Hujan kembali turun di pelataran kampus. Kali ini bukan sebagai simbol perpisahan, melainkan sebagai latar harmoni baru yang tengah dibangun. Di dalam ruang studio komunitas musik, Luna dan Adrian duduk berdampingan, sibuk mengatur ulang posisi mikrofon dan mixer untuk rekaman demo lagu terbaru mereka. Di papan tulis, tertulis judul besar: "Langkah Baru."
Mereka sudah beberapa minggu ini kembali berkarya dalam satu ruang—bukan sebagai sepasang kekasih yang menambal masa lalu, melainkan sebagai dua insan yang telah melalui musim luka dan kini memilih menenun nada di jalur yang lebih dewasa.“Intro-nya aku rasa terlalu cepat. Coba turunin temponya dikit,” kata Luna sambil menekan tombol play di software rekaman.Adrian mengangguk, menyesuaikan tempo. “Gimana kalau gitar masuk di detik ke-12, bukan langsung?”Luna mengangguk setuju. “Iya, biar ada ruang napas dulu.”Diskusi mereka tidak lagi diwarnai tensi. Tak ada lagi suara saling meninggikan nada. Semua berjalanLangit pagi di Kyoto berwarna abu-abu pucat. Awan menggantung rendah, seolah menyerap setiap detik keraguan yang mengisi benak Luna. Di tangannya, surat tawaran beasiswa dari program magister seni yang prestisius di Bali tampak begitu nyata, begitu menggiurkan. Tapi bersamaan dengan itu, hatinya terasa berat.Luna duduk di balkon penginapannya, mengenakan sweater hangat dan memeluk lutut sambil menatap halaman kosong jurnal pribadinya. Angin bertiup pelan, membawa aroma teh hijau dari dapur. Tapi bahkan aroma favoritnya tak cukup untuk menenangkan badai pikiran di kepalanya."Ini kesempatan sekali seumur hidup," gumamnya lirih.Tapi kesempatan itu datang di saat yang paling rumit.Hubungan dengan Adrian—yang sempat membaik setelah segala dialog terbuka dan kejujuran yang mereka rawat—kini perlahan meredup kembali. Bukan karena kurang cinta, tapi karena dunia mereka seperti tak mau bersinggungan. Campur tangan Edward yang semakin menjadi, ditambah tekanan Adrian dalam
Udara pagi di Jakarta masih basah oleh sisa hujan semalam. Aroma tanah yang lembap menyusup ke sela-sela jendela apartemen Adrian. Ia duduk di ruang tengah, mengenakan hoodie kelabu dan celana training, menatap layar laptop yang menampilkan grafik laporan keuangan dari label musik barunya. Sambil menyesap kopi, ia mengernyit—ada satu kolom anggaran yang tampak tak sesuai.Suara ketukan di pintu memecah konsentrasinya. Adrian bangkit, membuka pintu, dan mendapati seseorang yang tidak ia sangka akan datang sepagi ini.“Pak Edward?”Lelaki paruh baya itu berdiri tegak dengan setelan jas rapi dan tatapan yang tak berubah sejak pernikahan ibunya—dingin, kaku, dan penuh ekspektasi.“Kita perlu bicara,” ujar Edward tanpa basa-basi, melangkah masuk tanpa menunggu izin. Adrian menahan napas, menutup pintu perlahan.Mereka duduk berhadapan. Edward mengeluarkan map cokelat dan menyeret laptop Adrian ke arahnya.“Aku lihat laporanmu. Proyek duet dengan penyanyi Korea itu memang menarik, tapi kamu
Langit Kyoto berwarna kelabu saat Luna duduk di tepi jendela kamarnya. Hujan ringan turun membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Di hadapannya, secangkir teh hijau mengepul hangat. Tapi bukan aroma teh yang membuat hatinya berdebar—melainkan email yang baru saja masuk dengan subject yang sederhana: "Untuk kita yang belum selesai."Luna menatap layar laptop dengan campuran rasa penasaran dan gugup. Ia tahu itu dari Adrian, bahkan sebelum membukanya. Selama beberapa hari terakhir, hubungan mereka memang perlahan mencair kembali, tapi belum ada obrolan yang benar-benar menyentuh inti persoalan.Tangannya bergerak membuka email itu."Luna,Aku nggak lagi menulis sebagai musisi atau tunanganmu. Tapi sebagai seseorang yang ingin jujur tentang apa yang pernah membuat kita hampir melepaskan.Aku tahu aku banyak diam saat kamu butuh bicara. Aku terlalu sibuk membuktikan ke dunia bahwa aku bisa… sampai lupa membuktikan bahwa kamu adalah alasan kenapa semua itu layak
