Meski jam sudah menunjukkan tengah malam, Sei masih belum bisa tidur. Ia sedang memikirkan sesuatu. Orang yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup, selalu menjaga dan merawatnya, bahkan sudah pergi. Kembali ia buka roomchat yang kemarin ia buka.
Kemarin ada yang kasih aku bunga. Dulu kan kamu.
Pesan Sei masih utuh. Ia masih diperlakukan cuek.
Sudah dua tahun ini ia dipisahkan dari kakak kandungnya oleh sang ayah. Sagara Adhitya, seseorang yang selalu Sei rindukan senyumannya. Entah mengapa, setiap Sei mencoba dekat dengan kakaknya sendiri-setelah kejadian yang membuat Sagara sakit hati- menjadi sangat sulit.Walaupun Sei sedikit tidak terima, tapi dalam hal ini ia juga tak bisa menyalahkan kakaknya karena Sagara pasti juga merasakan sakit-mungkin juga lebih besar darinya.Asa. Nama yang diberikan Sagara sendiri pada Sei. Diambil dari singkatan nama Sei, Asa menjadi panggilan sayang. Setiap Sei sakit pasti yang pertama pasang badan untuk menjaganya adalah Sagara. Setiap Agra mulai bersikap kasar pada Sei pasti Sagara akan melindunginya.Saat ini, saat tidak ada Sagara..Sei kesepian. Merasa benar-benar ditinggalkan kakaknya.Sei mengambil handphone di laci mejanya. Kemudian mengetikkan satu nama di mesin pencarian W******p. Sei menelfon Sagara.Nihil.Sagara tidak mengangkatnya. Sei menghela nafasnya pasrah. Telfon itu hanya berdering. Sagara pasti tidak mau mengangkatnya. Beruntung nomor Sei tidak diblok.Di sisi lain, Sagara menatap langit. Ia merasa bingung kepada dirinya sendiri. Kenapa harus ada perasaan yang berlawanan dalam satu waktu? Ia menyayangi Sei dengan segenap hatinya. Di sisi lain hatinya juga mengatakan bahwa kini ia tidak ada kaitan apapun dengan gadis itu.Adik yang dulu pernah ia sayang, tumbuh menjadi gadis yang kesepian di rumah. Statusnya bahkan bukan yatim piatu, ayah kandungnya masih hidup. Namun rasanya seperti sudah tidak punya orang tua.Hanya saja Sagara berpikir. Untuk apa ia masih menjaga Sei, menyayanginya, dan bersikap seperti seorang kakak untuknya? Sagara bukan lagi seorang kakak.Mantan kakak? Mungkin bisa dibilang begitu.Dering telfon dari Sei sama sekali ia hiraukan. Nomor telepon yang tak bertuliskan namanya itu telah Sagara ingat.Notif pesan berbunyi dari handphonenya. Lelaki itu lantas melepas pikirannya bersama angin malam. Rumah mewah yang ia tempati saat ini memiliki roof top sendiri untuk melihat langit. Sagara jadi ingat, Sei sangat menyukai hujan.MyJehanSyngBesok jangan lupa bawa buku catatan ekonomi aku yaKamu udah tidur belum?Sagara tersenyum singkat melihat pesan itu. Cowok itu mengetikkan kata untuk membalas pesan dari pacarnya. Namun ia lakukan tanpa membuka W******p. Hingga tak sengaja pesan itu terkirim ke Sei yang chat beberapa detik sebelum Jehan.Iya sayangBesok jalan yuk. Aku kangenSagara menguap lebar. Ia sudah mengantuk sekali. Dengan tak sengaja meninggalkan handphonenya di roof top, lelaki itu masuk kembali ke kamar dan tidur.