasihan pada dia, Nak?"Hah?! Mendengar pertanyaan Mama, aku langsung menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Kasihan? Tidak ada lagi di kampusku.Bahkan, dia sendiri juga tidak kasihan padaku. Jadi, kenapa aku harus kasihan pada lelaki menyebalkan itu? Tidak penting sekali."Ah, menarik. Mama sama Papa mau ke ruangan Rumi dulu deh. Nanti kami kesini lagi.""Iya, Ma." Aku menganggukkan kepala.Beberapa menit aku dan Bang Fino mengobrol, aku menatap sekitar. Harusnya nanti siang biasanya Mas Guntur pulang ke rumah, marah-marah karena aku hanya memberikan lauk tahu tempe.Apa yang akan terjadi hari ini nanti? Aku tersenyum tipis."Ah iya, Bang. Aku bisa minta tolong nanti?" tanyaku pada Bang Fino yang masih berdiri di sebelahku."Minta tolong apa, Dek? Boleh lah. Gak mungkin gak boleh, mana pernah Abang nolak apa yang kamu mau."Mendengar itu, aku langsung tersenyum. Bang Fino memang sebaik itu."Nanti kita bicarain aja deh di rumah. Jangan di sini. Nanti Abang ke rumah Mama dan Papa? Atau langsung pulang ke rumah sendiri?*Bang Fino diam sejenak. "Ke rumah Mama sama Papa kamu dulu. Kangen masakan mereka.""Kalian mau langsung pulang? Ini acaranya udah selesai kan? Tinggal nunggu penutupan aja?"Kami berdua langsung menoleh, menatap Mama dan Papa yang menggandeng tangan Rumi, adikku itu memakai masker. Tidak keliatan kalau itu dia saat Mas Guntur nanti melihat.Aku langsung menganggukkan kepala. Ini hanya tinggal penutupan saja, tidak ada gunanya lagi."Tapi Fino kayaknya sendirian aja nanti, mau ngurusin surat untuk yang di PHK dulu, Ma, Pa.""Ah, baiklah. Yuk, Arini.""Tunggu!"Siapa lagi? Aku menoleh, Mas Guntur langsung berlutut di kakiku. Eh? Dia kenapa? Kenapa malah berlutut begini?"Tolong maafkan saya, Bu. Tolong berikan saya kesempatan lagi di perusahaan ini. Tolong saya!"***"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Loh kok karena aku, Bang? Aku kan gak ada masalah apa pun sama Reyza. Kita juga udah jadi mantan, aku udah nikah.""Bukan soal itu aja, Din. Kamu perhatiin baik-baik, Reyza sampai saat ini faktornya apa lagi kalau belum menikah?"Ya, mana aku tau. Masa nanya sama aku sih? Kan aku juga tidak tau kenapa dengan Reyza. Ah, ini menyebalkan sekali, kenapa Bang Fino malah berasumsi begitu?"Nah, coba kamu pikirin lagi selama kamu di rumah sakit ini. Si Reyza selalu minta waktu kosong kamu buat dia ngobrol sesuatu, kan? Terus setiap kamu tanya kenapa dia belum menikah, dia jawab kamu bakalan tau sendiri, itu karena dia masih mengharapkan kamu, Din. Masa kamu gak sadar juga sih?" tanya Bang Fino kesal. Tunggu sebentar, memang benar sih kata Bang Fino. "Bahkan, dia langsung ngasih tau kamu ketika Mamanya minta kamu untuk datang. Meskipun ya harusnya dia memang memberitahu kamu, tetapi kalau dia tidak ada rasa lagi dan dia gak berharap lagi sama kamu, harusnya dia gak seantusias itu. Tandanya