Share

Bab 3 Urban Warfare

“Apa kamu pernah mengalami satu waktu yang aneh?”

“Aneh seperti apa, Bu?”

“Waktu di mana enggak ada warna dan bentuk.  Pikiranmu tertidur dan kamu lupa dirimu sendiri.”

“Enggak, Bu. Tapi, mendengar Ibu bicara begitu, sepertinya aku bakal mengalami waktu yang aneh itu. Cepat atau lambat. Iya ‘kan?”  

*   *   *

Melalui matanya yang bulat, coklat dan berkilat-kilat diterpa cahaya, Raesaka menatap refleksi wajahnya di cermin. Titik-titik air mengalir, membasahi bintik-bintik kecoklatan pada permukaan kulit sawo matangnya. Wangi dan sensasi dingin pasta gigi berseliweran di sekitar hidung dan bibirnya yang gelap kemerahan dan agak tebal. Telunjuknya terangkat, menyingkirkan sehelai bulu mata lentik yang menempel pada pipinya.

“Sekarang, ibumu di mana?”  Pikirannya mengulang kembali pertanyaan Nawasena, mengaburkan pendengarannya yang tadi sedang menyimak berita melalui aplikasi radio pada ponselnya.

Raesaka memiringkan tubuhnya, sehingga ia bisa melihat tangan kirinya di cermin. Di atas otot bisepnya ada bekas luka, yang terlihat seperti kawah berdiameter tiga sentimeter,  jelek dan menyedihkan.  Ia meraba bekas luka itu, lalu menggerakan sendi tangannya sambil mengingat kembali peristiwa dulu.  Tertembus peluru itu rasanya seperti ditusuk besi tajam yang sangat panas. Tidak hanya darah yang mengucur deras, tetapi juga kulit dan dagingnya ikut robek dan melepuh, hingga terlihat tulang di bawahnya.  Karena itu pertama kalinya ditembak, Raesaka menjadi sangat syok.

Nawasena jelas tidak mengerti, bahwa bekas luka ini akan tetap menjadi pengingat; sekeras apa pun Raesaka berusaha melupakan urusan masa lalunya, luka ini akan menariknya kembali pada titik yang sama. Jadi, mau tidak mau, Raesaka harus mencari dan mengungkapnya, sekali pun mungkin jawabannya akan ia dapatkan setelah pensiun nanti.  Tapi, ia harus mengevaluasi dirinya lebih dulu, dan lebih berhati-hati agar tidak terlalu menonjol dan terburu-buru.

Langit melengkung tinggi, bentuknya seperti kubah raksasa berwarna kelabu keputih-putihan. Kabut-kabut tipis yang dingin turun, yang kemudian berubah bentuk menjadi butiran embun pada dedaunan. Embun-embun itu memercik ketika dedaunannya tersenggol oleh salah satu personel kepolisian, yang sedang berlari bersama kelompoknya, menelusuri kompleks asrama sambil meneriakan yel-yel.

Hari yang sama, orang-orang yang sama, kegiatan yang sama, terus berulang seperti itu, dan ini sudah hampir memasuki tahun ke delapan Raesaka bekerja sebagai polisi. Fisik dan kemampuan dirinya terus ditempa sedemikian rupa, walaupun terkadang, di penghujung hari, ia bertanya-tanya kenapa jalan ini yang dipilihnya?

“Kenapa kamu jadi polisi?” tanya ibunya di pagi hari, satu hari setelah pelantikan Raesaka sebagai polisi. “Ibu enggak pernah mengira kamu akan memilih jalan ini. Ibu pikir kamu mau jadi arsitek, desainer interior,  atau mungkin animator,  karena Nenek sering nunjukkin karya-karya kamu.”

Raesaka ingat betul perkataan ibunya waktu itu. Sampai saat ini, ia tidak pernah tahu jawaban apa yang sesuai untuk pertanyaan seperti itu. Tapi, neneknya pernah berkata bahwa ia harus menjadi manusia yang bisa memberikan kontribusi pada masyarakat, tidak sekedar hanya mencari uang dan mempertahankan eksistensi. Mungkin itu menjadi salah satu pemicu dirinya menjadi polisi. Selebihnya, ia hanya memilih, tanpa (perlu) tahu kenapa.

Cahaya matahari yang terik menerpa punggung para polisi berseragam serba hitam yang berbaris di lapangan terbuka. Waktu itu jam menunjukkan pukul sembilan, dan semua anggota kepolisian yang terbagi menjadi beberapa kelompok, berlarian masuk ke dalam mobil taktis masing-masing. Mereka bergerak menuju gedung pusat perbelanjaan yang kini sudah dikepung sekelompok teroris bersenjata api. Selain menyandera warga-warga, kelompok teroris itu telah menghancurkan bagian belakang dan samping gedung dengan bom.