****Di siang hari yang panas, setelah bel pulang sekolah Sei segera pergi ke depan sekolah Wismabama-sekolah Sagara. "Mawar, gue mau pergi sama Kak Saga dulu ya!" Pamitnya pada sahabat dengan terburu-buru."Iya hati-hati jangan kecapekan!""Oke!" Teriak Sei sembari berlari keluar. Perempuan itu berlari dengan hati yang amat gembira akan bertemu dengan sang kakak. Entah sudah berapa perjuangannya yang ditolak oleh Sagara tapi kali ini akhirnya justru Saga sendiri yang mengajak Sei keluar.Rambut hitam legamnya menari-nari mengikuti irama tubuhnya. Sei membenarkan tas gendongnya semangat dan berjalan santai menuju sekolah kakaknya.Kebetulan parkiran mobil SMA Wismabama ada di dekat gerbang. Sei bisa melihat kakaknya yang berjalan menuju mobil dengan dibarengi gadis berambut pendek, berkulit putih, dan mata yang menyorot tajam.Dengan keberanian yang luar biasa-karena berani masuk ke gerbang sekolah elit- Sei berjalan menuju sang kakak dengan tersenyum lebar. "Kak Saga!"Sagara dan Jehan. Keduanya tampak kaget dengan keberadaan Sei di sekolah ini. "Lo ngapain ke sini?" Tanya Sagara sangat dingin."Bukannya..." Jawab Sei menggantung."Mau minta duit?" Sarkasnya tak suka. Jehan menggandeng tangan kekasihnya dan bertanya "Dia siapa?""Sei." Jawab Sagara dengan hati yang serasa dihimpit dua batu. Sei tak bisa menahan ekspresi kecewanya. Pertama karena jawaban sarkas dari Sagara yang mengira bahwa ia menemui sang kakak karena uang, kedua karena ia dipanggil Sei. Sei menyesal. Menyesali setiap panggilan Sagara kepadanya. Kenapa harus Sei? Kenapa bukan Asa?"Bukannya kemarin bilang mau ajak aku jalan?" Tanya Sei memastikan."Sejak kapan? Sejak kapan ngomong kaya gitu ke lo? Lihat lo aja gue ga sudi.""Kak Saga kenapa sih?" Greget Sei mencoba menggapai tangan Sagara. "Pergi. Pergi ke tempat Papa kamu itu. Kita udah ga ada hubungan apa-apa Sei. Kita orang asing!" Teriak Sagara membuat Sei tersentak. Banyak orang memperhatikan mereka dari jauh."Aku salah apa kak? Aku ga tahu apapun kenapa tiba-tiba kamu jauhin aku kaya gini?" Jawab Sei kembali meneteskan air mata. "Kamu ga pantes di hidup aku. Sekarang silakan pergi.""Ga. Aku mau jalan sama Kak Saga. Kemanapun aku mau asal sama kamu!" Tegas Sei sedikit ngegas.Sagara segera merogoh sakunya dengan gusar dan menyerahkan secara paksa selembar uang berwarna merah. "Nih, sekarang pergi.""Kak Saga.." panggil Sei sekali lagi sembari bergeleng kepala. "Aku ga mau. Aku mau sama kamu.""SEINENDA!!!" Teriak seorang lelaki berjambul dari parkiran motor di seberang. Regan berlari sekuat tenaga menuju Sei yang menangis keras.Regan menyerebut uang di tangan Sei dan melemparkannya ke Sagara seolah itu tak berguna. "Kenapa ngemis sama orang ga tahu diri kaya Sagara?!" Marah Regan dan mencengkeram tangan Sei.Sei menggeleng lemah sambil terus menatap kakaknya memohon. "Kamu bukan pengemis. Jangan pernah deket-deket sama orang rendahan kaya dia!"Sagara menarik Jehan dari keributan ini. Lelaki itu melajukan mobil tanpa permisi sedikit pun. "Kak Saga.." rintih Sei memanggil kakaknya lagi."Ikut aku."Regan menarik Sei dan membawa Sei pergi dari parkiran sekolah. Regan memiliki ruangan tersendiri ketika ia sedang hancur. Sekarang Sei akan menjadi orang pertama yang ia ajak ke sana.Dari