Share

Bab 4 Tia

“Ngapain kamu kembali ke rumah ibu kamu, Cu?” tanya Abhinanda, neneknya Raesaka melalui ponsel. “Kalau kamu punya waktu, mendingan kamu ke Niskala. Kita mau rayain ulang tahun Oom Dewangga.”

                                          

Obrolan bersama neneknya mengingatkan Raesaka pada hari pelantikannya sebagai polisi dulu. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang hadir, termasuk ibunya,  dan neneknya (yang kala itu memang sedang kurang sehat). Untuk menebus perasaan bersalah, neneknya berencana menggelar acara syukuran di Niskala, atau di Narwastu (kediaman ibunya), tetapi acara itu tidak pernah ada.

“Acara syukuran buat apa?” tanya Marsala, di hari pertama Raesaka menginjak rumah ibunya (satu hari setelah pelantikan). “Memangnya kamu sudah berbuat apa? Sudah mencapai apa? Ini semua baru permulaan lho.”

Permulaan—kata  yang juga disampaikan pimpinannya, yang membuatnya sedikit cemas akan masa depan, yang tidak akan pernah diketahuinya, seperti apa rupanya, atau di mana ujungnya.  Raesaka memikirkan itu sambil membuka pintu gerbang rumah ibunya.  Rumah ibunya yang bergaya rumah klasik, berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri.  Saat matahari sore menyorot, rumah itu terlihat seperti bahu dan punggung ibunya.

Tidak ada suara lain, selain bunyi nafasnya sendiri, yang diiringi kicauan burung, dengungan serangga, dan bunyi renyah sepatunya saat menginjak dedaunan dan ranting kering yang berserakan di mana-mana. Semilir angin membawa aroma tanah, rerumputan dan pepohonan yang kesepian karena ditinggal majikannya.

Kacapiring adalah bunga kesukaan ibunya. Wangi itu masih tertinggal di dalam dan sekitarnya, berpendar bersama debu-debu. Aromanya yang cukup kuat, mengingatkan Raesaka pada senyuman dan pandangan ibunya yang selalu damai, seakan-akan  wajahnya ada di setiap sudut ruangan rumah ini, menempel pada benda-benda, menyapanya dalam hampa.

“Selamat datang di rumah Ibu, Sayang,” sapa ibunya, mengiang di kepala Raesaka, membuatnya meneteskan air mata. “Ayo, buka sepatumu dan simpan di sini.”   Setelah membuka sepatu dan menaruhnya di rak kosong, kakinya menginjak lantai yang dingin berdebu.

Cahaya-cahaya yang masuk ke setiap ruangan, aroma, dan tata letak barang, membuat Raesaka merasa kembali ke dalam pangkuan ibunya. Penyesalan yang datang terlambat, menggores hatinya perlahan-lahan. Ia mengusap pipinya yang basah, lalu menghela nafas.  Langkahnya berhenti di dekat piano digital milik ibunya, yang merapat pada dinding di salah satu sudut ruang tengah. Ia sentuh penutupnya, menyingkirkan debu yang menempel di permukaannya, dan membukanya. Ia tekan salah satu tuts putih.

Tiiiing! Lalu hening.

Raesaka sangat suka suara piano, tapi baik dirinya mau pun ibunya tidak mahir bermain. Di hari tertentu, ibunya akan mengundang Arabela, sahabat ibunya, yang pandai bermain piano dan bernyanyi, sedangkan ibunya akan berdiri di tengah ruangan, dan menari. Tapi, selama ini, Raesaka baru beberapa kali bertemu Arabela.

Sebelum masuk ke kamarnya, Raesaka berdiri di tengah ruangan, menoleh ke lorong pendek di sebelah kiri. Di ujung lorong yang temaram itu, berdiri pintu kamar ibunya yang tertutup. Raesaka tahu, pintu itu tidak terkunci, tapi sesuatu dalam pikirannya, membuatnya enggan pergi ke sana, jadi ia berbalik, berjalan ke lorong sebelah kanan,  yang berseberangan dengan lorong kamar ibunya, masuk ke kamarnya sendiri. Di sana, ia mengistirahatkan kakinya, lalu berbaring tanpa melepas seragamnya.

Pandangannya menatap pada siling putih. Pendengarannya terfokus pada bunyi dengung rendah dan panjang di sekitar kepalanya. Tidak hanya fisiknya yang butuh istirahat, tetapi juga pikirannya. Mungkin dia bisa tinggal lagi di sini untuk sementara, pikirnya saat itu. Lagipula, rumah ini tidak begitu jauh dari markas tempatnya berdinas.

Sama seperti kehidupan dan pribadi ibunya, rumah ini juga menyimpan misteri. Sepanjang usianya, Raesaka selalu skeptis akan keberadaan hantu atau semacamnya.  Tetapi, ia tidak bisa menyangkal itu saat melihat sosok-sosok absurd di sekitar rumah ibunya. Seperti sosok yang dulu sering dijumpainya di hari ke tiga ia tinggal di rumah ini.

Tia.