Akarsana, brigadir polisi yang menjadi pemimpin kelompok Raesaka, duduk menghadap anak buahnya di dalam mobil taktis, menjelaskan siapa kelompok teroris ini dan menyampaikan susunan strategi untuk mengepung mereka.  Raesaka, diam-diam selalu mengagumi cara Akarsana berbicara—selain tegas, suaranya memang enak didengar (seperti penyiar radio yang memutar lagu setelah jam makan malam). Karismanya didukung dengan fisiknya yang jangkung, berkulit coklat kekuningan, dan tatapan tajam dari mata kucingnya. Dia salah satu petugas yang berprestasi, dan telah beberapa kali menyelesaikan misi. Tidak hanya itu, ayah Akarsana, Arjani, menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, dia cukup berpengaruh pada institusi ini.

Di samping Akarsana, ada Arkavi, adiknya yang seusia dan satu angkatan dengan Raesaka. Tubuhnya tidak setinggi kakaknya, kulitnya sedikit lebih terang, tetapi memiliki bentuk mata dan tatapan yang hampir mirip seperti kakaknya. Selain itu, ia juga cenderung lebih pendiam dibanding kakaknya. Arkavi baru dua tahun bergabung dalam satuan ini, di mana sebelumnya ia bertugas sebagai polisi lalu lintas. Walaupun ia adiknya Akarsana, ia tetap diperlakukan sama layaknya petugas yang lain.

Puluhan anggota kepolisian turun dari mobil-mobil taktis. Sambil memangku senjata api, mereka bergerak menyerbu gedung pusat perbelanjaan itu. Terjadi baku tembak yang sengit antara polisi dan teroris.  Ketika Raesaka dan lainnya memasuki ruangan yang agak remang, selain mendengar teriakan dan bunyi letusan senjata dari kejauhan, ia juga mendengar seseorang sedang bermain piano. Bunyinya menggaung jauh, seperti diredam sesuatu, atau mungkin musik itu berasal dari tape recorder.

“Kamu dengar itu?” tanya Raesaka.

“Apa?” Arkavi balik tanya.

“Memangnya ada yang harus main piano?” tanya Raesaka lagi.

Arkavi mengerutkan keningnya, lalu menggeleng samar dan katanya, “Aku enggak dengar suara piano.”

“Masa? Suaranya dari atas kok.”

“Enggak ada, Re,” ujar Arkavi seraya melangkah mendahului Raesaka. “Itu suara anak-anak band metal. Mereka disandera di sana.”

Raesaka menyusul Arkavi dan lainnya. Langkahnya nyaris tidak mengeluarkan suara namun cepat. Ketika sudah bergabung dengan kelompoknya, dan menunggu aba-aba di dalam ruangan kecil, ia baru menyadari memang tidak ada yang bermain piano, selain sekelompok teroris yang menyandera anggota band metal, dan memaksa mereka memainkan lagu keras.

“My life is a joke to you! My life is a joke to God! That makes me hate myself even more!”  

Begitulah beberapa penggal kalimat yang diteriakan penyanyinya, memenuhi ruangan luas dengan banyak jendela yang terbuka. Sementara beberapa teroris, sambil menggenggam senjata dan botol minum, melompat-lompat girang seperti orang sinting, mengikuti irama musiknya. Semuanya terkejut begitu Akarsana berteriak “Polisi!”, mengepung dan memerintahkan mereka tiarap dan menyerah. Namun, hanya para anggota band metal yang menunduk dan tiarap, sedangkan terorisnya tidak.

Walaupun dibekali senjata (dan ini hanya simulasi),  Raesaka terbilang sangat jarang melepaskan peluru. Ia memahami benar bagaimana cara menguasai dan melumpuhkan lawan secara efektif tanpa harus meninggalkan luka yang fatal.  Kemampuannya merebut senjata musuh cukup mumpuni. Tapi,  jika situasinya mengancam nyawanya dan nyawa rekan-rekannya, ia dan yang lainnya boleh melepaskan peluru—begitulah yang disampaikan Akarsana.

Kalimat yang tadi diteriakan penyanyi band metal itu terngiang lagi di kepalanya, saat Raesaka menggiring salah satu teroris ke lapangan parkir, diikuti Purangga dan Arkavi yang berada dua langkah di belakangnya. Mungkin ia harus bertanya judul lagunya, mencarinya dan menyimpannya pada ponsel supaya bisa diputar kapan pun ia mau.

Awan kelabu berarak, menurunkan hujan ringan walaupun matahari masih bersinar cukup terik. Aroma tanah kering yang diguyur hujan menyeruak ke udara yang menghangat, seakan-akan semua orang yang ada di sana berbau seperti itu.  Begitu simulasi ini selesai, dan Akarsana tersenyum bangga di langit bercahaya suram,   Raesaka sudah memutuskan akan mengambil cuti dan kembali ke rumah ibunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status