Senja mulai turun di Kyoto, menggores langit dengan semburat jingga lembut yang membasuh atap-atap kota tua. Di dalam kamar asramanya, Luna duduk di depan meja kerja, menatap layar laptop yang menyala lemah. Di layar itu, terbuka halaman kosong dari surat balasan yang belum sempat ia kirim pada Adrian.Sudah hampir dua minggu sejak “Janji Hati” dinyanyikan Adrian di festival kolaborasi Asia. Luna menonton rekamannya berulang kali—bukan karena belum hafal, tapi karena tiap baitnya terasa seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, namun juga seperti salep yang menenangkan.Ia menarik napas panjang. Suara Adrian di video itu bukan hanya suara kekasih. Tapi suara seseorang yang sedang memeluknya dari jauh, membisikkan, “Aku masih di sini.”Namun bahkan dengan semua keyakinan itu, jarak tetap menyisakan jeda. Diam-diam yang tak sepenuhnya bisa diisi kata-kata.Luna menutup laptopnya perlahan. Di atas meja, tergeletak sebuah undangan acara penghargaan animasi kampus—acara
Langit senja di Kyoto memamerkan gradasi warna yang memesona—perpaduan ungu, jingga, dan biru yang menggantung di atas pepohonan sakura yang mulai rontok. Luna berdiri di depan jendela kamarnya di asrama, masih mengenakan sweater hangat berwarna abu-abu dan celana jeans longgar. Di tangannya, selembar kertas sketsa dengan gambar dua karakter animasi; satu menyerupai dirinya, satu lagi mirip Adrian—berdiri di dua sisi gunung yang berbeda, tapi saling menatap langit yang sama.Ia tersenyum kecil. Dalam diam, ia mengingat kembali lagu Adrian di panggung showcase Asia Music Fest, lagu yang Maya rekam dan kirimkan padanya beberapa hari lalu. "Janji Hati" bukan sekadar lagu, tapi pengakuan. Dan lebih dari itu, sebuah serenade dari kejauhan.Di sisi lain, Adrian menatap layar laptopnya di kamar studio apartemennya di Jakarta. Ia baru saja selesai menulis email balasan kepada panitia festival kolaborasi internasional. Kali ini, mereka meminta Adrian untuk menulis lagu tema untuk program kolab
Langit sore Jakarta berwarna keemasan, seolah menyiram kota dengan cahaya hangat yang menenangkan. Di antara hiruk-pikuk kendaraan dan kehidupan yang terus berjalan, Adrian berdiri di depan studio musik kecil tempat ia biasa berlatih. Tangannya memegang selembar kertas—lirik lagu yang belum selesai. Namun kali ini, bukan soal notasi atau harmoni yang membuatnya ragu. Tapi perasaan di dadanya yang belum sempat ia selesaikan.Ia menatap kertas itu sejenak, lalu menaruhnya ke dalam saku. Langkah kakinya membawanya menuju halte terdekat, pikirannya melayang pada Luna. Sejak Luna pergi ke Jogja bersama Maya, banyak hal yang terdiam dalam hubungan mereka. Bukan karena hilang, tapi karena masing-masing sedang berusaha merapikan isi hati yang porak-poranda.Di sisi lain, Luna tengah duduk di bangku taman yang rindang di sekitaran Malioboro. Sore itu, angin bertiup sejuk, membelai pipinya yang mulai sedikit lebih cerah. Ia baru saja selesai dari workshop animasi yang digelar oleh kom