ruang kepala sekolah, Regan menggeser tembok besar dan membawa Sei masuk ke dalam.Terdapat satu ruang yang lengkap dengan sofa, dan meja belajar di sudut ruangan. Oh ya, bahkan ada kulkas kecil di ruangan itu. Regan mendudukkan Sei di kursi empuknya.Regan berlutut di hadapan Sei dengan wajah memelas. "Please, jangan nangis lagi. Besok aku kasih dia pelajaran.""Jangan," jawab Sei dengan suara seraknya. Regan beralih duduk di samping Sei dan merangkulnya. "Sei, kenapa kamu bego banget sih? Kok bisa suka sama modelan kaya dia? Mending juga aku."Sei menarik tisu di atas meja samping sofa dan mengelap ingusnya. "Ga boleh ngomong kaya gitu!""Iya deh, iya yang paling suka sama gurun!""Gurun?" Gumam Sei sedikit cengo. Regan tersenyum kikuk. "Gurun Sagara."Sontak Sei menyikut perut Regan kesal dan tertawa kecil. "Sejak kapan suka sama gurun?""Enggak,""Sejak kapan?! Pokoknya mulai sekarang kamu dilarang suka sama siapapun apalagi sama gurun itu! You are belong to me." Tegas Regan menangkup wajah Sei yang memerah karena habis menangis."Aku lebih dari suka ke Kak Saga. Aku sayang banget sama dia." Jelas Sei membuat Regan membara dengan amarah cemburu. Tapi ia tetap mencoba tenang, kata ibunya kala mendekati wanita itu dilarang dengan memaksa."Gapapa kalo hari ini kamu sesayang itu sama gurun. Besok-besok sayangnya buat aku boleh?""Dia kakak kandung aku, drama deh kamu!" Kesal Sei mengelap air matanya."Kakak? Kok ga mirip? Yang satu kaya bidadari yang satunya justru kaya malaikat maut." Ujar Regan asal ceplos."Sembarangan, dia kakak aku tahu!" Protes Sei menyenggol sepatu Regan."Oh iya, calon kakak ipar ya?" Ledek Regan tersenyum lebar. Sei menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia sudah salah tingkah. Ya Tuhan entah sejak kapan Sei jadi salting di depan Regan begini."Jangan sedih lagi ya, Asa?"**
Jehan melirik kekasihnya takut. Ia sedang memikirkan bagaimana memutus rantai kecanggungan di antara mereka. Gadis itu menggigit jarinya takut. Setengah mati ia penasaran pada orang tadi.
Andai saja ia bisa berbicara dengannya dengan baik-baik dan bertanya sampai ke akar tentang hubungannya dengan Sagara. "Dia bukan siapa-siapa aku."
"Aku ga tanya."
"Sebaiknya kamu lupain kejadian tadi dan jauhin dia. Orang itu bahaya buat kamu dan aku."
Jehan melempar tatapannya ke luar mobil. Ia merasa percakapan ini semakin panas.
"Dia bahaya karena dia ada sesuatu kan? Ga mungkin dia bahaya kalau ga ada apa pun." Sanggah Jehan semakin kesal dengan jawaban Sagara.
"Dia pembantu di ruamah aku dulu, puas?!"
"Aku ga percaya, maaf."
"Aku ga mau anggap dia hidup lagi. Dia cuma bagian kecil dari hidup aku. Tapi tolong jangan tanya dia lagi,"
Jehan semakin marah hingga tak mau melihat ke arah Sagara. Ia menekuk tangan depan dada sembari menahan tangisannya yang akan meleleh. "Ga semua masalah aku harus kamu tahu kan?"
Jehan tidak mengira Sagara akan bicara begitu. Nyatanya mereka telah berjanji untuk tidak ada rahasia di antara keduanya. Hubungan mereka sudah menjurus ke toxic, bahkan Jehan memutuskan untuk bicara keputusan yang sangat di luar nalar Sagara.
