7.Kesal

Setelah memakai sepatu Bimo yang sangat-sangat kebesaran, maka Titan dan Rheva kembali ke kelas untuk menyimpan buku komputer, mengambil botol minum, lalu mereka menuju kantin. Untuk menuju ke kantin, mereka perlu menaiki beberapa anak tangga.

Ya dan di sanalah si biang keladi sudah menunggu Titan sambil bersandar di salah satu tiang penyangga atap kantin bersama teman-temannya. Tristan, cowok itu langsung gondok begitu melihat gadis yang habis dikerjainya malah datang dengan memakai sepatu. Jelas sekali itu sepatu laki-laki. Merasa tak senang korbannya mendapat bantuan, ia mulai angkat bicara. Ingin cari masalah lagi. Pokoknya, membuat Titan kesal adalah motonya untuk beberapa saat ke depan.

"Sepatu baru lo?" ucapnya sambil turun satu anak tangga, menjulang di hadapan Titan yang jauh lebih pendek darinya.

Titan yang ditatap malah kelihatan lempeng-lempeng aja kelihatannya. Gadis itu menyindir, "Iya, sepatu Titan tadi nyemplung di kolam ikan. Untung ada yang nolongin. Pelakunya pengecut banget tahu, nggak? Masa iya dia marah terus main belakang gitu nyembunyiin sepatu orang?"

Ego Tristan sukses tersindir. Ia membalas sengit, "Pelakunya pinter itu, yakali mau jahilin orang ngaku dulu di depan gitu mesti ijin sama korban? Bego banget, ngarep."

"Si pelaku pinter itu bocah banget ya. Mental tempe. Coba kasih tahu orangnya kalau lain kali si korban nggak bakalan tinggal diem?" balas Titan sambil mendongak.

"Wow.... panas gengs. Gue bisa ngelihat laser keluar dari mata mereka berdua." Bams menonton sambil makan keripik singkong. Kelihatannya senang sekali menonton pertikaian.

"Lanjut, Bang!" Nyong ikut memberi semangat.

"Emangnya si korban bisa apa?" Tristan memancing.

"Bisa ini!" Titan tersenyum miring lalu membuka dan dengan sepenuh hati mengosongkan seluruh air dari botol minum yang ia bawa ke sepatu Tristan. Membuat cowok itu terlonjak kaget.

"ANJIR LO!!!" Tristan langsung otomatis menjambak kunciran rambut Titan.

"Lepasin, sialan." Titan tidak mau mengalah, ia menarik dasi cowok di hadapannya kuat-kuat hingga si empunya merasa tercekik.

Seketika mereka berdua jadi tontonan seisi kantin. Bahkan Mang Asep rela keluar kios demi menonton adegan tatap-tatap membunuh ini. Mengabaikan gorengannya yang langsung gercep diborong siswa. Banyak yang mengambil plastik baru lalu mengisinya hingga full dan menyelendupkannya dalam kantong celana, sementara yang mereka pegang hanya plastik lain berisi sedikit gorengan untuk dibayar. Mental maling memang ini semua bocah-bocah kampret.

Sementara Tristan dan Titan masih sama di tempat. Mereka terus melanjutkan adegan tatap-tatap membunuh hingga akhirnya Rheva dan Sandi yang memutuskan untuk melerai.

"Lepasin, nggak?" Rheva melotot sambil pamer tinggi-tinggi botol minum tupperware 1,5 liter miliknya yang terisi penuh. Bersedia menabok wajah Tristan kapan saja dengan ikhlas.

"Udah, lepasin. Keburu guru dateng nanti lo kena masalah lagi." Sandi menepuk-nepuk bahu Tristan, berusaha menenangkan.

Akhirnya Tristan melepas jambakannya dari kunciran rambut Titan. Gadis itu juga melepas tarikan pada dasinya.

Titan menghela napas dan berusaha menyingkirkan egonya. Bagaimanapun ia sadar, kalau dirinya lah yang pertama kali membuat kesalahan di antara mereka. Ia harus minta maaf, kalau tidak ingin ini jadi semakin berkepanjangan.

"Maafin Titan kalau Titan memang ada sa-"

"GAK!"

"YAUDAH KITA RIBUT AJA ANJIR!!!"

"OKE!"

Setelah mengatakan kata-kata terakhirnya, Tristan segera melenggang pergi dari kantin diikuti teman-temannya. Hiburan pun selesai.

"Yah... padahal udah seru banget tadi. Harusnya jangan dilerai." Bams kecewa lalu membuang bungkus keripiknya sembarangan.

Titan memilih mengabaikan mereka dan langsung masuk ke kantin. Berusaha bodo anat pada tatapan orang di sekitarnya. Para siswa yang sedang menyolong gorengan pun langsung menghentikan aktivitas gelap mereka saat Mang Asep mendekat.

Titan masuk ke kios Mang Asep dan mengambil satu baskom penuh berisi gorengan, meninggalkan sejumlah uang di meja dan langsung membawa baskom tersebut ke meja kantin terdekat. Ia langsung melahap gorengan tersebut satu-persatu.

"Gila lo, pakai piring napa? Malu gue jadi sahabat lo." Rheva menutup wajahnya. Geleng-geleng dengan sifat rakus Titan yang tidak kenal tempat dan situasi.

"Energi Titan udah habis tadi gara-gara kelamaan madep dia. Capek abisnya dia tinggi banget. Jadi sekarang Titan butuh isi tenaga. Mana tahu nanti dia bikin ulah lagi kan butuh tenaga ekstra ngadepinnya," ucap Titan lalu lanjut makan dengan rakus.

****

Tristan menuju lokernya diikuti Bams, Nyong, dan Sandi. Ia mengambil sepatu olahraganya dari dalam loker dan membuang sepatunya yang tadi sudah basah disiram air.

"Sialan tuh cewek malah ngelunjak." Tristan membanting pintu lokernya kuat-kuat. Merasa harga dirinya benar-benar jatuh tadi.

"Boljug tuh cewek mentalnya." Sandi tertawa melihat Titan mampu membuat kesal temannya.

"Nyong, lo cari tahu tuh cewek lokernya yang mana. Besok gue udah harus tahu dia pakai loker nomor berapa." Tristan masih kelihatan gondok.

"Oke." Nyong menyanggupi.

****

Sampai rumah, Titan langsung merebahkan dirinya di kasur. Hari ini ia merasa capek sekali. Capek mental dan fisik. Kesal kuadrat kan jadinya haduh... Menghadapi Tristan memang harus disertai niat dan tekad. Dia tidak bisa tinggal diam saja diperlakukan seperti itu. Bagaimana ingin minta maaf lagi kalau Tristan selalu berusaha membully? Ah, sudahlah, tak usah lagi meminta maaf. Dia sudah melunakkan egonya tadi, tapi malah ditolak mentah-mentah.

"Pasti besok dia bakal lanjut lagi. Titan mesti ngapain dong?" Titan menatap plastik hitam di samping tas sekolahnya di atas meja belajar. Isinya adalah sepatu miliknya yang basah tadi. Sepatu itu hadiah dari Aldo saat ulang tahunnya tahun lalu, ia tak rela sepatunya diceburkan.

Mendadak hatinya kesal setengah mampus, ia ingin sekali marah, namun karena tidak punya pelampiasan ia memilih mengambil plastik hitam itu dan membawanya ke kamar mandi. Ia mulai mencuci sepatunya hingga bersih lalu menjemurnya di balkon rumah.

"Awas aja dia besok," Titan bergumam.

•••••