"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku.
Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku."Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan.Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat."Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam.Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan saya, Bu. Beri saya kesempatan lagi. Kasihan Mama saya juga, tanggungan hidupnya saya yang tanggung."Yang satu ini juga. Memang selama ini Mas Guntur tidak memberikanku banyak nafkah ya ini salah satu penyebabnya.Mamanya yang lebih didahulukan dari pada istrinya sendiri. Padahal aku yang harusnya mengatur keuangannya, aku juga yang seharusnya mendapatkan hak itu."Tolong saya, Bu."Aku diam sejenak, menoleh ke Bang Fino yang tampak menyerahkan semuanya padaku.Beberapa detik, aku akhirnya berjongkok, menyamakan posisiku dengan Mas Guntur yang sejak tadi berlutut. Dia menatapku, aku balas menatapnya. Kami diam sejenak beberapa saat."Saya berikan kamu satu kesempatan lagi, tetapi bukan sebagai manager di perusahaan ini.""Lalu jadi apa, Bu? Posisi saya kan awalnya manager. Kenapa diubah?" tanyanya pelan."Kamu masih mau bekerja di sini?"Dia menganggukkan kepala, akhirnya agak lebih menunduk sedikit. Tidak berani menatapku yang sejak tadi menatapnya tajam."Kalau masih mau bekerja di sini, kamu harusnya ikuti peraturan yang ada, karena kamu juga baru saja melanggar kontrak kerja. Harusnya saya justru bisa seret kamu ke penjara dengan semua bukti yang ada."Mas Guntur tampak kaget mendengar perkataanku barusan. Aku tidak main-main dengan perkataanku, dia memang harusnya tidak ada di sini lagi, tetapi di kantor polisi."Maafkan saya, Bu." Mas Guntur menundukkan kepalanya.Lucu sekali pemandangan ini, di rumah Mas Guntur yang bisa membentakku, yang bisa mengaturku seenaknya. Kali ini, dia tidak bisa berkutik sama sekali. Ah, lucu sekali pemandangan ini."Saya mau tanya, apakah kamu masih mau bekerja di perusahaan ini? Saya tidak akan membawa kasus ini ke kantor polisi, tetapi saya tidak segan-segan langsung melaporkannya kalau kamu melakukan kesalahan saat bekerja lagi di perusahaan ini."Suamiku itu berpikir sejenak. Mungkin dia memikirkan bagaimana ke depannya. Baiklah, aku memberikannya waktu beberapa detik untuk berpikir."Saya mau, Bu. Asalkan saya masih bisa bekerja di sini."Ah, ini akan menarik sekali. Aku menganggukkan kepala, beranjak dari posisiku tadi."Tunggu di sini. Nanti kamu akan dipanggil untuk menandatangani ulang kontrak."Aku menoleh ke Mama dan Papa yang masih berdiri. Masih ada yang harus diurus ternyata. Aku menghela napas pelan, melangkah menuju ke ruang khusus."Segera buatkan kontrak kerja baru untuk dia, Bang.""Rencana apa lagi yang lagi kamu jalankan, Dek? Harusnya udah, kita sampai di sini aja, jangan ada lagi ngasih dia kesempatan. Itu bakalan buat dia ngelunjak.""Dia gak akan bisa gerak, Bang. Kita baru saja menyelamatkan dua ide penting."Bang Fino mengernyit, bingung dengan apa yang aku katakan. Aku menghela napas pelan, kemudian membisikkan sesuatu ke Bang Fino."Brilian, Dek! Abang cuma bentar, langsung balik lagi kesini nanti."Aku menganggukkan kepala. Bang Fino langsung melangkah cepat keluar ruangan ini. Aku menghela napas pelan, menyenderkan kepala ke kursi."Sebenarnya apa lagi yang kamu rencanakan, Sayang?" tanya Mama membuatku tersenyum tipis, aku menggelengkan kepala."Mama akan tau nanti, Ma."Ponselku berdering. Eh? Dari guru putra? Ada apa dengan anakku?"Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil mengintip layar ponselku."Gurunya Putra. Aku angkat telepon dulu ya, Ma, Pa."Buru-buru aku agak melangkah jauh. Bisa terdengar nanti ke orang lain. Aku menuju ke toilet agar lebih privasi sedikit.Kenapa gurunya Putra menelepon jam sekolah begini? Apakah ada kesalahan? Atau ada apa? Aku menggeser tombol berwarna hijau, sudah aman di sini."Halo, ini dengan mamanya Putra?" sapa guru sekolah Putra saat aku baru saja mendekatkan ponsel ke telinga. Aku langsung menganggukkan kepala."Betul, Bu. Ini saya Mamanya Putra. Ada apa, ya, Bu?" tanyaku sambil menatap cermin."Ah ya, kami dari pihak sekolah minta maaf sekali, Bu." Nada suara guru Putra terdengar sedih.Detak jantungku tidak karuan. Apa yang sebenarnya terjadi? Padahal, uang sekolah Putra baru saja dibayar tadi, bahkan aku meminta fasilitas yang paling bagus di sekolah Putra, tetapi tidak diberitahukan oleh Mas Guntur."Ada apa ya, Bu? Apakah Putra nakal? Atau anak saya bolos?" tanyaku beruntun, aku ingin sekali mendengar jawabannya."Tidak, Bu. Bukan itu." Guru Putra menghela napas pelan. "Putra tadi terjatuh dari tangga."Seperti ada petir yang menyambar di sebelahku. Anakku! Wajahku seketika pucat, badanku lemas. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Kami sudah membawanya ke rumah sakit karena UKS tidak sanggup.""Bagaimana keadaan anak saya, Bu? Bagaimana?!" tanyaku mendesaknya."Masih ditangani oleh dokter, Bu. Sebaiknya Ibu langsung saja ke rumah sakit agar kalau ada tindakan selanjutnya Ibu bisa tahu lebih jelas."Kenapa lagi ini? Aku langsung mematikan telepon, buru-buru ke ruang khusus kembali."Mbak kenapa?" tanya Rumi saat melihatku buru-buru membereskan barang. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi sekarang. Di otakku adalah pergi ke rumah sakit."Putra, Putra masuk rumah sakit.""Astaghfirullah. Kenapa sama Putra?" Bahkan, Mama dan Papa langsung mendekatiku."Jatuh dari tangga, Ma. Aku mau langsung kesana sekarang.""Yaudah, kita anterin. Mama sama Papa juga mau lihat keadaan Putra."Aku akhirnya menganggukkan kepala, meskipun aku tau bukan saatnya sekarang. Urusan Mas Guntur nanti-nanti saja. Rumi membantuku membereskan barang-barang."Kita harus cepat." Aku melangkah cepat."Bu Arini!"Aduh, apa lagi sih? Aku langsung menghentikan langkah, menatap Mas Guntur yang baru saja memanggilku. Kenapa lagi dia hah?! Apakah dia belum tau kalau anaknya baru saja terjatuh dari tangga?"Bagaimana dengan pekerjaan saya.""Aduh, kamu urus saja sama Bang Fino. Saya lagi ada kerjaan penting."Sungguh, aku benar-benar mengabaikannya kali ini. Aku kembali melangkah. Yang ada di pikiranku adalah Putra.Meskipun Mas Guntur menatapku aneh karena aku tidak biasanya ketus meskipun sedang marah, aku sama sekali tidak peduli. Yang aku pedulikan sekarang adalah anakku."Sekarang telepon suami kamu. Dia juga harusnya tau dan mau bertanggung jawab."Kami sudah di dalam mobil perjalanan menuju ke rumah sakit. Aku langsung menganggukkan kepala, mengambil ponsel, menghubungi Mas Guntur.Tidak mungkin kan aku tadi menghubungi Mas Guntur saat berpakaian seperti tadi."Kenapa sih kamu nelepon, hah?! Aku ini lagi sibuk."Lihat, baru saja aku menyalakan loud speaker. Tidak ada gunanya memberitahukannya."Putra masuk rumah sakit. Jatuh dari tangga di sekolahnya.""Halah, anak itu nyusahin sama aja kayak kamu!"***"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Loh kok karena aku, Bang? Aku kan gak ada masalah apa pun sama Reyza. Kita juga udah jadi mantan, aku udah nikah.""Bukan soal itu aja, Din. Kamu perhatiin baik-baik, Reyza sampai saat ini faktornya apa lagi kalau belum menikah?"Ya, mana aku tau. Masa nanya sama aku sih? Kan aku juga tidak tau kenapa dengan Reyza. Ah, ini menyebalkan sekali, kenapa Bang Fino malah berasumsi begitu?"Nah, coba kamu pikirin lagi selama kamu di rumah sakit ini. Si Reyza selalu minta waktu kosong kamu buat dia ngobrol sesuatu, kan? Terus setiap kamu tanya kenapa dia belum menikah, dia jawab kamu bakalan tau sendiri, itu karena dia masih mengharapkan kamu, Din. Masa kamu gak sadar juga sih?" tanya Bang Fino kesal. Tunggu sebentar, memang benar sih kata Bang Fino. "Bahkan, dia langsung ngasih tau kamu ketika Mamanya minta kamu untuk datang. Meskipun ya harusnya dia memang memberitahu kamu, tetapi kalau dia tidak ada rasa lagi dan dia gak berharap lagi sama kamu, harusnya dia gak seantusias itu. Tandanya
"Ah, udah puas banget lihat suaminya Dina jalan sama wanita lain."Bang Fino enteng sekali mengatakannya. Haduh, ngapain bahas itu ketika ada Reyza di sini. Kan jadinya terbongkar semuanya, ini aib rumah tangga loh. "Maaf banget nih, aku gak papa di sini? Ini soal rumah tangganya Din—" "Gak papa, aman kok. Dina juga udah cerita soal dia kayak mana kan di keluarganya itu? Kamu mungkin bisa bantu untuk ngasih solusi juga."Reyza terdiam mendengar perkataan Nada, kemudian menganggukkan kepala. Sementara aku kesal sekali mendengarnya, hampir saja aku menimpuk Nada dengan sendalku sendiri, menyebalkan. "Gimana, Din?" tanya Reyza masih ingin mendengar aku sendiri yang mengizinkannya. Baiklah, kasihan juga dia, lagi pula memang benar kata Nada, aku sudah pernah bilang pada Reyza mengenai hal ini. Aku menganggukkan kepala. "Dengerin aja gak papa, Rey."Akhirnya pria itu bisa lebih tenang. Dia menganggukkan kepala, aku menghela napas pelan, kembali fokus melihat ke arah ponsel Nada yang m