"Kita istirahat dulu aja,"
Setelah Jehan mengatakan itu konsentrasi Sagara hilang sampai Sagara sadar bahwa ia menerobos lampu merah. Dari arah kanan mobil mereka melaju kencang sebuah truk membawa banyak muatan. Truk itu mengerem mendadak sama seperti Sagara. Lelaki itu membanting setir ke kiri. Jehan menutup matanya dan menahan napasnya menetralkan pikirannya yang berkelana pada memori dulu ia pernah kecelakaan bersama dengan keluarganya.
CIIIIIIIT
Mengetuk pintu dengan hati yang berat, Regan terus saja menghela nafas panjang. Seorang ibu yang berpenampilan manis dari dalam rumah membukakan pintu untuk Regan. Melihat calon menantunya datang, Ayun segera menyambutnya dan mempersilakan masuk. "Wellcome Regan, sini masuk dulu." Sapa ibu dari Alya tersebut. Regan menyalami tangan Ayun dengan sopan. Ibu itu tersenyum lebar dan mempersilakan Regan ke kamar putrinya. "Maaf ya Tante jadi ngrepotin kamu, habisnya Tante udah bingung banget. Alya ga mau makan apapun dari tadi. Tahu kan kalau asmanya lagi kambuh bakal manja banget?" Regan tersenyum mencoba bersabar. Sesungguhnya dalam hati ia sudah mengumpat, harusnya sekarang ia sudah menemani Sei di rumahnya. Mereka sudah meluruskan masalah mereka dan menghilangkan kerinduannya akan Sei. "Ga papa kok Tante. Regan lagi ga sibuk," Alhasil itulah jawaban yang keluar dari tenggorokan Regan. Lelaki itu tak tega jika Ayun yang meminta, jika ia memang dibutuhkan maka Regan pasti akan datang
Setelah kejadian siang tadi, Sei lebih banyak diam dan menyendiri. Dewa yang duduk di samping Sei juga tak berani bertanya macam-macam karena takut mengusik privasi. Sei membuka handphonenya, ia menghidupkannya setelah dua minggu mati. Gadis itu menutupi handphonenya dengan buku agar tidak terlihat oleh guru. Dewa mengerti akan hal itu lalu menegakkan bukunya agar Sei lebih leluasa. "Makasih," ujar Sei. Dewa tersenyum manis membalas perkataan itu. Melihat-lihat room chat, Sei menemukan banyak kejanggalan. Ada banyak sekali pesan yang sudah terbalaskan, padahal Sei tidak membuka handphonenya. Handphone ini baru didapat Sei tadi pagi dan selama dua minggu ini Sagara selalu menyimpannya. Yang paling parah adalah chat antara Alya dengan Sei. Gadis itu melotot tak percaya dengan apa yang ia baca di layar handphone. Alya Sei, lo gapapa? Kemarin sakit apa? Gue baik2 ajaSei menghadap ke belakang melihat Alya, gadis itu tampak menatap Sei dengan sengit sebelum akhirnya kembali fokus p
Mata indah yang sudah seminggu tertutup itu kembali terbuka. Dengan alat-alat mengerikan di tubuhnya, geraknya tidak bisa leluasa. Ia menatap langit-langit kamar rawat. Seorang dokter langsung tergopoh-gopoh memeriksa tubuh Sei dengan serius. Sei menatap kakaknya yang setia menemaninya sejak hari pertama ia masuk rumah sakit. Sei sendiri tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya sampai harus dirawat di rumah sakit. Yang pasti, Sei merasa seperti orang linglung dan baru bangun tidur. Setelah dokter itu keluar dari ruangan dengan Jehan di belakangnya, Sagara duduk di kursi samping brankar lalu menggenggam erat tangan adiknya. Sei melepas alat bantu nafas di hidung dan mulutnya lalu berujar serak pada Sagara. "Haus," Cepat-cepat Sagara mengambil air di nakas dan membantu adiknya minum. Sei meneguk beberapa kali dan mengode kepada Sagara sudah cukup. Melihat wajah tampan kakaknya, Sei tak tahu akan bicara apa. "Apanya yang sakit?" Tanya Sagara mengulum senyum tipis. Ketika tangan Se
