“Apa kamu pernah mengalami satu waktu yang aneh?”
“Aneh seperti apa, Bu?”
“Waktu di mana enggak ada warna dan bentuk. Pikiranmu tertidur dan kamu lupa dirimu sendiri.”
“Enggak, Bu. Tapi, mendengar Ibu bicara begitu, sepertinya aku bakal mengalami waktu yang aneh itu. Cepat atau lambat. Iya ‘kan?”
* * *
Melalui matanya yang bulat, coklat dan berkilat-kilat diterpa cahaya, Raesaka menatap refleksi wajahnya di cermin. Titik-titik air mengalir, membasahi bintik-bintik kecoklatan pada permukaan kulit sawo matangnya. Wangi dan sensasi dingin pasta gigi berseliweran di sekitar hidung dan bibirnya yang gelap kemerahan dan agak tebal. Telunjuknya terangkat, menyingkirkan sehelai bulu mata lentik yang menempel pada pipinya.
“Sekarang, ibumu di mana?” Pikirannya mengulang kembali pertanyaan Nawasena, mengaburkan pendengarannya yang tadi sedang menyimak berita melalui aplikasi radio pada ponselnya.
Raesaka memiringkan tubuhnya, sehingga ia bisa melihat tangan kirinya di cermin. Di atas otot bisepnya ada bekas luka, yang terlihat seperti kawah berdiameter tiga sentimeter, jelek dan menyedihkan. Ia meraba bekas luka itu, lalu menggerakan sendi tangannya sambil mengingat kembali peristiwa dulu. Tertembus peluru itu rasanya seperti ditusuk besi tajam yang sangat panas. Tidak hanya darah yang mengucur deras, tetapi juga kulit dan dagingnya ikut robek dan melepuh, hingga terlihat tulang di bawahnya. Karena itu pertama kalinya ditembak, Raesaka menjadi sangat syok.
Nawasena jelas tidak mengerti, bahwa bekas luka ini akan tetap menjadi pengingat; sekeras apa pun Raesaka berusaha melupakan urusan masa lalunya, luka ini akan menariknya kembali pada titik yang sama. Jadi, mau tidak mau, Raesaka harus mencari dan mengungkapnya, sekali pun mungkin jawabannya akan ia dapatkan setelah pensiun nanti. Tapi, ia harus mengevaluasi dirinya lebih dulu, dan lebih berhati-hati agar tidak terlalu menonjol dan terburu-buru.
Langit melengkung tinggi, bentuknya seperti kubah raksasa berwarna kelabu keputih-putihan. Kabut-kabut tipis yang dingin turun, yang kemudian berubah bentuk menjadi butiran embun pada dedaunan. Embun-embun itu memercik ketika dedaunannya tersenggol oleh salah satu personel kepolisian, yang sedang berlari bersama kelompoknya, menelusuri kompleks asrama sambil meneriakan yel-yel.
Hari yang sama, orang-orang yang sama, kegiatan yang sama, terus berulang seperti itu, dan ini sudah hampir memasuki tahun ke delapan Raesaka bekerja sebagai polisi. Fisik dan kemampuan dirinya terus ditempa sedemikian rupa, walaupun terkadang, di penghujung hari, ia bertanya-tanya kenapa jalan ini yang dipilihnya?
“Kenapa kamu jadi polisi?” tanya ibunya di pagi hari, satu hari setelah pelantikan Raesaka sebagai polisi. “Ibu enggak pernah mengira kamu akan memilih jalan ini. Ibu pikir kamu mau jadi arsitek, desainer interior, atau mungkin animator, karena Nenek sering nunjukkin karya-karya kamu.”
Raesaka ingat betul perkataan ibunya waktu itu. Sampai saat ini, ia tidak pernah tahu jawaban apa yang sesuai untuk pertanyaan seperti itu. Tapi, neneknya pernah berkata bahwa ia harus menjadi manusia yang bisa memberikan kontribusi pada masyarakat, tidak sekedar hanya mencari uang dan mempertahankan eksistensi. Mungkin itu menjadi salah satu pemicu dirinya menjadi polisi. Selebihnya, ia hanya memilih, tanpa (perlu) tahu kenapa.
Cahaya matahari yang terik menerpa punggung para polisi berseragam serba hitam yang berbaris di lapangan terbuka. Waktu itu jam menunjukkan pukul sembilan, dan semua anggota kepolisian yang terbagi menjadi beberapa kelompok, berlarian masuk ke dalam mobil taktis masing-masing. Mereka bergerak menuju gedung pusat perbelanjaan yang kini sudah dikepung sekelompok teroris bersenjata api. Selain menyandera warga-warga, kelompok teroris itu telah menghancurkan bagian belakang dan samping gedung dengan bom.
