Ketika lidah pahitnya berusaha menikmati potongan tumis jamur, Raesaka melihat kepulan asap kelabu, yang berputar-putar di sudut siling di atas lemari dapur. Kepulan asap itu berbisik-bisik, membentuk beberapa ekspresi wajah yang berbeda, asing, dan samar. Keberadaannya tidak disadari neneknya dan Arumi, dan Raesaka sudah tidak lagi merasa heran.Di antara wangi-wangi gurih ikan goreng, sambal, dan tumis sayuran, Raesaka melirik kepada neneknya yang sedang menambah beberapa centong nasi ke piring Arumi. Ia mendengar neneknya berkata, “Ayo, ambil nasinya yang banyak. Apa kamu pemilih? Enggak ‘kan?”“Enggak, Nek,” gumam Arumi sambil sesekali melirik kepada Raesaka, berharap pacarnya itu bisa menghentikan apa yang dilakukan neneknya. Jelas Arumi berbohong. Dia tidak suka jamur dan sayuran, jadi dia hanya mengambil ikan goreng dan sedikit sambal, dan diam-diam menyingkirkan potongan bawang dan tomat ke sisi piring. Raesaka tahu betul apa yang ada dalam pikiran pacarnya saat ini: ingin
“Aku mau lihat perpustakaan kamu, boleh ‘kan?” kata Arumi ketika Raesaka sedang mengamati layar ponselnya, memeriksa kapan Purangga terakhir kali online.Sebetulnya, Arumi tidak sungguh-sungguh ingin ke perpustakaan, selain menghindari obrolan Raesaka dan neneknya yang terlalu intens. Tapi, muncul rasa penasaran, apa yang sedang dibicarakan keduanya ketika dirinya tidak ada? Jadi, Arumi berdiam diri di dekat pintu, menyimak obrolan Raesaka dan neneknya yang melebur dengan suara televisi.Arumi berharap kedatangannya ke sini bisa mencairkan suasana yang kaku, dan menghibur Raesaka. Semenjak meninggalkan Niskala, Raesaka menjadi agak sinis, terlalu serius, dan misterius. Sekarang, dia juga menolak diurus, seakan-akan kehadiran Arumi mengganggunya. Arumi sama sekali tidak bermaksud menyetujui apa yang diucapkan neneknya Raesaka tadi siang, tetapi alangkah baiknya Raesaka melupakan ibunya dan persoalan Sindukala barang sejenak.Sambil menatap refleksinya di cermin lonjong yang menggantu
“Hukum dan keadilan itu saling menyokong satu sama lain,” kata ibunya suatu hari. “Tapi, itu semua cuma ada di buku. Nyatanya, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apalagi, di negeri koruptif seperti ini, kita harus melewati banyak pintu agar mereka saling bertemu.”Langit cerah berbintang tanpa bulan, melengkung menaungi gedung-gedung tinggi di sisi kiri dan kanan jalan. Raesaka berkendara dengan kecepatan tertentu, melewati jalan tol menuju tempat di utara Narwastu. Musik pop bervolume sedang mengalun pelan di setiap sudut ruang mobil.Di samping Raesaka, Prisha yang memakai sweater dan hoodie berwarna merah hati bertuliskan Paramarta University, dan jeans panjang kelabu tua, duduk sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Tiga hari sebelumnya, di tengah pikirannya yang selalu merasa sial, dan kekalutan akan nasib suaminya, Prisha mendapat dua tiket gratis menonton mini konser Cherry Red, band beraliran indie kesukaannya. Raesaka tidak pernah tahu tentang band ini, sampa
“Bekerja keraslah kalian diiringi loyalitas yang tinggi, ketabahan, dan tanpa pamrih!” seru pimpinannya, membangunkan Raesaka, entah untuk yang ke berapa kalinya. “Ingat sumpah dan janji kalian pada negeri ini! Walaupun darah tertumpah di antara tulang-tulang yang remuk, demi tegaknya hukum dan keadilan, langkah kalian tidak boleh mundur sedikit pun!” Dinaungi lengkungan langit berbintang, Raesaka yang sudah mengenakan seragam lengkap dan serba hitam, berdiri di antara rekan-rekannya di lapangan basah yang terletak di dalam lingkup markas. Pimpinannya berdiri tanpa podium, mikrofon, mau pun speaker. Kepulan uap keluar dari mulutnya saat berbicara. Nada bicaranya terdengar biasa namun tegas, melontarkan kalimat yang memuat dorongan dan semangat, merobek kesunyian yang sejak tadi meliputi Raesaka dalam dingin.Begitu mendapat perintah untuk menjalankan misi ini, waktu bergerak lebih cepat dari biasanya. Setiap detiknya menggedor-gedor kesadarannya, seakan-akan ia diharuskan untuk sel