Kelas 12 IPA 3, kelas Regan. Sekitar lima hari lalu telah diumumkan bahwa akan diadakan lomba membuat film antar kelas. Karena Regan sudah menghilang beberapa hari, alhasil ia mendapatkan peran sisa. Mengerem motor warna merahnya di depan rumah Reno, Regan menyita banyak perhatian dari teman perempuannya. "Akhirnya... Dateng juga nih kutu rambut," ujar Gema menyambut kedatangan Regan yang super sibuk. Memasang wajah datar, Regan berdehem singkat dan melakukan tos dengan kawan-kawannya. "Jadi gimana? Tugas gue ngapain?" Tanya Regan mendudukkan dirinya di sofa empuk. Gema dan 10 teman yang lain berpikir keras. Hanya Regan saja yang belum ada di scene mereka. "Oh ya! Kan masih ada tukang ojek, Regan aja!" Ujar Reno exited sambil menepuk pundak Regan jenaka. Melihat wajah para temannya yang sangat memelas, Regan bisa apa. Ini konsekuensinya lepas tanggung jawab. "Ya udah deh, ayo!" Teriak Regan membakar semangat temannya. Semua bersorak gembira, mereka sempat berpikir Regan tak akan
Sibuk merebahkan tubuhnya di sofa, tangan Regan tetap menscroll WhatsApp Sei. Ia menemukan beberapa informasi lagi tentang Sei. Beberapa saat lelaki itu merasa sangat sedih karena Sei yang dulunya sering diabaikan Sagara. Adapun satu nomer yang tidak dikenal terus meneror Sei. Lelaki itu membukanya dan melihat chatingan mereka. Orang itu sering sekali memaksa Sei untuk memberitahukan sesuatu. Regan terkekeh ngeri saat tahu siapa yang mengirimkan pesan seperti ini pada Sei. Siapa lagi kalau bukan ayah kandungnya, yang selalu meminta warisan mendiang istrinya yang kaya raya. Regan memblokir nomor itu, beralih ke chat grup kelas Sei. Ternyata Sei sangat kalem dan pendiam, ia sangat jarang komentar. Tok tok tok"Permisi Tuan," ujar seorang lelaki dari luar pintu. Regan berteriak "Masuk!" Regan duduk di sofa dan meletakkan handphone di meja. "Saya sudah menemukan semua tentang gadis yang Tuan maksud." Regan berdehem kecil dan mengode orang itu agar duduk. "Ini berkas medisnya," Rega
Pukul setengah 6 pagi Sagara kembali masuk ke kamar Sei untuk memastikan Sei sudah bangun. Cowok itu melirik meja belajar, bahkan posisi piringnya masih sama persis seperti semalam. Sagara duduk di tepi ranjang, sedikit curiga karena posisi tidur Sei juga sama persis dengan terakhir kali ia masuk kamar. Sagara menggoyangkan tubuh adiknya. "Sa, kamu masih marah? Kok makanannya ga dimakan hmm?" "Dek?" Sagara menarik tubuh Sei agar menghadapnya. Lelaki itu terkejut melihat wajah pucat Sei, "Asa, kamu kenapa?" Tak ada respon apapun dari Sei, membuat Sagara semakin panik dibuatnya. "Bangun please, bangun!" "Ini ga lucu, please jangan buat Kakak takut," Sagara terus mencoba membuat Sei sadar tapi hasilnya nihil. Mata Sei tetap tertutup. Sagara segera turun mengeluarkan mobilnya. Lelaki itu meminta tolong Bi Ane untuk membuka gerbang depan rumah. Setelah itu Sagara kembali ke kamar Sei dan menggendong gadis itu ke mobil. Dengan bantuan Bi Ane di kursi belakang, Sagara melajukan mobiln