Sosok itu membisikkan namanya dengan bibir tetap terkatup. Suaranya lembut dan rendah. Tingginya melebihi pintu dan telanjang bulat. Kulitnya putih keabuan dan transparan, memperlihatkan tulang-tulang kelabu di bawahnya,  yang dibalut jalinan urat hitam, dan tidak memiliki lengan.  Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya, selain sesuatu berwarna hitam yang melingkar-lingkar di atas ubun-ubunnya. Benda gelap sepanjang satu meter, bersarang pada tulang bagian belakang daun telinganya, menembus dari sisi kiri ke kanan. Darah dari kepalanya, mengalir membasahi benda itu. Raesaka tidak pernah tahu bagaimana bentuk kakinya, karena jalinan kain putih menutupinya dari bagian panggul.  Dia mengeluarkan aroma kacapiring, yang bercampur bau besi berkarat.  

Wajahnya licin dan keras layaknya patung porselen. Dari balik kain kotor yang menutup rapat kedua matanya, darah mengalir mengotori bibirnya yang kering dan sangat pucat.  Tidak seperti kebanyakan hantu yang sering diceritakan orang, sosok ini lebih berdimensi, seakan-akan ia memang nyata dan dapat menyentuh sesuatu, tetapi tidak jarang juga ia terlihat tipis bagaikan selembar kertas.

Ketika Tia datang, segala benda di sekitarnya menjadi bengkok dan berubah bentuk. Jam tidak berdetak (atau jarumnya tiba-tiba hilang), dan dunia diredam sesuatu yang tebal dan berat, seperti ketika kita menyelam ke dalam air.  Dan di bawah cahaya remang kebiru-biruan, Raesaka jatuh ke dalam titik beku yang paling rendah. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya kaku, mengunci pandangannya supaya tidak berpaling ke mana-mana, dan membungkam suaranya.  Masih sambil berbaring di ranjang, ia memandang ngeri melalui pintu kamarnya yang sudah terbuka, melihat ke kegelapan yang menyelimuti lorong kamar ibunya di seberang.

Tia  muncul dari balik kegelapan—mula-mula tubuhnya dulu, lalu kepalanya. Ia berdiri diam, menatap Raesaka.  Setiap kali Raesaka berkedip, Tia mendekat, seakan-akan ia bisa berpindah tempat dengan amat cepat. Kadang-kadang, bentuk tubuhnya menjadi sangat janggal, seperti lehernya yang memanjang dan bengkok ke kiri/kanan, terlalu bengkok seolah kepalanya mau putus. Atau berubah bentuk menjadi lingkaran-lingkaran suram yang mengapung di udara, yang meliputi wajahnya (tanpa kain penutup, sehingga tampak matanya yang putih tanpa pupil).  Saat Raesaka berkedip lagi, Tia sudah ada di ujung kakinya, tapi hanya kepalanya saja.

Samar-samar, terdengar bunyi senandung rendah dan panjang. Satu per satu membentuk tiga harmoni. Senandung itu bergemerisik, terputus-putus, memenuhi kamar. Semakin Raesaka berpikir apa yang dialaminya itu hanya halusinasi, kengerian justru semakin mengintimidasi akal sehatnya. 

Seseorang berbisik, entah dari atas kepalanya, atau mungkin di bawah bantalnya. Orang itu berkata, “Setiap langkah adalah sakit. Setiap ucapan sudah pasti kosong. Apa pun yang kamu dengar hanya kebohongan.”   Berulang-ulang, sampai berubah menjadi dengungan panjang yang membuat telinganya sakit.  Raesaka memejamkan matanya erat-erat, sampai terasa pegal dan menegang.

“Ayo, bangun!” 

Ibunya dan Nawasena berseru berbarengan, mengejutkan Raesaka. Wajah mereka diliputi cahaya siang yang benderang, lalu keduanya menampar Raesaka satu kali.

Seperti hantu dalam film kartun, Nawasena tersenyum sekilas dan matanya melebar (terlalu lebar hingga terlihat urat-uratnya, seakan bola matanya mau melompat ke luar) sebelum akhirnya ia benar-benar lenyap, sedangkan ibunya tetap di tempat, tersenyum sambil memperhatikan telapak tangannya yang tadi menampar Raesaka. Ada sedikit darah di sela-sela jarinya.

Di balik embun yang melapisi mata Raesaka, ibunya kini menatap lurus padanya, tanpa sekali pun berkedip. Lama-lama, tatapannya menjadi kosong dan menggelap, bibirnya mengendur tidak lagi tersenyum. Perlahan dan menyakitkan, kedua pupil ibunya bergerak ke atas, hingga yang tersisa hanya putih matanya saja, memerah dan berkilat-kilat.

Triing!  Bunyi notifikasi ponsel menggugah kesadarannya. Untuk yang ke dua kalinya Raesaka membuka mata. Dadanya berdebar, tangan dan kakinya bergetar, dan nafasnya pendek-pendek. Ini semacam ketakutan yang tidak beralasan, yang pernah dialaminya saat kecil dulu. Dia tidak begitu ingat apa yang terjadi semalam, dan nalarnya selalu gagal membuat kesimpulan apakah itu hanya mimpi atau sebaliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status