Pepohonan yang tinggi dan rimbun menghalangi pemandangan langit. Gemerisik dedaunannya mengiringi bunyi detak jantung dan langkah mereka. Debu-debu kering yang diterbangkan angin, cukup mengganggu pandangan, tetapi Raesaka terus berjalan, menembus kabut tipis yang dingin. Tempat ini benar-benar asing. Sementara Ivan bersiaga, Raesaka mengamati orang yang duduk dalam keadaan terikat itu. Kepalanya ditutup kain kotor. Nama yang terjahit pada kemejanya yang lusuh memang Purangga. Mula-mula, dengan hati-hati ia menyentuh pergelangan tangan orang itu, dan mendapati masih ada denyutnya walaupun lemah. Ketika Raesaka mau membuka kain yang menutupi kepala orang itu, ia mendengar Ivan bertanya, “Apa kamu berpikir juga, kalau ini misi jebakan?” “Jangan ngomong yang enggak-enggak,” tepis Raesaka. Mungkin Ivan berkata begitu karena ini pertama kalinya ia terlibat dalam misi yang lebih berbahaya (yang biasanya hanya ia dapatkan melalui latihan atau simulasi), tetapi Raesaka tidak peduli. Ia men
Diikuti para personelnya, Akarsana melangkah cepat menelusuri jalan panjang yang semakin suram dan dingin. Di akhir jalan, ketika ia mau melewati sebuah lawang, anak buah Maruk muncul—satu, tiga, lima—berlompatan dari balik reruntuhan. Mereka memilih bungkam saat Akarsana bertanya tentang lokasi Maruk dan para warga yang disandera. Tanpa banyak bicara, para kriminal itu menyerang.Namun, ada satu hal yang membuat Raesaka terganggu. Matanya mengerjap lebih sering dari biasanya, berpikir terkena debu atau iritasi. Ia tercenung beberapa kali, mencoba memahami apa yang terjadi. Meskipun serangan para kriminal itu dapat dengan mudah ditangkis dan dilawan balik, Raesaka tidak dapat melihat jelas wajah mereka. Mata, telinga, dan mulut mereka ditutupi lapisan buram, seperti uap embun pada permukaan cermin. Setelah para kriminal itu dikalahkan, tangan dan kaki mereka diikat supaya tidak melarikan diri.Hal yang sama terjadi lagi begitu memasuki jalan berikutnya, dan Raesaka yakin, hanya dir
Satu tahun enam bulan penjara. Begitulah hakim mengetuk palu, menyudahi perkara suaminya Prisha. Mereka tetap menilai suaminya bersalah atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Suaminya menerima putusan hakim dengan lapang dada, tanpa mengajukan banding. Baik dirinya mau pun Prisha sudah tahu, langkah itu hanya akan menambah beban mereka saja.Prisha tidak pernah tahu, dan tidak pernah mencari tahu, seperti apa kehidupan di penjara, dan bagaimana ia akan menjalani kehidupan tanpa suaminya. Pikiran-pikiran itu, sedikit demi sedikit, melebur bersama perasaan lega dan lapar yang tidak tertahankan, sehingga yang tersisa hanya sedikit harapan.Awan-awan kelabu berarak menutupi matahari, dan suhu udara di dalam warung makan sederhana meningkat meskipun sudah tidak lagi ramai pengunjung. Sambil mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya, Nayyala menyedot sisa air jeruknya, lalu mengamati Prisha yang lahap menghabiskan makan siang. Beberapa jam yang lalu, pertemuan mereka begitu canggung.
Cahaya sore merayap pelan menerangi seluruh ruangan berudara sejuk. Sambil tersenyum manis, dan rambutnya berserakan menutupi sebagian wajahnya, ibunya menelungkup di lantai. Matanya memandang lembut kepada Raesaka kecil yang duduk sambil merengek, tidak suka melihat ibunya yang tadi terpejam, atau mungkin dia mengira ibunya sudah mati.“Tadi pelurunya kena Ibu, tapi kan Ibu enggak kenapa-kenapa,” kata ibunya, membujuk. “Ibu cuma pura-pura luka, Sayang.” Masih dengan posisi yang sama, ibunya meraih pistol mainan berwarna kuning dan biru yang tergeletak di lantai, lalu menyodorkannya kepada Raesaka. “Ayo, kita main lagi.” Memori yang tidak pernah diingatnya itu kembali tergambar dalam pikirannya. Di kala sadar itulah, Raesaka menyaksikan wajah ibunya melebur menjadi wajah Ivan, yang babak belur, mengkilat karena keringat, dan terengah-engah pelan. Pandangan Ivan yang menggelap berkaca-kaca, menggulirkan bulir-bulir air mata. Tangannya memaksa bergerak, meraih pistol glock miliknya