Akarsana, brigadir polisi yang menjadi pemimpin kelompok Raesaka, duduk menghadap anak buahnya di dalam mobil taktis, menjelaskan siapa kelompok teroris ini dan menyampaikan susunan strategi untuk mengepung mereka. Raesaka, diam-diam selalu mengagumi cara Akarsana berbicara—selain tegas, suaranya memang enak didengar (seperti penyiar radio yang memutar lagu setelah jam makan malam). Karismanya didukung dengan fisiknya yang jangkung, berkulit coklat kekuningan, dan tatapan tajam dari mata kucingnya. Dia salah satu petugas yang berprestasi, dan telah beberapa kali menyelesaikan misi. Tidak hanya itu, ayah Akarsana, Arjani, menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, dia cukup berpengaruh pada institusi ini.
Di samping Akarsana, ada Arkavi, adiknya yang seusia dan satu angkatan dengan Raesaka. Tubuhnya tidak setinggi kakaknya, kulitnya sedikit lebih terang, tetapi memiliki bentuk mata dan tatapan yang hampir mirip seperti kakaknya. Selain itu, ia juga cenderung lebih pendiam dibanding kakaknya. Arkavi baru dua tahun bergabung dalam satuan ini, di mana sebelumnya ia bertugas sebagai polisi lalu lintas. Walaupun ia adiknya Akarsana, ia tetap diperlakukan sama layaknya petugas yang lain.
Puluhan anggota kepolisian turun dari mobil-mobil taktis. Sambil memangku senjata api, mereka bergerak menyerbu gedung pusat perbelanjaan itu. Terjadi baku tembak yang sengit antara polisi dan teroris. Ketika Raesaka dan lainnya memasuki ruangan yang agak remang, selain mendengar teriakan dan bunyi letusan senjata dari kejauhan, ia juga mendengar seseorang sedang bermain piano. Bunyinya menggaung jauh, seperti diredam sesuatu, atau mungkin musik itu berasal dari tape recorder.
“Kamu dengar itu?” tanya Raesaka.
“Apa?” Arkavi balik tanya.
“Memangnya ada yang harus main piano?” tanya Raesaka lagi.
Arkavi mengerutkan keningnya, lalu menggeleng samar dan katanya, “Aku enggak dengar suara piano.”
“Masa? Suaranya dari atas kok.”
“Enggak ada, Re,” ujar Arkavi seraya melangkah mendahului Raesaka. “Itu suara anak-anak band metal. Mereka disandera di sana.”
Raesaka menyusul Arkavi dan lainnya. Langkahnya nyaris tidak mengeluarkan suara namun cepat. Ketika sudah bergabung dengan kelompoknya, dan menunggu aba-aba di dalam ruangan kecil, ia baru menyadari memang tidak ada yang bermain piano, selain sekelompok teroris yang menyandera anggota band metal, dan memaksa mereka memainkan lagu keras.
“My life is a joke to you! My life is a joke to God! That makes me hate myself even more!”
Begitulah beberapa penggal kalimat yang diteriakan penyanyinya, memenuhi ruangan luas dengan banyak jendela yang terbuka. Sementara beberapa teroris, sambil menggenggam senjata dan botol minum, melompat-lompat girang seperti orang sinting, mengikuti irama musiknya. Semuanya terkejut begitu Akarsana berteriak “Polisi!”, mengepung dan memerintahkan mereka tiarap dan menyerah. Namun, hanya para anggota band metal yang menunduk dan tiarap, sedangkan terorisnya tidak.
Walaupun dibekali senjata (dan ini hanya simulasi), Raesaka terbilang sangat jarang melepaskan peluru. Ia memahami benar bagaimana cara menguasai dan melumpuhkan lawan secara efektif tanpa harus meninggalkan luka yang fatal. Kemampuannya merebut senjata musuh cukup mumpuni. Tapi, jika situasinya mengancam nyawanya dan nyawa rekan-rekannya, ia dan yang lainnya boleh melepaskan peluru—begitulah yang disampaikan Akarsana.
Kalimat yang tadi diteriakan penyanyi band metal itu terngiang lagi di kepalanya, saat Raesaka menggiring salah satu teroris ke lapangan parkir, diikuti Purangga dan Arkavi yang berada dua langkah di belakangnya. Mungkin ia harus bertanya judul lagunya, mencarinya dan menyimpannya pada ponsel supaya bisa diputar kapan pun ia mau.
Awan kelabu berarak, menurunkan hujan ringan walaupun matahari masih bersinar cukup terik. Aroma tanah kering yang diguyur hujan menyeruak ke udara yang menghangat, seakan-akan semua orang yang ada di sana berbau seperti itu. Begitu simulasi ini selesai, dan Akarsana tersenyum bangga di langit bercahaya suram, Raesaka sudah memutuskan akan mengambil cuti dan kembali ke rumah ibunya.
“Ngapain kamu kembali ke rumah ibu kamu, Cu?” tanya Abhinanda, neneknya Raesaka melalui ponsel. “Kalau kamu punya waktu, mendingan kamu ke Niskala. Kita mau rayain ulang tahun Oom Dewangga.” Obrolan bersama neneknya mengingatkan Raesaka pada hari pelantikannya sebagai polisi dulu. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang hadir, termasuk ibunya, dan neneknya (yang kala itu memang sedang kurang sehat). Untuk menebus perasaan bersalah, neneknya berencana menggelar acara syukuran di Niskala, atau di Narwastu (kediaman ibunya), tetapi acara itu tidak pernah ada. “Acara syukuran buat apa?” tanya Marsala, di hari pertama Raesaka menginjak rumah ibunya (satu hari setelah pelantikan). “Memangnya kamu sudah berbuat apa? Sudah mencapai apa? Ini semua baru permulaan lho.” Permulaan—kata yang juga disampaikan pimpinannya, yang membuatnya sedikit cemas akan masa depan, yang tidak akan pernah diketahuinya, seperti apa rupanya, atau di mana ujungnya. Raesaka memikirkan itu sambil membuka pin
“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya. Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan. Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player, yang ia taruh di meja ruang televisi. “Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka, mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu. “Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan
“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.” Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu. Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala, ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit. Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan. Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala. Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bula
“Aku kira, kita enggak akan ketemu lagi,” kata Nayyala sambil melahap nasi goreng ikan asin. Suaranya kecil dan bergetar, seakan kecemasan menyelip di tenggorokannya, tetapi memang itu ciri khas Nayyala. Dia sejatinya perempuan periang. Keduanya duduk berhadapan di restoran terbuka yang dikelilingi pepohonan rimbun. Suasananya sedikit temaram, dan tidak banyak pengunjung yang datang. Musik jazz mengalir memenuhi udara di sekitar mereka, saat Nayyala tersenyum dikulum, memperhatikan Raesaka yang sedang menyendok nasi ayam teriyaki. “Kakak kerja di mana sekarang?” tanya Raesaka. “Di toko buku Citraloka, jadi kasir lagi,” jawab Nayyala. “Kak Prisha?” Nayyala angkat bahu dan menggelengkan kepala. Katanya, “Udah lama enggak ada kabar dari dia, selain pernikahannya.” “Menikah?” Raesaka hampir tidak percaya, matanya membulat. “Kapan? Sama siapa?” “Satu tahun yang lalu, sama orang Baralingga. Pestanya di luar pulau, jadi aku enggak datang.” “Kok aku enggak dikasih kabar, ya?” Kening
“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk
“Rae.” Gaduhnya pintu yang dibuka, langkah-langkah kaki yang sibuk, dan keriuhan orang-orang, menumpuk suara Purangga.Kaget, Raesaka membuka matanya dan menoleh cepat, mendapati dirinya sedang berbaring di kursi, dan Purangga yang berlutut di sampingnya, menatapnya tanpa senyuman. Di belakang Purangga, dua kepala rekannya yang kelabu, bergerak-gerak menertawakannya. Bingung, Raesaka mengangkat kepala dan bahunya ketika Bu Dhatri muncul dari balik pintu.“Orang pingsan jangan diketawain,” tegur Bu Dhatri sambil membungkuk, menaruh semangkuk bubur asin yang hanya ditaburi bawang goreng dan irisan telur, disertai teh manis hangat di meja. Kemudian, ia menoleh kepada Raesaka, memintanya supaya segera makan sebelum wanita setengah baya itu meninggalkan ruangan.“Kenapa aku ada di sini?” bisik Raesaka.“Kamu pingsan pas apel,” jawab salah satu rekannya. “Kita semua yang gotong kamu ke sini.”“Apel?” Raesaka melihat topi baret miliknya di meja, lalu mengamati seragamnya selama beberapa s